DUA bom dilontarkan oleh kalangan yang mengaku pengikut Darul Islam pada November ini. Yang pertama adalah bom betulan, yang sempat meledak di Gereja Petra, Tanjungpriok, Jakarta. Yang kedua adalah bom tudingan yang dilontarkan Al Chaidar, penulis buku Kartosuwiryo yang mengaku sebagai aktivis Darul Islam. Kedua "ledakan" ini segera saja mengingatkan kita bahwa kelompok yang menginginkan terbentuknya negara Islam di Indonesia masih ada, dan cukup aktif.
Kegiatan mereka jelas perlu disikapi. Namun, sebelum keputusan diambil, tentu perlu dikumpulkan dulu masukan yang bening dan daya analisis yang tajam. Setidaknya bila keterangan Al Chaidar ternyata mengandung kebenaran, berarti kelompok Darul Islam bukanlah sebuah organisasi yang homogen, melainkan penuh dengan faksi. Bahkan pertentangan antarfaksi, paling tidak menurut Al Chaidar, sangat tinggi. Terutama dalam memilih metode perjuangan mereka untuk mencapai tujuan.
Perbedaan antarkelompok ini, kendati masing-masing mengaku sebagai gerakan Darul Islam, meniscayakan kita untuk tidak bersikap homogen pula. Sebab, dalam era demokrasi sekarang ini, seseorang tak dapat diadili karena pemikirannya, melainkan hanya perbuatannya. Semua pengikut Darul Islam—dari faksi mana pun—boleh saja punya aspirasi ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, bila aspirasi itu sudah diimplementasikan dalam perbuatan, semuanya harus berada dalam koridor hukum yang berlaku. Bila ada yang menyimpang, aparat hukum harus menindak mereka menurut ketentuan.
Penyimpangan itu tak harus hanya berbentuk aktif. Mengetahui seseorang atau sebuah kelompok melakukan tindakan kriminal namun tak melaporkannya kepada polisi adalah sebuah pelanggaran hukum. Itu sebabnya, tindakan Al Chaidar melaporkan apa yang diketahuinya ke publik sudah merupakan langkah yang tepat. Walhasil, semua pihak, terutama aparat penegak hukum, harus mendukung sikap seperti ini agar para anggota Darul Islam yang lain terangsang untuk mengikuti jejak Al Chaidar.
Bila hal ini benar-benar terjadi, gerakan Darul Islam yang menjalankan prinsip damai dan demokratis berkesempatan melepaskan organisasi mereka dari stigma "ekstrem kanan" yang diberlakukan oleh rezim Orde Baru. Sementara itu, faksi yang memilih jalan kekerasan harus menerima konsekuensi mendapat cap sebagai gerakan teroris dan berhadapan dengan petugas penegak hukum yang didukung masyarakat luas.
Kini terlepas pada para anggota Darul Islam untuk memilih jalan hidupnya. Bila mereka membiarkan Al Chaidar berjalan sendirian, bolehlah disimpulkan bahwa stigma Orde Baru itu memang layak mereka sandang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini