Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Greenpeace memprediksi Jakarta akan tenggelam pada 2030.
Hampir 17 persen tanah Jakarta bagian utara akan terendam banjir bandang.
Memindahkan ibu kota bukanlah tindakan bertanggung jawab.
JAKARTA tenggelam tak lama lagi. Peringatan itu sudah berkali-kali datang dari berbagai penelitian. Namun pemerintah seakan-akan menutup kuping rapat-rapat dan membiarkan air Laut Jawa pelan-pelan menggerus tanah Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peringatan mutakhir datang dari Greenpeace, yang merilis hasil analisisnya tentang dampak perubahan iklim terhadap tujuh kota pantai di Asia. Organisasi lingkungan internasional itu memprediksi banjir bandang akan melanda Jakarta, Hong Kong, Taipei, Seoul, Tokyo, Manila, dan Bangkok pada 2030.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila suhu bumi terus naik konsisten 3-4 derajat, menurut Greenpeace, sepuluh tahun lagi hampir 17 persen tanah Jakarta bagian utara akan tenggelam. Air laut bahkan akan merendam kawasan Monumen Nasional dan Istana Negara. Sebanyak 1,8 juta penduduk Ibu Kota bakal kehilangan tempat tinggal atau terkena dampak buruk lain. Prediksi Greenpeace ini lebih cepat daripada ramalan sejumlah ahli sebelumnya yang menyebutkan Jakarta bakal tenggelam pada 2050.
Tanda-tanda Jakarta tenggelam terlalu nyata untuk diabaikan. Permukaan tanah turun rata-rata 1-15 sentimeter per tahun. Bahkan beberapa kawasan di pesisir sudah terbenam hingga 4 meter. Pada 2007, hampir seluruh kota terendam banjir akibat hujan lebat dan gelombang pasang yang datang bersamaan. Jakarta kini praktis menghadapi ancaman dari dua arah. Dari utara, banjir rob siap menyapu kapan saja. Dari selatan, kiriman banjir dari kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, siap menghembalang setiap kali terjadi curah hujan ekstrem.
Greenpeace memang hanya memperingatkan Kota Jakarta. Tapi kota pesisir lain di Nusantara—seperti Lampung, Palembang, Cirebon, dan Makassar—juga mesti waspada. Sebab, akar ancaman banjir bandang itu adalah perubahan iklim global. Artinya, ancaman bagi Jakarta pada dasarnya ancaman bagi kota pantai lain.
Kini tak ada yang bisa memungkiri lagi dampak perubahan iklim dan pemanasan global yang kian nyata. Karena itu, sejumlah negara, yang pemimpinnya punya visi jelas soal lingkungan, berusaha keras mengurangi emisi karbon agar suhu bumi tak terus memanas.
Celakanya, pemerintah Indonesia seperti menganggap peringatan alam dan pelbagai prediksi itu sebagai angin lalu. Kampanye mengantisipasi perubahan iklim di negeri ini lebih sering didengungkan kalangan aktivis lingkungan. Sedangkan di sisi pemerintah, setelah presiden berganti beberapa kali, tak terlihat kebijakan serius untuk memitigasi bencana akibat pemanasan global itu. Bahkan di masa Presiden Joko Widodo, ketika banyak mantan aktivis lingkungan merapat ke Istana, tak juga muncul terobosan signifikan dalam kebijakan lingkungan.
Pemerintah pusat dan DKI Jakarta bahkan sempat bersepakat mengizinkan reklamasi besar-besaran pesisir utara Ibu Kota. Setelah pemerintah DKI mencabut izin reklamasi 13 pulau, pemerintah pusat malah menghidupkan lagi gagasan pembangunan tembok laut raksasa. Dalihnya memang untuk membendung Jakarta dari hantaman ombak laut. Tapi kepentingan investasi di balik proyek giant sea wall itu terasa lebih pekat ketimbang kepentingan penyelamatan lingkungan.
Ketika ramalan Jakarta tenggelam kian dekat, meninggalkan kota ini dengan membangun ibu kota baru adalah tindakan pengecut yang bisa memicu masalah baru. Apalagi, di tengah kesulitan keuangan negara akibat hantaman pandemi, mimpi ambisius memindahkan ibu kota seharusnya dibuang jauh-jauh. Bila hendak disebut bertanggung jawab, pemerintah pusat dan DKI harus bekerja lebih keras untuk menyelamatkan Kota Jakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo