Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- untuk Th. Sumartana (1944-2003)
Tidak, kita tak berada di tengah senja berhala-berhala. Hari-hari ini Tuhan tak henti-hentinya disebut, di gereja, di masjid, di gedung besar atau di lapangan, di pelbagai khotbah dan bukan khotbah, dengan suara yang begitu mantap, dengan keyakinan yang begitu mutlak dan terkadang menyalak. Tapi benarkah sebenarnya Ia yang disambut? Tidakkah yang dielu-elukan secara riuh-rendah itu sesungguhnya sebuah konsep yang berperan sebagai pengganti yang disembah, sebuah sosok yang dianggap sebagai Tuhan sendiri dan untuknya segala hal bisa dijadikan korban?
Ketika Tuhan dibatasi dengan dan oleh konsep dan tafsir manusia tentang Dia, pada saat itu manusia sebenarnya menyamaratakan-Nya dengan sembarang hasil pengetahuan dan pemikiran. Pemberhalaan terjadi bukan hanya ketika "citra Tuhan" ditatah jadi arca yang agung, tapi juga ketika hasil sebuah pengertian tentang Tuhan disodorkan sebagai sebuah konklusi yang lengkap, serba mencakup, tanpa pamrih, dan sebab itu suci dan final. Dengan kata lain, ketika konsep itu tak diakui sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh satu sudut pandang tertentu, atau oleh suatu pengalaman sejarah tersendiri, atau suatu kepentingan yang terarah. Dengan kata lain, ketika "Tuhan" yang disebut sebagai wujud yang bertakhta dan berkata-kata itu tak diakui sebagai tafsir yang terbatas dan tergantung.
Saya kira sejak beberapa puluh tahun yang lalu Th. Sumartana sadar bahwa pembentukan dan penyembahan berhala itulah yang menyebabkan agama-agama bersaing dan bertikai. Pada akhirnya ia, bersama teman-temannya, membentuk Interfide, tempat orang Kristen dan Islam (dan mungkin juga Buddha dan Hindu) bertukar pikiran dan bekerja sama. Sampai di akhir hayatnya 24 Januari yang lalu, pada umur 59, ia percaya kepada arti dialog antarpenganut agama yang berbeda-beda itu?dengan kesabaran dan ketulusan yang menakjubkan, di tengah suara kebencian antarumat di hampir tiap sudut, di sela-sela bunuh-membunuh di Maluku dan di Poso. Saya kira semua itu bisa mungkin karena ia, seorang Protestan, setia kepada Tuhan yang belum diubah jadi monumen. Rasanya ia tak hendak percaya bahwa Allah bisa selamanya diperlakukan sebagai sebuah patung dengan mata berapi-api dan mulut menyemburkan marah.
Seingat saya, kami berkenalan pertama kali di Balai Budaya, Jakarta, di awal 1960-an. Kami bertemu di sana-sini di sebuah zaman ketika anak-anak muda, untuk memakai kata-kata Iwan Simatupang, "ramai-ramai jadi eksistensialis", dan mencoba membaca theologi Paul Tillich. Mereka berbicara, setengah paham setengah bingung, tentang dosa dalam bentuk "keterasingan manusia", tentang agama sebagai ekspresi yang menuruti ultimate concern, dan Tuhan yang tak dibayangkan dalam sosok personal. Saya tak tahu apa yang tersisa dari masa itu, selain kegelisahan untuk menjelajah (keraguan adalah unsur iman, kata Tillich), dan pengertian tentang Tuhan yang tak berhenti pada satu atau dua berhala. Dengan kata lain, Tuhan yang "tak bisa dinamai"?seperti Tuhan dalam Surah al-Ikhlas bagi orang Islam, atau Tuhan yang disebut hanya dengan huruf-huruf konsonan dalam alkitab orang Yahudi dan Nasrani. Dengan kata lain, Tuhan yang, diucapkan dalam gaya Derrida, "belum-belum telah mengkontradiksi diri". Dieu déjà se contredit.
Bersama Tuhan seperti itulah Sumartana merenung, menulis, bekerja. Ia tak diam. Diam hanya akan membuat Kata jadi mirip rangkaian batu di monumen yang keras. Adakah ia berdoa? Saya tak tahu apa arti doa baginya. Doa juga bisa menjadi peristiwa kegagalan kata. Doa bisa jadi pernyataan kesalihan yang banal atau pengulangan yang mekanis. Ada yang mengatakan bahwa doa, ketika kita menggunakan bahasa manusia kepada Tuhan, dengan sendirinya mengandung risiko menjadi musyrik, memperlakukan Ia sebagai sesama. Risiko itu tak terelakkan, dan mungkin itu sebabnya doa mendapatkan artinya justru dalam laku di luar doa, dan saya kira itulah bangunan hidup Sumartana.
Bangunan itu bisa digambarkan dalam sebuah kata: adieu. Sebuah perpisahan, juga sebuah pendekatan. Saya pinjam dari Henk de Vries dalam Philosophy and the Turn to Religion: kata adieu, "selamat tinggal", yang berarti juga à Dieu, "kepada Tuhan", menyarankan "arah ke Ilahi" dan juga ucapan pamit kepada Ia yang seakan-akan telah diajak bicara. Jika kita lihat apa yang dikerjakan Sumartana menjelang kematiannya, kedua makna itu dapat dinyatakan secara ringkas: ia ikhlas. Ia menjalani keprihatinannya yang tak terlarai, ultimate concern itu. Ia terus-menerus mencoba menemukan kehendak-Nya, dan pada saat yang sama melepaskan klaim bahwa kehendak itu akhirnya akan bisa ia temukan. Dengan akut ia merasakan angkuhnya pelbagai klaim di sekitarnya, ketika para pengkhotbah memekikkan "kebenaran" di pengeras suara dan bersama itu kekerasan terjadi. Saya selalu melihat Sumartana dengan wajah yang tak bermain-main. Saya bayangkan ia berkata, tentang zaman ini, dengan jelas tapi gemetar, "Tidak, kita tak berada di senjakala berhala-berhala".
Adieu. Bukankah ada yang sedih dalam kata ini? Tapi bukankah juga ada segurat harapan? Di tiap perpisahan dan di tiap pendekatan, manusia tersentuh oleh manusia yang lain. Dengan Tuhan yang terasa dapat dijelang langsung tapi juga terasa sulit digambarkan, manusia pada akhirnya sendiri, tapi pada saat itu juga bersama-sama.
Saya kira itulah terutama yang ditemukan dalam momen kematian, pada saat kesendirian yang paling sendiri. Saya, Anda, dan siapa pun, tak bisa menggantikan Sumartana pada detik terakhir itu. Tapi ketika itulah kita sadar betapa besar kehilangan yang telah terjadi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo