Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUHAMMAD Nazaruddin tampaknya tidak bisa tenang mendekam di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Dunia di luar sana senantiasa perlu disiasati. Mungkin itu sebabnya dia sering bertemu (atau ditemui) diam-diam dengan para pihak yang berkepentingan terhadap perkara suap Wisma Atlet yang melilit mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat yang pernah jadi buron ini.
Kenyataan ini tidak hanya menunjukkan bahwa penjara kita belum steril dari ulah tangan-tangan kotor. Lebih dari itu, pertempuran untuk menggiring putusan pengadilan agar sesuai dengan kepentingan orang-orang yang terlibat dalam konspirasi jahat ini masih sengit. Apalagi, menurut data yang diperoleh majalah ini, perusahaan-perusahaan Nazar yang menggarap bermacam proyek pemerintah telah meraup laba kotor Rp 1,4 triliun lebih.
Penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka—dia telah dinonaktifkan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat—bisa menghidupkan harapan publik akan terbongkarnya kasus Wisma Atlet yang sempat redup. Kendati begitu, Komisi Pemberantasan Korupsi masih punya utang janji yang jauh lebih besar, yaitu menjerat nama lain yang santer diduga terlibat. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, misalnya, berulang kali disebut Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang, dan Yulianis terlibat proyek senilai Rp 191 miliar itu.
KPK perlu mengatur strategi jitu dalam menangani perkara kakap ini. Komisi tidak hanya dituntut memiliki semangat serta stamina yang tangguh untuk membongkar kasus Wisma Atlet sampai tuntas, tapi juga kudu hati-hati mengambil langkah maju. Mencekal Angie, legislator dari Komisi Olahraga, Pendidikan, dan Seni Budaya, sudah tepat. Hanya, bergegas melarang Wayan Koster bepergian ke luar negeri, padahal belum berstatus tersangka, hendaknya segera ditindaklanjuti dengan penyidikan saksama.
Peran Angelina dan Koster penting dalam menguak perkara ini. Keduanya beberapa kali disebut dalam persidangan kasus Wisma Atlet SEA Games 2011. Lebih dari dua saksi di persidangan Nazaruddin mengungkapkan bahwa kedua politikus itu menerima Rp 5 miliar sebagai fee untuk mengegolkan anggaran proyek. Penetapan bintang iklan "katakan tidak pada korupsi" itu sebagai tersangka bisa dijadikan pintu masuk untuk menjerat sejumlah tersangka lain.
Selama ini kasus yang menyeret elite Partai Demokrat tersebut berjalan bak siput, amat lambat jika dibandingkan dengan kasus lain yang ditangani KPK. Dalam kasus cek pelawat, misalnya, komisi antirasuah ini sangat gesit menetapkan para tersangka. Dalam kasus dana percepatan infrastruktur daerah, Komisi bahkan hanya butuh waktu sebulan untuk menjerat anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, sebagai tersangka.
Delik pencucian uang bisa dipakai buat melawan kongkalikong berskala besar ini. Jika penyidik menjerat para tersangka dengan Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, niscaya hal ini akan mempermudah pengusutan aliran duit Nazaruddin dan fulus Angie. Dana berjibun nan janggal itu akan sulit ditelisik jika yang diandalkan hanya Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Sebab, ketentuan ini hanya bisa menjerat orang yang terlibat langsung dalam dugaan penyuapan pada proyek Wisma Atlet.
Lain halnya bila jaksa di persidangan juga memakai delik pencucian uang dalam dakwaan. Pengadilan bisa menyita harta fantastis milik Nazaruddin, juga Angelina atau siapa pun, yang diduga berasal dari korupsi. Jika terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa harta itu didapat secara sah dan legal, negara akan merampas untuk selamanya. Proses pemiskinan koruptor ini bisa dilakukan dengan cara menyita aset pelaku yang diduga diperoleh dari hasil korupsi. Dengan senjata penuntutan yang lebih lengkap, niscaya pengusutan aliran duit Nazaruddin juga menjadi lebih mudah.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan bisa sangat membantu. Segunung dokumen sejumlah perusahaan Nazaruddin yang telah disita KPK tentu berguna. Dari situ akan terungkap apakah ada bukti di balik tudingan terdakwa bahwa sebagian dana mengalir ke rekan-rekannya. Selama ini Nazaruddin berkali-kali menyebutkan sejumlah politikus Partai Demokrat, seperti Ketua Umum Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, dan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Mirwan Amir, mendapat aliran duit dari proyek yang ditanganinya.
Bila menggunakan senjata delik pencucian uang, Komisi diharapkan akan lebih ampuh dalam menjerat para koruptor. Beda jika hanya menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang memang kurang bertenaga dalam mengembalikan duit negara yang dirampok. Dengan peraturan itu, selama ini para koruptor hanya dikenai hukuman penjara dan kewajiban membayar denda sesuai dengan kerugian negara. Hukuman yang relatif ringan ini bisa melecut individu lain melakukan tindak pidana yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo