Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALASAN polisi melarang konser penyanyi Amerika, Lady Gaga, sangat dangkal dan mudah disanggah. Merujuk pendapat Ketua Majelis Ulama Indonesia, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan segelintir organisasi kemasyarakatan, polisi menilai konser itu tak sesuai dengan moral dan budaya Indonesia.
Moral apa? Budaya yang mana? Kalau yang dimaksud adalah pakaian minim dan gerak erotis sang penyanyi peraih lima Grammy Awards, itu soal yang bisa diperdebatkan sampai kapan pun.
Budaya Indonesia mengenal berbagai kesenian yang mengandung erotisme. Ronggeng, tayub, dan jaipong, umpamanya, masih subur di pelbagai pelosok. Di pinggiran Jakarta dengan mudah dijumpai orkes dangdut dengan penyanyi berbusana minim meliuk menggoda.
Tak suka Lady Gaga, itu hak siapa saja. Menyeru agar orang tak menonton, asalkan tak memaksa, juga tak salah. Mempercayai Lady Gaga menyembah setan juga tak dilarang. Untuk mencegah ”bahaya laten” Lady Gaga, jika perlu, buat saja konser lagu rohani tingkat dunia pada malam Lady Gaga naik panggung. Kampanyekan acara itu ke pelosok Nusantara. Gratiskan tiketnya agar penonton membeludak. Siapa tahu penikmat Stefani Joanne Angelina Germanotta—nama asli Lady Gaga—lebih tertarik nonton pentas ”agamis” itu ketimbang berjoget dengan sang artis.
Yang jelas melanggar kebebasan berekspresi adalah mengubah imbauan menjadi larangan. Polisi yang tak mengizinkan konser berarti menyunat hak orang lain menonton Lady Gaga. Bahkan jumlah yang tak setuju konser itu jauh lebih sedikit dibanding 30 ribu orang yang sudah kadung membeli tiket. Menyedihkan, hak asasi warga negara yang dijamin konstitusi justru dilanggar aparat negara yang seharusnya menjaga pelaksanaan hak dasar itu.
Bisa diduga, polisi sebetulnya tak punya argumen solid untuk melarang konser penyanyi yang albumnya terjual hingga 64 juta kopi itu. Yang ada, besar kemungkinan, ketakutan terhadap ancaman segelintir petinggi Front Pembela Islam, organisasi yang sebelumnya mendemo rencana konser.
Ketakutan itu, agaknya, mengakibatkan tak ada usaha mencegah pembubaran diskusi dengan pemikir Kanada, Irshad Manji, dua pekan lalu. Di Yogyakarta, pendukung organisasi serupa menyerbu dan melukai peserta diskusi. Mungkin teror juga yang membuat Universitas Gadjah Mada—kampus ternama yang semestinya mengagungkan kebebasan akademik itu—membatalkan seminar Irshad. Yang merisaukan, tak satu pun pihak terpanggil mencegah pelanggaran dasar negara ini. Menghadapi organisasi ”vigilante” itu, sungguh sukar dipahami bila kampus lunglai, polisi tak berdaya, negara seperti tak punya daya cegah.
Absennya peran negara menyebabkan pengaturan ruang privat dan publik warga negara kacau-balau. Kebebasan beragama yang dijamin konstitusi jelas berada di ruang privat. Tanpa pengawalan negara, ruang pribadi warga negara itu selama ini dengan mudah dimasuki dan diporak-porandakan. FPI, misalnya, sering bertindak sendiri dengan dalih aparat negara abai terhadap hal-hal yang mereka anggap ”munkar”.
Negara tak semestinya tunduk pada teror. Polisi harus tegas: mengabaikan ancaman, menindak mereka yang terlibat kekerasan. Diskriminasi—atas dasar ketakutan atau pilihan politis—terhadap gerombolan berjubah mesti secepatnya dihentikan.
Kita tak ingin satu demi satu hak asasi warga negara dirampas siapa pun. Bila memahami betapa serius pelanggaran konstitusi ini, Kepala Negara semestinya tampil menolak perampasan hak-hak dasar itu. Jangan biarkan Republik jatuh ke tangan pembuat onar—tak peduli mereka berjubah atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo