Tenggat 12 Oktober 2001 untuk akuisisi Bank Internasional Indonesia (BII) terlampaui, di saat Bank Mandiri masih menghitung-hitung implikasi finansial dan harga yang mesti dibayar bila harus membeli bank yang dibebani kredit macet Grup Sinar Mas itu. Ketika pemerintah terpaksa menyelamatkan BII untuk kedua kali, 12 November lalu, rencana akuisisi pun tampak kian muskil. Dan memang, akuisisi batal sama sekali. Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, memastikan hal itu Kamis pekan lalu. "BII akan menjadi stand alone bank," katanya. Ia juga berjanji akan menyehatkan BII, sehingga sahamnya bisa didivestasikan, tahun depan.
Pembatalan akuisisi mungkin dianggap alternatif paling tepat, agar bank papan atas yang kondisinya rentan dari segi kecukupan modal itu kelak tidak lagi mencipratkan "lumpur" ke program rekapitalisasi bank yang habis-habisan dibela pemerintah. Namun, dengan pembatalan akuisisi BII, berarti ada pekerjaan rumah tambahan berupa rekapitalisasi tahap II atas bank milik taipan Eka Tjipta Widjaya ini. Dan itu berarti memindahkan beban kredit macet BII ke APBN, yang pada gilirannya akan menggeser beban itu ke pundak setiap pembayar pajak negeri ini.
Memindahkan beban bank bobrok ke pundak rakyat bukanlah solusi yang populer, dan Laksamana bukan tidak menyadari hal itu. Wajarlah bila ia menjanjikan bahwa tahun 2002, BII yang diperkirakan sudah sehat—dengan suntikan recycle bond —segera bisa didivestasikan. Tapi, mengingat prospek ekonomi Indonesia baru akan cerah pada semester II 2002, divestasi BII itu agaknya tak mungkin terjadi dalam enam bulan ke depan. BCA, yang kinerjanya jauh lebih bagus pun, divestasinya tersendat-sendat.
Yang pasti, di luar recycle bond sebesar Rp 14 triliun, pemerintah menyuntikkan lagi Rp 2 triliun ke BII, khusus untuk menutup klaim antarbank Rp 1,2 triliun dan pajak yang ditangguhkan sebesar Rp 800 miliar. Beban Rp 2 triliun ini seharusnya sudah dibereskan dalam rekapitalisasi tahap I, tapi entah mengapa tidak ikut dibenahi. Tak mengherankan kalau Bank Mandiri waswas, belum lagi kredit macet Grup Sinar Mas yang begitu ruwet, ditambah urusan kredit non-Grup Sinar Mas dan masalah kewajiban BII di luar negeri. Singkat kata, pembatalan akuisisi akan lebih tepat dilihat sebagai rahmat terselubung, karena akuisisi atas BII hanya akan menyulitkan langkah Mandiri ke arah privatisasi.
Kini Bank Mandiri dapat berkonsentrasi mempersiapkan initial public offering (IPO) alias penawaran saham perdana yang direncanakan tahun depan. Andaikata IPO itu sukses, struktur permodalan Mandiri kian mantap, sehingga bank ini akan lebih leluasa menentukan strategi pengembangan usahanya untuk jangka menengah dan panjang. Dari sepak terjangnya, Mandiri terkesan membidik segmen consumers banking—alternatif yang memang sulit dielakkan karena sektor riil belum juga menggeliat. Tapi potensinya di bidang corporate banking dan investment banking sebaiknya terus dipupuk dari sekarang, karena hal itu akan diperlukan nanti, ketika Indonesia memasuki tahap pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, BII yang sempat goyah kini kembali mantap, tapi untuk berapa lama? CAR-nya melonjak 14 persen, kredit macetnya dialihkan ke BPPN, namun ada saja yang meragukan kesehatannya. Minimal, kemampuan BII untuk stand alone—seperti yang dikatakan Laksamana—masih harus dibuktikan. Program rekapitalisasi bank juga masih harus dibuktikan keberhasilannya, kendati untuk sementara mampu mempersolek bank-bank sakit hingga tampak sehat. Namun upaya menyehatkan bank ternyata membuat anggaran negara sakit-sakitan. Dan kalau APBN terus-menerus tak tertolong—seperti yang bisa diprediksi—pemerintah pun bisa ikut-ikutan doyong. Siapkah kita?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini