Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
IBC akan mengakuisisi produsen mobil listrik Jerman, StreetScooter.
Aksi korporasi senilai Rp 2,4 triliun ini melibatkan broker yang dekat dengan penguasa.
Sempat ada penolakan, tapi Kementerian BUMN memaksakan jalan terus.
RENCANA Indonesia Battery Corporation (IBC) mengakuisisi StreetScooter, produsen mobil listrik asal Jerman, mengandung banyak kejanggalan. Selain prospek bisnis yang meragukan, transaksi oleh perusahaan hasil patungan empat badan usaha milik negara tersebut terkesan dipaksakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBC akan membeli StreetScooter, anak usaha firma logistik Jerman, DHL Group, senilai US$ 170 juta (sekitar Rp 2,4 triliun) untuk 68 persen saham. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyetujui aksi korporasi ini dengan alasan normatif: StreetScooter bisa melengkapi ekosistem kendaraan listrik yang sedang dibangun IBC. Artinya, transaksi tersebut wajar-wajar saja jika memang StreetScooter memiliki valuasi yang sepadan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, yang terjadi justru sebaliknya. Sejumlah dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan StreetScooter menghadapi banyak persoalan teknis. Hasil uji tuntas BNP Paribas dan beberapa konsultan lain menyebutkan perusahaan yang bermarkas di Aachen, Jerman, ini baru memiliki hak paten untuk empat jenis komponen. Padahal untuk membuat satu mobil saja dibutuhkan setidaknya 90 jenis paten atau hak atas kekayaan intelektual.
Persoalan lain adalah StreetScooter tidak memiliki pabrik sendiri, sehingga proses produksinya mesti dilakukan dengan skema sewa. Walhasil, valuasi yang ditawarkan DHL terlalu mahal. Produk StreetScooter berupa mobil listrik dan sepeda listrik pengangkut barang juga kurang laris, sehingga perusahaan ini merugi. Belakangan, diketahui DHL sudah tujuh tahun berupaya melego perusahaan ini kepada investor lain, tapi tak berhasil karena performa bisnisnya tak sesuai dengan harapan.
Sejumlah indikator dalam due diligence menyebutkan IBC sebenarnya tak layak mengakuisisi StreetScooter dengan nilai sebesar itu. Namun, bisa ditebak, proses jual-beli itu pada akhirnya akan mulus karena ada peran broker yang selama ini dekat dengan penguasa.
Kementerian BUMN dan manajemen IBC semestinya memberikan penjelasan yang terang dan masuk akal soal manfaat akuisisi tersebut. Misalnya dalih bahwa IBC punya peluang untuk memperbaiki performa StreetScooter hingga menjadi perusahaan yang bernilai tinggi. Namun hal itu tidak pernah dilakukan, termasuk soal pemilihan perusahaan perantara. Sikap tersebut bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik, ketika BUMN dan anak-anak usahanya seharusnya melakukan proses bisnis yang menguntungkan, transparan, dan efisien.
Jika ingin membangun ekosistem industri kendaraan listrik, mengapa IBC tidak membidik perusahaan yang lebih cemerlang, dengan proses akuisisi yang akuntabel. Jika mengejar harga murah, di dalam negeri sudah banyak startup dan builder kendaraan listrik yang siap diajak berkolaborasi.
Sejumlah kampus pun membuat proyek Molina atau Mobil Listrik Nasional, yang sebetulnya siap mentas jika dibekali cukup dana dan dibina hingga siap masuk ke skala industri. Bahkan, jika dilihat dari sejarahnya, StreetScooter adalah evolusi dari proyek riset universitas yang kemudian mendapat sentuhan investor. Mengapa IBC tidak meniru proses ini saja ketimbang memaksakan diri membelanjakan dana besar untuk aksi korporasi yang rumit dan kelayakan bisnisnya meragukan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo