Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pemangsa Seks di Kampus Kita

Kekerasan seksual di kampus adalah fenomena gunung es. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi harus kita dukung untuk mencegahnya.

20 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kekerasan seksual di kampus seperti gunung es: banyak tapi sedikit yang terungkap.

  • Hubungan seksual di kampus jelas kekerasan seksual karena ada hubungan tak setara antara mahasiswa dan dosen.

  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera disahkan.

KETIKA politikus dan tokoh agama sibuk berdebat di media sosial, predator seks boleh jadi sedang gentayangan mencari korban. Andai saja semua orang jujur mengakui betapa gawatnya pelecehan seksual di kampus-kampus, seharusnya tak ada lagi penolakan atas aturan pencegahan dan penanganan “wabah” menahun itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasil survei terakhir Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan 77 persen dosen mengakui bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya. Ironisnya, 63 persen dari mereka tidak melapor kepada pimpinan kampus. Riset itu dilakukan di 79 perguruan tinggi yang berada di 29 kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekerasan seksual di perguruan tinggi yang tak terungkap tampaknya lebih banyak. Universitas yang seharusnya menjamin kemerdekaan belajar dan pengembangan diri malah menjadi tempat mengerikan dan menyuburkan trauma bagi para korban. Kasus terbaru kekerasan seksual terungkap di Universitas Riau. Polisi telah menetapkan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik universitas itu sebagai tersangka.

Dukungan dan apresiasi layak kita berikan kepada semua korban yang berani melapor. Di tengah budaya patriarki di Indonesia, keberanian melaporkan kekerasan seksual bukan tanpa risiko. Dalam banyak kasus, setelah menjadi korban pelecehan seksual, perempuan bisa mendapat stigma buruk. Misalnya disalahkan karena berpenampilan seksi atau mengundang berahi laki-laki. Sering juga muncul tuduhan tak berdasar bahwa pelapor kekerasan seksual punya motif balas dendam. Ujungnya, predator seks bebas dari tuntutan hukum.

Ketika banyak predator seks kampus tak tersentuh hukum, penetapan Dekan FISIP Universitas Riau sebagai tersangka jelas merupakan kemajuan. Tapi itu baru langkah awal polisi yang perlu kita kawal. Jangan sampai aparat menjadikan korban sebagai tersangka pencemaran nama, seperti laporan balik sang Dekan.

Merespons maraknya kekerasan seksual di lingkungan kampus, Nadiem Makarim menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Peraturan ini cukup detail mendefinisikan kekerasan seksual serta upaya pencegahannya. Aturan ini menekankan penanganan kasus yang mengutamakan kepentingan korban, kesetaraan gender, serta jaminan tak berulangnya kekerasan. Ada pula ketentuan tentang pemeriksaan kasus dan sanksi bagi para pelakunya.

Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sejahtera paling keras menentang peraturan itu. Mereka antara lain mempersoalkan frasa “tanpa persetujuan korban” dalam definisi kekerasan seksual. Karena ada frasa itu, mereka menyimpulkan, interaksi seksual yang mendapat persetujuan korban tidak dilarang. Bahkan, lebih jauh, mereka menganggap peraturan menteri ini mendorong seks bebas dan melegalkan perzinaan.

Kesimpulan seperti itu jelas cacat logika. Sulit membayangkan bagaimana korban bisa menyetujui kekerasan seksual yang merugikan dirinya. Yang mungkin terjadi, korban diam karena mendapat tekanan atau teperdaya. Untuk menguatkan pelindungan terhadap mereka, peraturan menteri ini menyatakan persetujuan dianggap tidak sah bila korban belum dewasa atau di bawah ancaman. Persetujuan pun dianggap tidak ada bila kondisi fisik atau psikologis korban sedang rentan atau terguncang.

Alasan barisan penentang peraturan menteri ini sama persis dengan dalil mereka ketika menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual—yang sudah sewindu mandek di Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka, misalnya, menyebut semua hubungan seksual di luar nikah itu sebagai zina yang terlarang. Padahal definisi zina seperti itu belum tentu diterima masyarakat Indonesia. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hubungan seks gelap disebut zina atau mukah bila pelakunya punya suami atau istri yang sah. Perzinaan baru masuk ranah pidana bila suami atau istri tidak terima dan mengadukan perkaranya.

Untuk memutus kejahatan predator seks kampus, Kementerian Pendidikan perlu segera menerapkan aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di semua perguruan tinggi. Presiden Joko Widodo—yang kerap berkampanye soal pluralisme—harus mendukung penerapan peraturan menteri ini, meski kelompok Islam konservatif menolaknya. Lebih penting lagi, dengan dukungan mayoritas koalisi partai, pemerintah semestinya kembali mendorong DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dengan aturan yang lebih tinggi dari peraturan menteri, korban lebih terlindungi dan pelaku kekerasan seksual makin tak punya tempat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus