Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah film “The First Man” perlu dikecam hanya karena absen dari adegan Neil Armstrong memacakkan bendera Amerika di bulan? Seberapa jauhkah peristiwa sejarah harus betul-betul mematuhi kejadian nyata ‘seutuhnya’. Dan siapa yang menentukan apa ‘gambaran’ yang utuh dan apa yang dianggap “total lunacy” (kegilaan total) seperti yang dituduhkan Senator Florida Marco Rubio?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutradara Damien Chazelle menyajikan film First Man, yang diadaptasi dari buku karya James R. Hansen, dan menunjukkan bahwa membuat film adalah sebuah pilihan. Chazelle, pemenang Sutradara Terbaik Academy Awards tahun lalu untuk penyutradaraan La La Land dan penulis skenario Josh Singer (penulis skenario film Spotlight) memilih untuk merekam kehidupan pribadi Armstrong. Itu artinya bukan sekedar perjuangannya untuk bisa mencapai bulan, dengan teknologi yang masih sangat minim, tetapi juga perjuangan batinnya karena kehilangan puterinya yang dilibas kanker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamera langsung menyorot ruang sempit cockpit Armstrong dan timnya yang tengah menguji coba mengemudi pesawat Gemini. Untuk beberapa menit pertama, rangkaian adegan itu memusingkan, merepotkan (mata penonton) dan menjengkelkan. Handheld camera sebagai pilihan Chazelle itu tentu saja ingin agar membuat penonton merasakan menjadi sempitnya ruangan di dalam cockpit dan merasakan realisme dokumenter.
Setting dari tahun 1961 sampai 1968 menjadi pilihan Chazelle karena itulah awal mula gejolak Armstrong. Pertama, karena karirnya yang menanjak menjadi salah satu calon astronot yang kemungkinan menjadi orang pertama yang menginjak bulan dan orang pertama yang menghajar Soviet yang tampaknya sudah memenangkan perang syaraf melawan AS. Kedua, yang lebih disorot Chazelle adalah jiwa Armstrong yang terguncang: seorang lelaki pendiam yang intens, penuh kasih yang kemudian terluka ketika puteri bungsunya harus kalah melawan kanker. Duka Armstrong begitu mendalam hingga menyebabkan dia justru menjauh dari isterinya Janet Shearon (diperankan dengan brilian oleh Claire Foy) dan kedua puteranya, karena tak akan ada yang bisa menggantikan kekosongan dalam dirinya.
Sementara itu, setiap percobaan misi Apollo masih selalu ada problem teknis hingga menewaskan tiga sahabat Armstrong sesama astronot. Armstrong semakin terpukul dan dia semakin menutup diri serapatnya hingga nyaris tak ingin berpamitan sebelum dia berangkat menuju bulan. Di setiap pojok rumah, dia melihat puterinya Karen yang bermain-main seperti semasa hidupnya. Ini salah satu kedahsyatan Chazelle yang menunjukkan kehilangan luar biasa tanpa banyak adegan airmata.
Rasa kehilangan dan duka yang dikubur rapat-rapat di balik dadanya itu tampaknya membuat dia jadi gagah berani, nyaris nekad dalam misi bersejarah itu.
Tanggal 20 Juli 1969 adalah hari besar Armstrong. Seluruh dunia menyaksikan peristiwa ini. Pada saat ini, Chazelle memperlihatkan mengapa dia memang layak dinobatkan sebagai Sutradara Terbaik Academy Award tahun lalu. Adegan Apollo yang berhasil mendarat di bulan diperlihatkan dengan adegan puitik. Armstrong serta Aldrin membuka pintu, gelap berangsur menyingkir dan tiba-tiba tata suara mati total. Sunyi senyap. Kita seolah bersama mereka berdua, ikut menatap bulan dari dekat dengan rasa haru dan kagum. Betapa kecilnya kita, betapa besarnya Sang Pencipta.
Beberapa film dokumenter tentang Neil Armstrong dan timnya itu selalu menayangkan dua hal penting: ucapan Armstrong “That's one small step for (a) man, one giant leap for mankind" dan peristiwa penancapan bendera Amerika di bulan.
Sutradara Chazelle memilih hanya memperlihatkan adegan Armstrong yang menjejakkan langkah pertama sembari mengucapkan kalimat bersejarah itu. Bendera juga terlihat berkibar, tapi Chazelle tampak tak ingin memenuhi layarnya dengan sensasi yang bertubi-tubi. Secara esensi, film ini adalah sebuah film keluarga. Armstrong tampak berjalan sendirian dan merasa begitu dekat dengan anaknya dan ketiga kawannya yang sudah ‘pamit’ duluan ke alam baka. Armstrong mengucapkan selamat berpisah dengan anaknya. Kali ini dia mencoba ikhlas.
Inilah persoalan yang tak dipahami oleh para politikus sehingga menuduh Chazelle tak cukup patriotik karena tak mencantumkan adegan pemasangan bendera AS bersejarah itu. Untuk saya, Armstrong justru terlihat sebagai manusia yang utuh: astronot legendaris sekaligus lelaki rapuh yang kehilangan puterinya.
Ryan Gosling dan Claire Foy sudah pasti akan mengalami rangkaian karpet merah berbagai festival tahun depan. Mereka memang tidak hadir sebagai pasangan suami isteri yang meledak-ledak. Kemarahan, kesedihan dankegeraman semua tersimpan erat dan hanya tampak pada sorot mata dan gerak tubuh yang moderat. Tak ada drama besar. Yang terasa adalah gejolak melalui pandangan mata pasangan suami isteri itu.
Chazelle, meski kali ini tak bertumpu pada musik sebagai roh film –meski masih terasa aroma khasnya yang menampilkan waltz ketika pesawat sudah mendekati bulan. Untuk beberapa saat, musik itu melemaskansyaraf ketegangan karena perjalanan yang sulit menuju bulan. Film First Man bukan hanya sebuah sejarah dunia tentang jejak kaki manusia pertama di bulan, tetapi tentang perjalanan seorang ayah untuk berdamai dengan kehilangan besar dalam hidupnya. Pada saat dia kembali ke bumi, tak banyak kata, tak perlu drama besar, Armstrong kembali kepada isterinya cukup dengan kedua telapak tangan yang saling menyentuh.
FIRST MAN
Sutradara : Damien Chazelle
Skenario: Josh Singer
Berdasarkan buku First Man: the Life of Neil A.Armstrong
Karya James R.Hansen
Pemain: Ryan Gosling, Claire Foy, Jason Clarke, Kyle Chandler