Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Muktamar NU akan berlangsung di Lampung, Desember 2021.
Sejumlah tokoh dan pejabat diduga mencampuri perebutan kursi ketua.
NU selalu berada di sekitar kekuasaan sejak awal republik ini berdiri.
HINGGA usia menjelang seabad, Nahdlatul Ulama belum bisa lepas dari pusaran kekuasaan. Menyongsong muktamar di Lampung, Desember 2021, sejumlah elite partai, tokoh politik, dan pejabat diam-diam menggerakkan dukungan kepada para kandidat kuat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya ada dua nama yang ketat bersaing dan telah menggalang dukungan. Said Aqil Siroj, yang memimpin organisasi kemasyarakatan ini sejak 2010, mendapat dukungan dari Muhaimin Iskandar. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ini khawatir posisinya di PKB terancam jika kendali NU jatuh ke tangan orang lain. Kandidat lain, Yahya Cholil Staquf, kini menjabat Katib Aam PBNU dan merupakan kakak kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ihwal dukung-mendukung ini tampil ke permukaan setelah Said Aqil secara terbuka, dua pekan lalu, meminta Presiden Joko Widodo selaku kepala negara berlaku netral dalam muktamar. Dia menuding empat menteri, di antaranya Menteri Agama, mencampuri pemilihan Ketua Umum PBNU dan Jokowi membiarkannya. Menteri Agama menurut informasi telah memesan hotel-hotel di sekitar area muktamar untuk para pendukung Yahya.
Dengan anggota yang diperkirakan mendekati 60 juta orang, wajar kalau NU diincar banyak kepentingan politik. Selain PKB, yang menyebut diri sebagai partai kaum nahdliyin, banyak partai lain berada di sekitar mereka. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, dalam pemilihan kepala daerah lalu mengusung sekitar 100 kader NU di berbagai daerah. Di sisi lain, membesarnya populisme Islam dan politik identitas telah mempererat relasi NU dan pemerintahan Presiden Jokowi.
Bagi publik, keterlibatan NU dengan kekuasaan menjadi isu penting karena selain peran yang selama ini dipegang kokoh—sandaran dalam meredam radikalisme dan kelompok konservatif agama—ormas ini bisa menjadi kekuatan penyeimbang. Godaan kekuasaan membuat peran itu jauh dari harapan. Sulit untuk bersikap kritis terhadap kekuatan politik atau kebijakan yang merugikan masyarakat kalau terikat pada kekuasaan.
Kekuasaan bukan hal baru bagi NU, yang berlambang bintang sembilan—menggambarkan penyebar Islam di Indonesia, yaitu Wali Songo. Mereka berkecimpung dalam politik sejak Indonesia berdiri. Mula-mula bersama Masyumi, lalu membuat partai sendiri. Pada Pemilihan Umum 1955, Partai NU menempati urutan ketiga di belakang Partai Nasional Indonesia dan Masyumi. Mereka bahkan menempati peringkat kedua setelah Golongan Karya pada Pemilu 1971, sebelumnya akhirnya dipaksa melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan setelah Orde Baru mewajibkan asas tunggal dan hanya mengizinkan dua partai plus Golongan Karya pada 1973.
Dengan rekam sejarah yang demikian, sulit berharap akan ada perubahan baik di muktamar maupun setelahnya. NU selalu merupakan magnet bagi politikus dan penguasa. Hanya dorongan dari dalam dan pemimpin baru yang kuat yang mungkin dapat membuat perbedaan, seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Desakan internal untuk kembali ke khitah sebagai organisasi sosial keagamaan dan naiknya Abdurrahman Wahid ke tampuk kepemimpinan sejak 1984 mendudukkan NU sebagai kekuatan penyeimbang yang disegani pemerintah Soeharto.
Tapi periode itu tidak lama. Setelah reformasi, Gus Dur mendirikan PKB, melepaskan diri dari kepemimpinan PBNU. Ia lalu terpilih menjadi presiden keempat dengan dukungan Poros Tengah pimpinan Amien Rais, yang merupakan koalisi partai-partai Islam. NU pun kembali ke pusaran kekuasaan. Muktamar selayaknya melihat kembali posisi ormas terbesar di Indonesia ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo