Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Salah satu produk yang diakrabi generasi yang lahir sebelum 1980-an adalah serial film boneka Si Unyil.
Selain tokoh Unyil yang menjadi pusat cerita, ada tokoh sampiran seperti Cuplis, Pak Raden, dan Pak Ogah.
Pak Raden menggambarkan kalangan atas berlatar tradisi (priayi) dan tokoh Pak Ogah menggambarkan kalangan bawah berlatar modern (masyarakat kota).
SETIDAKNYA sebagian besar generasi yang lahir setelah 1990-an akrab dengan film animasi Upin & Ipin yang diproduksi negeri jiran. Begitu mencapai usia remaja, sebagian besar dari mereka gandrung pada produk industri kreatif Negeri Ginseng dan Negeri Sakura, baik film maupun musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, generasi yang lahir sebelum 1980-an memiliki ingatan masa kanak-kanak yang berbeda. Akses terhadap informasi digital (konten) masih terbatas pada telegram. Selanjutnya, teknologi komunikasi terdukung dengan penemuan mesin cetak, televisi, dan radio yang kemudian menumbuhkan alam modernitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu produk yang diakrabi generasi ini adalah serial film boneka Si Unyil yang diproduksi Televisi Republik Indonesia (TVRI, 1981). Penayangan film ini sangat ditunggu anak-anak pada saat itu karena isi ceritanya menghibur dan mendidik. Maklum, film ini tayang seminggu sekali. Selain tokoh Unyil yang menjadi pusat cerita, ada tokoh sampiran, seperti Cuplis, Pak Raden, dan Pak Ogah, dengan perwatakan masing-masing.
Stereotipe tokoh sampiran Pak Raden dan Pak Ogah menonjol memberi tema cerita. Tokoh Pak Raden menggambarkan kalangan atas berlatar tradisi (priayi) dan tokoh Pak Ogah menggambarkan kalangan bawah berlatar modern (masyarakat kota). Aksentuasi kelisanan tokoh Pak Raden dengan intonasi dan pilihan kata mriyayi masih lekat dalam ingatan saya, sementara artikulasi ungkapan ogah, ah! dan cepek dulu, dong! masih likat menyaran pada imaji keingarbingaran kota (baca: Jakarta) saat itu.
Barangkali kita bisa menggeser bahasan stereotipe kedua tokoh sampiran pada serial film boneka tersebut ke dalam tema yang menyuar terma. Terkhusus, kita telah kehilangan seorang maestro sastra lisan, Abdul Hamid (1948-2022), figur sekaligus penyulih suara tokoh Pak Ogah.
Ungkapan ogah (baku: tidak mau) dan ah (kata seru) menggambarkan tipologi tokoh yang akhirnya menjadi identitas tokoh (dinamai Pak Ogah). Ungkapan ini bolehlah disebut konsensus ala Pak Ogah. Maksudnya, tokoh Pak Ogah menawarkan kode kepada mitra bicaranya bahwa apa yang akan dibicarakan adalah sebuah konsensus bersama yang harus disepakati kedua pihak dengan manasuka.
Selanjutnya, ungkapan cepek dulu (baca: seratus rupiah dahulu) dan dong (kata seru, ragam cakapan bermakna harapan) dapat disebut konvensi ala Pak Ogah. Tokoh Pak Ogah mengharapkan konsensus tersebut berlanjut menjadi konvensi. Tentunya konvensi yang ditawarkan bernada ironi ala Pak Ogah. Hal ini terjadi karena repetisi ungkapan cepek dulu, dong! disampaikan kepada berbagai tokoh dalam serial Si Unyil.
Dengan begitu, stereotipe tokoh Pak Ogah dapat menandai peralihan tematik tokoh yang selalu menyodorkan konsensus dan konvensi dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Pada tahap ini, film boneka tersebut dapat saja dibingkai dengan konteks sosial dan budaya sesuai dengan zamannya. Dengan begitu, ungkapan khas Pak Ogah, “Ogah, ah!” dan “Cepek dulu, dong!”, dapat bergeser dari tematik tokoh ke terminologi kritis tokoh.
Yang menarik, terminologi ini disampaikan dalam nada anekdot sehingga kelucuan dapat membungkus muatan kritik kepada pihak yang dituju, baik kebiasaan masyarakat maupun perilaku birokrasi pemerintahan saat itu. Hal ini dapat dipahami karena pada saat serial film boneka tersebut diproduksi 1) produsernya adalah lembaga milik pemerintah dan 2) Orde Baru memberlakukan waskat (pengawasan melekat) terhadap kritik atas kebijakan pemerintah.
Syahdan, masihkah terminologi yang ditawarkan tokoh Pak Ogah berlaku hingga saat ini? Barangkali terminologi ala Pak Ogah tidak hanya terjadi dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial, tapi juga dalam berekonomi dan berpolitik. Barangkali juga terminologi kritis ala Pak Ogah ini akan bergayung sambut dengan inovasi karena terdukung teknologi informasi.
Parahnya, jika kita bersepakat bahwa serial film boneka Si Unyil sebagai produk budaya kelisanan, kita telah kadung melangkah pada aras kesadaran yang dibangun arus kedigitalan. Hal ini terjadi tatkala tradisi keaksaraan dalam baca-tulis cetak belum merata di Indonesia. Faktanya, sebuah lembaga survei internasional selalu mencatat tingkat literasi dan numerasi remaja kita sangat rendah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo