Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah pusat dan sejumlah daerah diduga menyajikan data yang direkayasa.
Ada berbagai motif manipulasi, dari soal politis hingga status kebencanaan.
Bisa membuat Indonesia terkucil dari pergaulan internasional.
PADA masa pandemi Covid-19, merekayasa data penularan virus berbahaya itu boleh disebut sebagai pembunuhan massal berencana. Sebab, angka hasil manipulasi membuat tindakan penanganan pagebluk di suatu wilayah bisa keliru dan berujung pada kematian warganya. Tindakan manipulatif itu seharusnya dihentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Utak-atik data pandemi ditengarai dilakukan di berbagai level pemerintahan. Hal itu terlihat dari kejanggalan data kasus di sejumlah daerah. Pada umumnya keanehan data berkaitan dengan jumlah tes yang diturunkan, angka kasus aktif yang dikecil-kecilkan, serta data kematian yang disembunyikan. Semua dilakukan untuk membuat citra bahwa suatu wilayah dalam kondisi baik-baik saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Mei lalu, ketika para ahli pandemi mewanti-wanti kemungkinan datangnya gelombang kedua virus corona, banyak daerah justru berlomba-lomba memperkecil jumlah tes. Tujuannya, mempertahankan status “zona hijau”. Di Jawa Timur, jumlah tes spesimen terus menurun pada waktu itu, dibarengi dengan turunnya tingkat kepositifan—perbandingan kasus positif dengan jumlah tes—yaitu 6 persen. Namun, belakangan, setelah jumlah tes digenjot, angka itu melonjak menjadi 39,24 persen. Pekan lalu, provinsi itu menyumbang kasus harian terbanyak dan angka kematian tertinggi di Indonesia. Penyajian data yang tak jujur berakibat malapetaka.
Dugaan permainan data Covid-19 juga dilakukan di tingkat kabupaten atau kota. Sebut saja Kota Malang, Jawa Timur, yang tak transparan melaporkan angka kematian. Kelompok pemantau pandemi, LaporCovid-19, menyebutkan 26 orang meninggal dan dimakamkan dengan protokol khusus di kota itu pada 20 Juli 2021. Untuk tanggal yang sama, situs pencatatan Covid pemerintah Jawa Timur tidak mencantumkan satu pun kematian, termasuk untuk Kota Malang.
Kejanggalan data pun terlihat di Sidoarjo, Jawa Timur. Kementerian Kesehatan merilis hanya ada 264 kasus aktif di wilayah itu ketika jumlah pasien di rumah sakit mencapai 1.178 orang. Ajaib, kasus aktif lebih kecil daripada jumlah pasien di rumah sakit. Indikasi lain terlihat di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, terlihat dari rasio pasien rawat inap dengan kasus aktif yang di atas 50 persen. Menurut sejumlah pakar, standar wajar dunia data ini pada kisaran 20-25 persen. Tingginya rasio bisa jadi akibat banyak kasus aktif yang tidak diumumkan ke publik.
Di pemerintah pusat, persoalan data sudah terlihat sejak awal pandemi. Selalu ada jurang di antara data di lapangan dan angka resmi yang setiap hari diumumkan. Presiden Joko Widodo pun pada Maret 2020 mengakui tidak mengeluarkan data sesungguhnya karena “tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat”.
Banyak kemungkinan motif memainkan data pandemi. Untuk yang berhasrat mengikuti kontestasi politik, kepala daerah barangkali ingin dicatat sebagai kandidat yang berhasil mengendalikan pandemi. Kelak, mereka bisa memamerkan “pencapaian” itu di pidato-pidato kampanye. Kemungkinan lain, data direkayasa agar suatu wilayah tak masuk kategori zona merah yang mengharuskan aneka pembatasan. Jika ada pembatasan, kegiatan ekonomi tak bisa dijalankan. Apa pun motifnya, pejabat yang mengutak-atik data itu sedang menggali lubang kubur mereka sendiri.
Selain mengacaukan penanganan pandemi, manipulasi data jelas membahayakan keselamatan banyak orang. Masyarakat yang percaya data semu menjadi abai, melonggarkan kewaspadaan, tak menyadari virus kini bermutasi makin mematikan. Akibatnya, bisa muncul ledakan angka kasus baru. Bisa jadi sebagian yang meninggal adalah korban fatamorgana ini. Kebohongan data ini jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penyajian data yang tak jujur, ditambah sikap penyangkalan dari banyak pejabat, membuat wabah makin sulit ditangani. Penyangkalan itu terlihat dari perdebatan definisi kata dalam sejumlah peristiwa, misalnya, debat kusir “fasilitas kesehatan tidak kolaps, hanya kelebihan pasien” ketika ribuan pasien bergantung pada nasib baik untuk mempertahankan nyawa mereka. Akhir-akhir ini, sejumlah pejabat tinggi juga murka menghadapi kritik.
Ketidakjujuran, penyangkalan berlebihan, juga sikap tak terbuka jelas tidak menyelesaikan masalah. Selain menyulitkan penanganan pandemi, perilaku seperti itu menipiskan kepercayaan publik. Akibatnya, kesetiakawanan masyarakat pun sulit dibangun. Padahal solidaritas ini justru bisa menambal banyak kelemahan aparatur negara dalam menghadapi pandemi dan dampaknya.
Dalam hubungan internasional, Indonesia pun akan kehilangan kepercayaan dunia. Tidak tertutup kemungkinan makin banyak negara yang melarang warga Indonesia memasuki wilayah mereka. Tentu saja pemerintah negara itu juga bisa melarang warganya memasuki Indonesia. Walhasil, hal yang selalu menjadi perhatian pemerintah Jokowi, yakni simbol-simbol kemajuan ekonomi, termasuk kedatangan investasi dan pelancong asing, tak akan tercapai.
Tak ada jalan lain, mulai saat ini, pemerintahan di semua level harus menyajikan data pandemi dengan jujur. Jika tidak, tak salah akan muncul olok-olok: mereka hanya mampu mengendalikan data, bukan penyebaran virusnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo