Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Taufiq Tidak Wajib Mundur dari DPR, Hanya Sunah...

Masalahnya, anggota DPR yang suami presiden dan yang bukan, dalam hal berpeluang berbuat keliru, sama saja besarnya.

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJADI suami atau istri seorang presiden memang harus ikut repot. Mau tak mau, suka atau tak suka, ia harus ikut menjadi figur publik. Ia tak lagi sebebas ketika suami atau istrinya bukan kepala pemerintahan. Ia harus ikut menjaga nama baik suami atau istrinya itu. Karena itulah Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, melegakan semua pihak ketika ia menyatakan berhenti sebagai pengusaha. Dengan demikian ia menutup peluang dituduh melakukan yang populer disebut KKN atau korupsi, kolusi, dan melakukan nepotisme. Tapi belakangan Taufiq diminta kerelaannya oleh Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Syahrir, agar mengundurkan diri juga sebagai anggota DPR RI. Menurut Syahrir, kedudukan itu bisa menimbulkan konflik kepentingan dan merugikan citra Presiden. Permintaan itu bisa dipahami. Orang mudah berpikir, misalnya, karena ia suami Presiden yang Ketua PDI Perjuangan, hingga janjinya kemungkinan besar ditepati. Umpama sebuah usul dari PDIP perlu di-voting, sang suami yang anggota DPR dari PDIP ini bisa saja melobi anggota DPR dari partai lain agar mendukung usulnya. Tentu, ada janji ini dan itu. Kita bayangkan, yang dilobi sangat percaya janji itu karena yang menawarinya adalah suami presiden. Tapi apakah seorang anggota DPR dari PDIP yang tak punya istri atau suami presiden tak bisa melakukan hal seperti itu? Tentu bisa. Persoalannya, itu tadi, akan lebih meyakinkan pihak yang dilobi bila dia itu suami atau istri presiden. Dan sungguh tak manusiawi apabila kemudian ia diminta berhenti sebagai suami atau istri presiden—maka PIB memintanya mundur saja dari DPR. Masalahnya, pertama, hal ini secara formal tak ada peraturannya. Sejauh yang bersangkutan berjalan pada relnya, tak akan ada persoalan. Misalnya, Taufiq dalam berbagai sidang DPR membela kebijakan Presiden, membela PDIP yang dipimpin Presiden dalam batas peraturan, itu wajar-wajar saja. Siapa pun anggota DPR dari PDIP, teorinya, akan melakukan hal itu juga. Yang kedua, bahwa seorang suami atau istri presiden akan lebih diikuti daripada anggota partai yang lain, sulit dibuktikan. Seperti juga bahwa DPR bertugas mengawasi eksekutif termasuk presiden, dan karena itu anggota DPR yang suami presiden disangsikan bisa melakukan kontrol itu, sangat debatable. Alhasil, anggota DPR yang suami atau istri presiden memang bukan persoalan besar. Namun, berdasarkan nasihat para bijaksana bahwa manusia itu mudah tergoda dan cenderung alpa bila punya peluang, memang alangkah bijaksananya bila suami atau istri presiden menarik diri dari lembaga legislatif (dan lembaga lain), yang lingkup kerjanya berkaitan dengan kerja presiden. Dengan kata lain, imbauan itu mudah diterima apabila dasarnya adalah moral. Singkat kata, hal itu terserah pada nurani yang bersangkutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus