Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendapat profesional para ahli medis seharusnya tidak dikesampingkan dengan pendekatan kekuasaan.
Jika sanksi untuk dokter Terawan tidak dilaksanakan, seluruh struktur dan mekanisme penegakan etika kedokteran di negeri ini bisa berantakan. Padahal aturan itu dibuat untuk melindungi kepentingan pasien dari praktik pelayanan kesehatan yang tidak teruji secara klinis. Ini preseden buruk yang berbahaya.
Masalahnya, kuasa untuk menyetop praktik lancung yang melanggar aturan ini justru ada di tangan Menteri Kesehatan. Terawan sendiri, dalam banyak kesempatan, berkeras terapinya terbukti secara medis dan serangan atas metode risetnya sama sekali tidak berdasar. Karena itu, sulit membayangkan Terawan mengambil kebijakan yang bakal merugikan dirinya sendiri.
Idealnya, Terawan bersikap kesatria dan mempersilakan jajaran Kementerian Kesehatan mengambil tindakan dalam kasus ini, tanpa intervensi. Berkeras menutup mata dan telinga atas kontroversi yang beredar luas soal kasusnya justru meneguhkan adanya konflik kepentingan dalam posisi Terawan sebagai Menteri Kesehatan. Dia melanggar sumpah jabatannya sebagai menteri dan sumpah profesinya sebagai dokter jika membiarkan benturan kepentingan itu tanpa penyelesaian.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, juga seharusnya turun tangan. Sebagai lembaga pendidikan yang bermartabat, sudah semestinya pimpinan kampus menindaklanjuti laporan tentang kejanggalan disertasi Terawan. Nama baik Universitas Hasanuddin dipertaruhkan jika gugatan atas riset Terawan tidak diperiksa dengan saksama.
Jika kelak semua tuduhan atas Terawan terbukti, para guru besar di Universitas Hasanuddin tak boleh ragu mencabut gelar doktoral Terawan. Itu penting karena selama ini disertasi tersebutlah yang selalu menjadi dasar klaim akademis Terawan.
Kejanggalan dalam disertasi Terawan memang bukan main-main. Acuan teoretisnya banyak yang tidak meyakinkan. Misalnya, dia mengklaim heparin pernah diuji coba untuk menjebol sumbatan dalam jalan darah manusia pada sebuah riset di Jerman. Nyatanya, itu cuma percobaan pada pembuluh darah anjing.
Selain itu, Terawan mengklaim heparin—yang lazim dipakai untuk mencegah pembekuan darah pada terapi digital sub-traction angiography, yakni metode kedokteran untuk mendiagnosis penyakit—dapat membersihkan sumbatan di dalam pembuluh darah. Klaim tersebut juga tidak didukung kajian ilmiah apa pun.
Karena itulah, pada Februari 2018, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran menilai Terawan melanggar kode etik kedokteran, di antaranya Pasal 6, yang berbunyi, “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.” Atas pelanggaran itu, Majelis merekomendasikan izin praktik Terawan dicabut selama setahun.
Sayangnya, Menteri Kesehatan kala itu, Nila Moeloek, tidak menindak-lanjuti keputusan Majelis Etik. Ia justru membentuk satuan tugas untuk mengkaji terapi cuci otak Terawan. Ketika satuan tugas Kementerian menyimpulkan hal yang sama dengan putusan Majelis Etik, Menteri Nila lagi-lagi tak bertindak. Ia malah melakukan hal yang tidak lazim, yakni mengizinkan Terawan melakukan uji klinik seraya terus memberikan pelayanan. Padahal uji klinik semestinya terbatas dan tidak komersial.
Tindakan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat waktu itu, Jenderal Mulyono, tak kalah janggal. Ia meminta Majelis Kehormatan Etik Kedokteran berkoordinasi sebelum menjatuhkan sanksi kepada anggotanya. Peringatan semacam itu merupakan bentuk intervensi militer terhadap lembaga kedokteran.
Silang-sengkarut ini makin parah dengan keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat Terawan sebagai Menteri Kesehatan. Keputusan itu jelas tidak berlandaskan informasi yang memadai mengenai kompetensi dan integritas Terawan. Istana seharusnya tidak ragu menonaktifkan Menteri Kesehatan sampai ada tindak lanjut dalam kasus pelanggaran etik ini.
Ke depan, pemerintah perlu mempertegas prosedur pengujian metode medis baru, baik itu peralatan maupun obat-obatan. Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan mesti berani menegakkan aturan dan tidak tebang pilih. Publik berhak mendapat perlindungan yang maksimal dari negara, termasuk dalam hal pelayanan kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo