Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENCATAN senjata dan pemilihan umum ternyata sama sekali tak mengerem jatuhnya korban di Suriah. Buktinya, dalam dua pekan terakhir, Suriah tetap mendidih. Di Kota Rastan, Homs, pemberontak membunuh 23 tentara pemerintah. Sebaliknya, didukung kendaraan lapis baja, pasukan Bashar al-Assad membantai warga sipil Hama. Semuanya terjadi setelah pemilihan umum multipartai digelar pada 7 Mei lalu. Assad menguar-uarkan pemilu ini sebagai awal era baru bagi Suriah.
Riwayat Assad tampaknya belum berakhir dalam sepekan. Tekanan-tekanan yang menuntut dia mundur setelah pemilu malah membuatnya makin percaya diri. Apalagi, di luar negeri, solidaritas Friends of Syria yang digalang para pelarian tampak masih mandul. Di dalam negeri, oposisi makin terbelah menjadi banyak faksi. Munculnya kelompok militan Front Al-Nusra, yang mengklaim bertanggung jawab atas bom di Damaskus, makin membingungkan: seberapa kompak sesungguhnya para penentang Assad.
Suriah memang harus mendapat penanganan berbeda dengan Libya, Kosovo, atau Irak. Kemalasan masyarakat internasional mengambil solusi militer selama ini justru dengan pertimbangan bahwa intervensi militer bisa menyulut perang saudara.
Tapi perubahan dari dalam, seperti pemilu kemarin, ternyata juga tidak menjanjikan hasil memuaskan. Sebaliknya, pemilu itu seolah-olah alat legitimasi baru bagi Assad. Berdasarkan konstitusi baru, ia rela partainya—Partai Baath, yang berkuasa sejak 1963—dicabut sebagai pemimpin negara dan masyarakat, disusul pemilu multipartai.
Pemilu diikuti tujuh partai baru. Lebih dari 7.000 kandidat memperebutkan 250 kursi di parlemen. Hampir lima juta penduduk mendapat hak suara, dengan 12 ribu tempat pemungutan suara di 14 provinsi. Inilah alasan Assad bahwa ia telah menjalankan reformasi. Tapi pemilu berjalan tanpa pengawas independen. Tujuh partai baru itu bentukan pemerintah. Sulit menghindari kesan bahwa pemilu itu hanya tonil, bahkan penghinaan terhadap demokrasi.
Karena itu, muncul kekhawatiran bahwa eskalasi kekerasan sesudah pemilu justru mencapai klimaks. Dengan dalih menggenggam legitimasi, Assad bisa makin menindas warga sipil yang membangkang dan mengecap mereka teroris. Pada titik ini dikhawatirkan ia bisa meniru kekejaman ayahnya, Hafez al-Assad, yang pada 1982 membantai lebih dari sepuluh ribu aktivis di Kota Hama.
Meningkatkan intervensi kemanusiaan merupakan hal mendesak. Selama ini sekitar 200 sukarelawan kemanusiaan memasuki kota-kota yang bergolak, tapi belum berpengaruh nyata. Bahkan konvoi Perserikatan Bangsa-Bangsa ditembaki di Homs. Dengan demikian, jumlah tenaga harus ditambah berkali-kali lipat. Mereka harus membentuk zona penyangga dan mendesak tentara Suriah meninggalkan kawasan sipil, dan menyediakan angkutan bagi pengungsi. Lebih dari 200 ribu pengungsi mengalir ke negara tetangganya, Libanon dan Turki.
Kofi Annan, sebagai utusan khusus PBB, dan Liga Arab mengakui gencatan senjata justru meningkatkan penyiksaan massal oleh tentara Suriah. Benarlah ucapan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon bahwa pemilu bukan hal yang utama bagi Suriah. Yang utama adalah menghentikan tindakan kekerasan Assad terhadap warga sipil, sekaligus mengakhiri ”darurat Suriah” yang sudah berjalan terlalu lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo