Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Layanan Buruk Navigasi Udara

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRAGEDI kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 semestinya menjadi momentum perbaikan layanan navigasi udara di Tanah Air. Sudah lama sejumlah pilot mengeluh bahwa memasuki wilayah udara Indonesia bak masuk ke neraka. Komunikasi di angkasa kita begitu semrawut karena kerap muncul gangguan suara musik dan percakapan radio atau telepon. Bisa dibayangkan betapa masygulnya para pilot itu karena mereka bertanggung jawab menga­wal keselamatan penumpang.

Keluhan para petugas air traffic control (ATC) perlu juga diperhatikan. Tugas mereka sama beratnya dengan para pilot karena harus memandu pesawat agar dapat lepas landas, terbang, dan mendarat dengan aman. Kekecewaan lantaran dibayar murah hendaknya segera dicarikan jalan keluarnya agar mereka bisa hidup layak. Kendati begitu, kendala ini tak boleh dijadikan alasan untuk tidak berdisiplin, terutama menjaga ruang kerja mereka yang harus benar-benar steril.

Fasilitas jadul yang ada di ruang kendali lalu lintas penerbangan juga seharusnya diperbarui. Software usang, buatan tahun 1997, yang masih dipakai para petugas ATC di Bandara Soekarno-Hatta tak boleh digunakan lagi. Peranti lunak ini semestinya diganti tiap sepuluh tahun. Upgrade peralatan ini sangat diperlukan agar kapasitasnya benar-benar memadai untuk menyimpan data penting. Jika semua peranti sudah diperbaiki, tak ada alasan bagi mereka untuk tidak memberi layanan prima.

Sistem radar yang ketinggalan zaman mungkin sudah harus ditaruh di museum. Kita tertinggal jauh dibanding negeri jiran, Singapura, yang sudah lama menggunakan sistem radar canggih, dilengkapi fasilitas pembaca cuaca, yang tentu sangat kita perlukan. Tender pengadaan radar modern ini hendaknya diprioritaskan, apalagi di tengah cuaca yang kian tak menentu akibat pemanasan global.

Kerapnya terjadi perbedaan cara bekerja di antara petugas ATC dalam memandu pesawat kudu diselesaikan dengan membikin prosedur standar operasi, yang sampai kini belum pernah ada. Prosedur ini bisa mencegah perbedaan cara memandu pesawat yang kerap terjadi di antara sesama petugas di ruangan vital itu.

Jumlah petugas ATC ternyata masih jauh dari memadai. Saat ini Indonesia baru memiliki 1.215 petugas ATC. Padahal udara kita semakin padat dengan lalu lintas burung besi. Dalam satu hari saja, ATC Bandara Soekarno-Hatta harus melayani tak kurang dari 1.800 pesawat. Lalu lintas udara yang padat ini semestinya dipandu sedikitnya 2.500 petugas. Tak boleh lagi terjadi, petugas ATC kerap harus melayani 15 pesawat pada saat bersamaan. Sejawat mereka di Bangkok bisa bekerja dengan risiko kesalahan lebih kecil karena setiap petugas paling banyak hanya menangani 10 pesawat.

Perbaikan layanan udara bisa dimulai dengan segera melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Peraturan itu menegaskan bahwa pengelolaan layanan navigasi penerbangan (air traffic services) harus dilakukan oleh pengelola tunggal. Peraturan ini merujuk pada permintaan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).

Nyatanya, sampai saat ini layanan navigasi penerbangan di Indonesia masih dikelola beberapa lembaga. Di sejumlah wilayah udara, pengelolanya adalah Angkasa Pura I. Wilayah lain dikelola Angkasa Pura II. Ada pula wilayah yang dikelola Kementerian Perhubungan melalui bandara-bandara unit pelaksana teknis. Otoritas Batam juga mengelola sendiri layanan navigasi penerbangan di wilayahnya. Bahkan ada pengelola swasta seperti di Timika, Papua.

Molornya pelaksanaan pengelola tunggal yang semestinya sudah dilakukan pada 1 Januari 2010 itu amat disayangkan. Pemerintah perlu segera membentuk Perusahaan Umum Pusat Penyelenggara Navigasi Penerbangan atau Single Air Traffic System. Targetkan saja perusahaan itu terwujud awal Juni mendatang. Tak ada alasan menunda-nunda keputusan penting ini. Penyatuan layanan navigasi penerbangan akan membuat ATC, yang selama ini terpisah, bisa terkoneksi dengan baik. Integrasi petugas dan peralatan diperkirakan membuat Bandara Soekarno-Hatta mampu melayani 2.400 pesawat dalam satu hari.

Perusahaan Umum Pusat Penyelenggara Navigasi Penerbangan itu juga otomatis akan memisahkan pengelola bandara dengan sistem pemandu lalu lintas udara. Sebagai perusahaan umum, pengelola tunggal berbentuk lembaga layanan itu berada di bawah Kementerian Perhubungan dan tidak punya misi mencari untung. Jika ada pemasukan, duitnya bisa digunakan untuk memperbarui sistem peralatan kita. Hanya dengan serangkaian cara inilah kita bisa terhindar dari tragedi pelarangan penerbangan asing masuk ke wilayah Indonesia lantaran buruknya layanan navigasi udara kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus