Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Amnesia Reformasi

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mochtar Pabottingi Pengamat politik dari LIPI Barisan reformasi terancam kalah. Seminggu menjelang Pemilihan Umum 1999, prospek reformasi politik mendadak jadi suram. Kita bisa mengemukakan setidaknya dua penyebab. Yang pertama ialah majalnya indra dan visi politik para pemimpin PDI Perjuangan, barisan potensi reformasi terbesar. Yang kedua ialah kemungkinan kaum muslimin, mayoritas pemilih kita, lagi-lagi terjebak dalam strategi dan praktek adu domba politik kepanjangan tangan rezim Soeharto, lantaran kemajalan yang sama. Dalam suatu wawancara minggu lalu, Megawati secara eksplisit menolak apa yang disebutnya ''uji coba" politik (Forum, 30 Mei 1999). Ia tidak bermaksud mengubah sistem politik yang sudah ada. Sebab, baginya, ''pola pikir" bangsa kita belum berubah. Itulah sebabnya PDI Perjuangan tak begitu mempersoalkan dwifungsi ABRI dan tak ingin mengamandemen UUD 1945. Dari sini jelaslah bagaimana Megawati beserta para pemimpin teras PDI Perjuangan menyikapi kebangkrutan politik, ekonomi, hukum, dan moral pada bangsa kita dalam tiga tahun terakhir. Mereka menyikapi kebangkrutan empat kali lipat tersebut sebagai akibat salah penguasa, bukan salah sistem. Mereka tidak menghendaki reformasi politik. Juga ada kemajalan indra politik pada PDI Perjuangan jika benar calon-calon anggota legislatif dari kalangan nonmuslim terwakili secara amat disproporsional pada daftar yang mereka ajukan. Para pemimpin partai ini meremehkan betapa mudahnya antagonisme antar-umat beragama kita dibangkitkan kembali, apalagi setelah rangkaian tragedi Pontianak, Ketapang, Ambon, dan seterusnya, yang sulit dilepaskan dari rekayasa adu domba Orde ''Baru" dan ahli warisnya kini. Harus diakui bahwa sepanjang pemerintahan Soeharto, memang, kepentingan ekonomi-politik kaum musliminlah yang sangat banyak dikorbankan. Tak terhitung kalangan Islam yang beranggapan bahwa penyingkiran golongan mereka sepanjang 20 tahun pertama Orde ''Baru" dilakukan oleh kalangan nonmuslim, khususnya oleh kalangan Kristen-Katolik. Pendekat-dekatan Soeharto kepada Islam di awal 1990-an sulit dikatakan bertolak dari kemurnian niat, melainkan karena basis pendukungnya di kalangan ABRI mulai melorot. Tindakan ini tak lebih dari upaya penyelamatan diri serta keluarganya dan semata-mata bersifat simbolis. Tak ada konsesi ekonomi ataupun politik berarti yang diberikan kepada umat Islam. Upaya menumpuk harta sewenang-wenang oleh Soeharto sekeluarga sama sekali tidak berkurang saat ia mendekat-dekatkan dirinya ke Islam itu. Kesalehan mustahil menyatu dengan keserakahan. Promosi politik buat Habibie juga bukanlah konsesi bagi umat Islam. Sebab, Habibie lebih merupakan perwakilan rezim Soeharto daripada perwakilan umat Islam. Di tengah-tengah iklim ketidakpastian saat ini, kepekaan umat Islam akan posisi ekonomi-politiknya tetap saja tinggi—dengan ataupun tanpa Habibie. Kepekaan inilah yang agaknya diabaikan oleh para pemimpin PDI Perjuangan dalam menyusun daftar ''caleg" mereka. Dan tampaknya tak ada upaya yang memadai untuk membalikkan gambaran negatif yang dilancarkan dengan judul-judul besar berita utama dalam surat kabar: ''Umat Islam Wajib Memilih Caleg Muslim", ''Caleg Non-Muslim Jadi Bom Waktu", ''Islam Akan Tersingkir Lagi", dan ''Dominasi Caleg Non-Muslim Bahayakan Reformasi", yang dimuat secara beruntun (Republika, 2-5 Juni 1999). Di sisi sebaliknya, kaum muslimin yang terpengaruh oleh judul-judul besar seperti di atas (atau oleh selebaran-selebaran provokatif yang senada) agaknya tidak kunjung memahami keiblisan dari format politik Orde ''Baru". (Sesungguhnya sangatlah kontradiktoris bahwa judul-judul demikian muncul dari surat kabar bernama Republika.) Selain itu, mereka pun tak begitu tepat menangkap sejarah yang baru lewat. Orde ''Baru" tegak di atas kebijakan politik model kolonial—bersifat ultramonopolistik dan tegak di atas politik adu domba. Para manipulator, koruptor, dan bajingan yang menindas bangsa kita selama 30 tahun itu tegak terutama di atas perpetuasi pertentangan agama. Terus, atau ikut terpancing untuk, membesar-besarkan pertentangan agama itu—oleh pihak atau umat mana pun—berarti menghendaki terus berkuasanya atau tampilnya kembali ketiga jenis penguasa Orde ''Baru" tadi. Begitu obsesi keseagamaan menjadi kriterium utama bagi jabatan pemerintahan, kriteria integritas, kejujuran, dan reputasi yang baik pun tersingkir. Orang lupa bahwa baik di kalangan Islam maupun non-Islam tak terhitung banyaknya manipulator, koruptor, dan bajingan. Iblis tampil dalam semua profesi, kelompok, dan kedudukan manusia. Dan umat Islam kerap sekali lupa bahwa tugas pokok seorang mukmin ialah mewaspadai dan memerangi yang iblis itu dalam berbagai agen dan manifestasinya, pertama sekali di dalam diri dan kalangan sendiri. Kaum muslimin juga keliru jika menimpakan kesalahan terutama kepada umat Kristiani dalam proses penyingkiran mereka sepanjang Orde ''Baru". Marginalisasi kaum muslimin bukanlah terutama merupakan hasil kerja kalangan nonmuslim. Sebab, marginalisasi demikian adalah bagian pokok dari strategi politik rezim tersebut. Monopoli politik dalam format politik Orde ''Baru" tak memungkinkan berperannya umat Islam secara berarti. Apa yang disebut ijo royo-royo dalam MPR hasil Pemilihan Umum 1992 sesungguhnya hanyalah tipuan dan kamuflase. Tokoh-tokoh Islam yang benar-benar berbobot dan berakar pada rakyat selalu tak termasuk dalam mereka yang diangkat oleh pemerintahan Soeharto. Begitulah maka Nurcholish Madjid dan Abrurrahman Wahid tak pernah diberi kesempatan untuk, misalnya, menjadi menteri agama. Yang diterima ramai-ramai memasuki pemerintahan Soeharto hanyalah buih umat Islam Indonesia, bukan bobotnya. Dengan kedua perkembangan di atas, tentu saja yang paling bersorak adalah kalangan status quo. Harapan terbesar dari barisan potensi reformasi pada minggu-minggu sebelumnya adalah koalisi nyata antara PAN, PDI Perjuangan, dan PKB. Kini harapan itu tampaknya semakin tipis. Di saat ruang bagi koalisi barisan reformasi kian mengecil, ruang bagi koalisi barisan status quo kian membesar. Tanpa PDI Perjuangan sebagai penengah, tampaknya sulit menyatukan PAN dengan PKB dalam satu koalisi. Di sini kita perlu mengingat tulisan Adam Schwarz, betapapun kontradiktorisnya dengan gejala politik yang kita bicarakan, bahwa kebencian antara sesama kalangan muslim jauh melebihi kebencian antara suatu kelompok muslim dan kelompok nonmuslim mana pun. Jika PAN juga dianggap ternoda karena membuka diri bagi calon anggota legislatif nonmuslim, kemungkinan kerja sama PAN dengan PPP dan/atau PK bisa saja menjadi tertutup. Penolakan Megawati terhadap ''uji coba" politik membuat perbedaan antara PDI dan PDI Perjuangan tak lagi signifikan. Mungkin dalam kasus PDI Perjuangan inilah kita bisa membenarkan sinyalemen Presiden Habibie bahwa tak ada perbedaan antara reformasi dan status quo. Reformasi adalah juga status quo dan status quo adalah juga reformasi. Megawati jadinya bisa ditempatkan dalam posisi yang sama dengan Presiden Habibie. Maka, bukanlah kemustahilan kalau TNI nanti menggabungkan kursinya yang 38 itu dengan kursi perolehan PDI Perjuangan. Dan tanpa perbedaan prinsipiil, jarak politik antara PDI Perjuangan dan Golkar juga bisa saja menyempit, apalagi jika TNI mengambil inisiatif sebagai penengahnya. Adalah hak kalangan umat Islam untuk mencurigai kemungkinan bangkitnya kembali dominasi kalangan non-Islam atas kehidupan ekonomi dan politik bangsa kita. Mungkin ada kepanikan di situ, seperti disinyalir oleh Said Aqiel Siradj (Jawa Pos, 3 Juni 1999). Toh, mereka perlu mempertanyakan kembali bukan hanya instansi historis tempatnya menarik kecurigaan tadi, melainkan juga kemungkinan berlakunya kembali format politik militeristik Orde ''Baru" lantaran asumsi bahwa kelompok-kelompok politik masyarakat tak henti-hentinya bertikai. Di sini beberapa hal agaknya luput dari kesadaran kaum muslimin yang ''panik". Mereka perlu memeriksa, manakah yang lebih langsung merupakan bom waktu: ''caleg nonmuslim" ataukah terus bercokolnya kepanjangan tangan rezim Soeharto dengan segenap praktek buruknya seperti yang masih berlaku hingga sekarang. Dan siapkah mereka berhadapan dengan tuntutan akidah Islami bahwa jika terus membiarkan berlangsungnya ''kebatilan" di bawah kepanjangan tangan rezim Soeharto, mereka sesungguhnya meninggalkan prinsip ''amar makruf nahi mungkar". Majalnya indra dan visi politik pada PDI Perjuangan ataupun pada sebagian kaum muslimin yang panik di atas tak bisa dilepaskan dari semakin keruhnya iklim politik kita sejak Soeharto lengser—suatu keadaan yang tentu saja masih merupakan tanggung jawab rezimnya. Iklim politik yang semakin keruh ini membuat banyak manusia Indonesia mengidap kerancuan dalam menempatkan kausalitas gejala-gejala politik—tak kuasa melihat ujung pangkal suatu masalah. Kerancuan dan kebutaan demikian sangat mudah mengakibatkan amnesia. Alangkah gampangnya bangsa kita melupakan kausalitas dari peristiwa-peristiwa yang baru saja dialaminya. Dalam salah satu puisinya pada 1966, Taufiq Ismail menukilkan optimismenya menuju suatu kehidupan politik yang diimpikan: ''Dari titik ini/Sedang kita tarik garis lurus/Ke titik berikutnya." Hanya beberapa tahun setelah itu, arah politik bangsa kita sudah berputar kembali 180 derajat. Pada 1971, Orde ''Baru" telah mengingkari namanya. Dan pada 1975, bangsa Indonesia kembali resmi memasuki alam penjajahan, kali itu oleh bangsanya sendiri, karena kedaulatannya telah dirampas oleh rezim Soeharto itu lewat tiga undang-undang politik. Banyak pengamat politik yang beranggapan bahwa format politik apa pun yang akan disusun setelah Pemilihan Umum 1999 itu pastilah lebih baik daripada format politik Orde ''Baru". Dengan ketiga UU politik yang baru diperkenalkan, mungkin memang demikianlah adanya. Tapi kita tak boleh abai bahwa format politik yang akan datang itu bisa saja menjadi ancang-ancang bagi kembalinya format yang hendak kita buang. Jika kekecewaan (disillusionment) yang sama dengan apa yang kita alami selama Orde ''Baru" hendak dihindari, diperlukan koreksi radikal dalam sesama barisan reformasi. Itulah agenda yang seharusnya mendahului pembicaraan tentang koalisi. Harapan kita pada koreksi diri PDI Perjuangan dan kalangan Islam yang panik tidaklah pupus. Kritik keras ini kita arahkan kepada keduanya tak lain karena besarnya arti mereka bagi masa depan bangsa kita. Barisan reformasi belum kalah, kendati bayang-bayang kekecewaan baru sudah mulai tampak. Semoga ini bisa menggugah mereka untuk lebih arif menangkap visi masa depan dan dengan itu memilih partai dan/atau calon wakil mereka. Semoga kita semua berjuang lebih keras lagi dalam meluruskan jalannya Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR 1999—langkah awal kita untuk menegakkan Indonesia Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus