BENDERA tanda dimulainya penjualan saham Bank Danamon baru saja dikibaskan. Tapi, ibarat balap mobil Formula I, sejak beberapa pekan lalu para pengusaha sudah mulai menekan pedal gas sehingga suara mesin terdengar meraung-raung. Perang urat-saraf untuk berebut 51 persen saham Danamon sudah dimulai? Tampaknya begitu.
Tengok saja, Senin pekan lalu dokumen penawaran awal baru dikirim kepada para calon investor, tapi beragam kabar soal rencana divestasi bank bekas milik Usman Admadjaja itu sudah merebak di lantai bursa. Belum lagi ulah sejumlah spekulan yang menyeret turun harga saham Bank Danamon dari Rp 1.050 menjadi Rp 975.
Hal itu membuat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) urung mengguyur pasar dengan tambahan 20 persen saham seperti direncanakan semula. Tindakan itu sangat tepat. Soalnya, bila dilanjutkan, harga saham Bank Danamon akan makin tenggelam karena melimpahnya penawaran ketimbang permintaan. Dan, harga pasar yang terus merosot ini bisa dijadikan benchmark oleh calon investor pembeli saham Danamon.
Salah satu kabar panas yang beredar di bursa adalah soal minat sejumlah investor strategis untuk membeli Bank Danamon. Dikabarkan, ada sekitar 17 investor yang telah menyatakan minat untuk ikut dalam penjualan ini. Calon investor yang kerap disebut antara lain Standard Chartered Bank (Stanchart), walau pihak Stanchart sendiri belum mau mengkonfirmasi. "Pernyataan-pernyataan itu bukan berasal dari kami," kata Manajer Humas Stanchart, Halim Mahfudz.
Bila kabar itu benar, Danamon akan menjadi perburuan ketiga Stanchart di Indonesia setelah sebelumnya bank asal Inggris itu gagal membeli Bank Bali dan BCA. Seandainya bank berskala dunia itu benar-benar masuk ke Bank Danamon, akan menjadi kabar baik bagi dunia perbankan Indonesia. Kepercayaan investor akan pulih dan peringkat bank di Indonesia pun akan ikut terkatrol.
Sayangnya, niat investor serius semacam Stanchart akan menemui halangan yang tak ringan. Saat ini di kalangan manajer investasi dan pialang saham, misalnya, berembus berita bahwa Usman Admadjaja, sang pemilik lama, ingin kembali menguasai Bank Danamon. Bagaimana caranya? Masih belum jelas karena Usman tak menjawab surat permintaan wawancara TEMPO.
Bisa saja Usman, lelaki kelahiran Tanjungkarang, Lampung, tahun 1947 itu, meniru apa yang sudah dilakukan Farallon di BCA: membeli lewat perusahaan kertas di Mauritius bernama Farindo. Dengan menggunakan kendaraan khusus seperti itu, secara hukum kehadiran pemilik lama sangat sulit dibuktikan. Usman memang mustahil terjun langsung dalam pembelian saham ini. Soalnya, ia masuk daftar hitam bankir di bank sentral. "Usman tak akan lolos uji kepantasan dan kelayakan di BI," kata seorang pejabat bank sentral. BPPN pun akan menolak karena Usman masih memiliki utang di rumah sakit bank itu.
Semasa krisis, Bank Danamon memang menerima kucuran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 23 triliun. Dari jumlah itu, menurut Kwik Kian Gie semasa menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, 44 persen ternyata diselewengkan ke kelompok bisnis Usman sendiri. Akhirnya, hitung punya hitung, ia harus mengembalikan duit Rp 12,5 triliun.
Untuk membayar utang, Usman menyerahkan saham di 26 perusahaan. Tapi nilai keseluruhan aset itu ternyata cuma Rp 4,76 triliun. Usman mengaku tak punya harta lain yang tersisa untuk melunasi utangnya. Padahal nyatanya sampai sekarang lelaki yang ketika di SMA pun sudah berdagang kelontong keluar masuk kampung itu masih hidup mewah. Sehari-hari bapak tiga anak itu kini tinggal di sebuah apartemen mewah di tengah Kota Singapura. Kebiasaan naik pesawat di kelas bisnis pun tak pernah ditinggalkannya.
Aset yang diserahkannya?kebanyakan perusahaan properti seperti Kota Bentala di kawasan Kuningan seluas 18 hektare, Kota Anggana di Jalan Sudirman seluas 10 hektare, Kota Casablanca seluas 9,4 hektare, dan proyek Senayan seluas 4 hektare?ternyata juga bermasalah. BPPN kesulitan menjual karena beberapa aset ternyata dijaminkan ke kreditor lain. Contohnya, tiga perusahaan properti: Kuningan Persada, Supra Estetika, dan Wimukti Arthamas, rupanya telah dijaminkan ke bank lain. Tak mengherankan, setelah empat tahun, hasil penjualan aset yang diperoleh BPPN cuma Rp 916 miliar.
Toh BPPN tak bisa berbuat apa-apa kecuali memaksa Usman meneken perjanjian Master of Refinancing Notes Issuance Agreement (MRNIA). Artinya, nilai perusahaan yang diserahkan masih kurang dari jumlah kewajibannya. Bila BPPN menemukan kekayaannya yang lain, harta itu bisa disita untuk menutup utangnya.
Dengan kondisi seperti itu, jika Usman ingin masuk kembali ke Bank Danamon, ia harus menggunakan kendaraan lain. Salah satu kabar menyebutkan, ia berkongsi dengan Berca kepunyaan suami-istri Murdaya Poo dan Hartati. Berca selama ini tergolong aktif menjadi penawar dalam lelang-lelang aset di BPPN. Perusahaan itu pernah ikut dalam tender BCA, tapi gagal. Terakhir mereka berhasil menjadi pemenang tender 51 persen saham PT Metropolitan Kentjana.
Kekuatan finansial Murdaya tak bisa dianggap remeh. Lewat sejumlah bisnisnya di PLN, Telkom, dan saham di Asea Brown Bovery (ABB; salah satu perusahaan penyedia energi dunia yang terkemuka), ia banyak menangguk untung. Belum lagi dari usaha lain sebagai distributor sepatu Nike dan perangkat elektronik Hewlett Packard. "Murdaya cukup punya duit untuk membeli Bank Danamon," kata pengamat pasar modal Lin Che Wei.
Apalagi harga Bank Danamon diperkirakan tak terlalu mahal. Paling tidak tak semahal 51 persen saham BCA yang mencapai Rp 5 triliun. Maklum, dibandingkan dengan BCA, Bank Danamon masih kalah seksi dalam hal murahnya dana dari pihak ketiga. "Bandingkan saja bunga simpanan di Danamon yang lebih tinggi ketimbang di BCA," ujarnya. Danamon juga tertinggal dalam keluasan jangkauan jaringan online dan ATM.
Di luar urusan duit, suami-istri Murdaya juga dikenal sebagai pelobi ulung. Mereka bisa dengan mudah mendekati sejumlah pejabat, termasuk Kepala BPPN Syafruddin Temenggung. Ini, misalnya, terlihat dalam acara pertemuan Ketua BPPN dengan para obligor kakap untuk menyelesaikan masalah utang di Bali akhir Desember tahun lalu. Murdaya, yang sebetulnya tak masuk dalam agenda, bisa ikut nyelonong bertemu Syaf.
Cuma, jangan anggap sepele Usman Admadjaja. Meski kepada BPPN ia mengaku bokek, ditengarai Usman memiliki uang yang tak kalah banyak dibandingkan dengan Berca. Dari jumlah utang dengan aset yang diserahkan sebagai jaminan ke BPPN saja sudah terlihat ada selisih hampir Rp 8 triliun. Jangan lupa, itu nilai uang pada tahun 1998. Sekarang duit itu tentu sudah beranak-pinak.
Wahana lain yang mungkin ditumpangi Usman adalah perusahaan-perusahaan berbasis di Singapura. Maklum, di Negeri Singa itu pula Usman ditengarai menyembunyikan hartanya. Salah satu perusahaan Singapura yang disebut-sebut bakal ditunggangi Usman adalah Development Bank of Singapore (DBS).
Nama bank terbesar di Asia Tenggara itu memang sudah digadang-gadang oleh Deputi Ketua BPPN Bidang Restrukturisasi Perbankan, I Nyoman Sender, sebagai salah satu calon investor yang telah menyatakan minat membeli Bank Danamon. "Kami lebih condong pembeli Danamon adalah bank, ketimbang lembaga keuangan yang lain," Sender menambahkan. Padahal, kata sumber TEMPO, nama DBS bisa jadi cuma jadi kedok. "Duitnya sebetulnya milik Usman," kata sumber yang tak mau disebut namanya itu.
Benarkah Berca serius tertarik masuk ke Bank Danamon? "Kami belum berminat. Saya juga belum mendapat laporan dari eksekutif kami tentang hal ini," kata Hartati Murdaya. Kendati kenal baik, ia juga mengaku belum pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Usman Admadjaja. "Apalagi untuk urusan membeli Bank Danamon," ujarnya.
Sejauh ini semua pihak tampaknya masih menahan diri. Tapi para peminat serius diam-diam mungkin tetap menebar jala di berbagai tempat. Pengalaman tender BCA menunjukkan, bila ingin menang, investor mesti luwes menjalin lobi dengan berbagai pihak. Mereka harus mendekati pejabat pemerintah, BPPN, penasihat keuangan, bahkan pejabat Bank Danamon sendiri.
Di sinilah muncul nama seperti Jay Oentoro, pelaku bursa yang dekat dengan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi (lihat Sobat Lama Menteri Laksamana). Juga Gatot Suwondo, salah satu direktur di bank yang memiliki aset sejumlah Rp 54,3 triliun itu. Lantaran masih bersaudara ipar dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Gatot disebut-sebut bisa menjadi jembatan penghubung bagi investor yang berminat membeli Bank Danamon.
Namun Gatot menampik kabar miring tentang dirinya. "Saya nggak bisa jadi perantara. Saya pengurus, kok, dan penjualan saham urusan pemilik, yaitu BPPN," ujarnya kepada Muannas dari TEMPO. Gatot juga tegas membantah pernah berhubungan dengan Usman Admadjaja atau Murdaya Poo. Ia, katanya, tidak kenal Usman maupun Murdaya.
Jadi, mungkinkah BPPN tak akan kecolongan lagi seperti dalam kasus BCA? Tak ada jaminan. Nyoman Sender cuma berjanji akan lebih berhati-hati dan mengetatkan aturan tentang peserta tender. Tapi, siapa sih yang masih percaya ada keberhati-hatian dan aturan ketat di BPPN setelah terjadinya sekian kasus?
Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini