Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tata Tertib DPR yang Kebablasan

Tata tertib yang membolehkan DPR mencopot pemimpin lembaga negara menabrak konstitusi. Rawan politisasi.

10 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • DPR bisa mengevaluasi dan mencopot semua pejabat negara yang disetujui dalam rapat paripurna.

  • Perubahan tata tertib DPR melanggar konstitusi.

  • Aturan baru itu membuat lembaga yang pejabatnya dipilih DPR tidak independen.

RAPAT Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang menyetujui perubahan tata tertib merupakan siasat lancung untuk menambah kewenangan sendiri. Berbekal aturan tersebut, DPR bisa mencopot pemimpin lembaga negara lain. Langkah ini melanggar konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pada Selasa, 4 Februari 2025, DPR menyetujui perubahan atas Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Dalam tata tertib DPR yang baru itu disisipkan Pasal 228A yang memberikan fungsi dan kewenangan bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna. Hasil evaluasi itu bersifat mengikat. DPR bisa meminta lembaga negara memberhentikan pejabatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan mengusulkan penambahan Pasal 228A demi menjaga kehormatan Dewan cuma omong kosong. Dengan terbitnya tata tertib baru ini, semua pejabat negara yang disetujui dalam rapat paripurna—seperti hakim Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Konstitusi (MK), pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, komisioner komisi negara, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Kepolisian RI—bisa dievaluasi DPR. Padahal, mengevaluasi pejabat negara bukanlah fungsi DPR, kecuali untuk pergantian antarwaktu anggota sendiri. Tiga fungsi DPR adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Pada dasarnya, pemilihan hakim konstitusi dan pejabat negara masuk aturan main pemilihan, bukan pemberian mandat yang bisa dicabut kapan saja. Setelah terpilih, mereka diatur dalam undang-undang masing-masing, misalnya hakim MK diatur oleh Undang-Undang MK.

Bukan cuma itu. Perubahan tata tertib DPR yang dibahas secara kilat dalam satu hari itu menabrak konstitusi karena susunan, kedudukan, dan fungsi lembaga negara diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Pasal 24A ayat 5 UUD 1945, misalnya, tertulis susunan, kedudukan, dan keanggotaan MA diatur oleh undang­-undang. Begitu pula dengan Pasal 24C ayat 6 yang menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi diatur melalui undang-undang.

Pejabat negara yang bisa diberhentikan di tengah jalan adalah mereka yang meninggal atau mengundurkan diri karena berhalangan tetap atau melakukan tindak pidana. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, surat keputusan pemberhentian pejabat hanya bisa dikeluarkan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkat pejabat tersebut. Jadi, tidak ada konvensi ataupun hukum positif yang melegitimasi bahwa lembaga pengusul boleh begitu saja memberhentikan pejabat negara aktif karena alasan politik.

Bagaimana mungkin fungsi yang tidak pernah tercantum dalam undang-undang bisa berada dalam peraturan tata tertib yang hierarkinya berada di bawah undang-undang? Siasat ini juga menunjukkan anggota Dewan sebagai pembentuk undang-undang malah melanggar aturan. Mereka seperti tak memahami, atau sekadar pura-pura lupa, hierarki peraturan perundang-undangan dan konteks ketatanegaraan. Konsep checks and balances bukan dilakukan melalui tata tertib, melainkan lewat undang-undang dan penganggaran.

Tata tertib yang baru itu bahkan melampaui puluhan undang-undang sektoral yang menjamin independensi lembaga. DPR sengaja melanggar konstitusi dan undang-undang demi menjadi lembaga supremasi. Karena itu, sudah sepantasnya bila para pejabat negara mengabaikan tata tertib DPR terbaru tersebut karena tidak mempunyai kekuatan hukum apa pun.

Keinginan DPR mengevaluasi pemimpin lembaga negara, khususnya hakim Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya sudah menggelinding sejak 2022. Saat itu Komisi III DPR mencopot Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Mereka beralasan pencopotan Aswanto dilakukan karena kinerjanya mengecewakan. Sebagai hakim MK pilihan DPR, Aswanto kerap menganulir undang-undang yang disahkan DPR. Aswanto adalah satu dari lima hakim konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Para politikus di Senayan juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Mereka menilai putusan MK masuk ke urusan teknis yang melampaui batas kewenangannya. Kini kewenangan anggota Dewan yang justru melampaui batas. Tata tertib itu seharusnya bersifat internal: hanya untuk mengatur urusan lembaga dan mengikat ke dalam DPR saja.

DPR kebablasan dalam menafsirkan uji kepatutan dan kelayakan sebagai bagian dari fungsi pengawasan. Aturan baru ini hanya membuat lembaga yang pejabatnya dipilih DPR makin tidak independen. Imbasnya, politisasi terhadap lembaga negara bakal kian kentara. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus