INDONESIA adalah sebuah negeri yang sangat cemas. Di sini, polisi berhak menyita sebilah pisau Swis yang Anda bawa di sebuah tempat umum, meskipun pisau Swis itu akan Anda pakai untuk mengupas sawo. Tetapi Indonesia juga sebuah negeri yang ganjil. Kini, Menteri Pertahanannya mengizinkan, bahkan mendukung, ribuan orang yang--dengan sikap mengancam--membawa badik dan bambu runcing di depan umum, seperti tampak pada rombongan "Pam Swakarsa" dalam menjaga Sidang Istimewa MPR pekan lalu. Ada Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang penggunaan senjata tajam. Tetapi Menteri Pertahanannya dengan tenang lupa membacanya.
Indonesia juga sebuah negeri yang punya undang-undang baru yang antara lain berbunyi begini: "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum, yang telah memenuhi ketentuan undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun." Tetapi pemerintah mengizinkan, bahkan memobilisasi, kelompok-kelompok "Pam Swakarsa" yang ditebar di sekitar Gedung DPR-MPR pekan lalu
Gejala seperti ini--undang-undang tidak dipakai, bahkan dilanggar, bila ia akan merugikan tindakan pemerintah--bukan hal baru selama Presiden Soeharto berkuasa. Bahwa gejala ini sekarang diperlihatkan, itu membuktikan bahwa "reformasi" belum seutuhnya mengenai pemerintahan Presiden Habibie.
Tentu, dalam perkara melanggar UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, pemerintah bisa membela diri. Misalnya dengan mengatakan bahwa undang-undang itu sendiri buah reformasi, dan lahir berkat jasa kabinet yang sekarang--dengan kompromi di sana-sini, tentu. Dan itu benar.
Atau, pemerintah bisa berdalih bahwa para mahasiswa yang hendak berbondong-bondong ke Senayan itu menyatakan pendapat tanpa "memenuhi ketentuan undang-undang". Dan itu juga ada betulnya. Tetapi, sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh polisi--menegakkan hukum, bila perlu dengan senjata--tidak boleh dibiarkan dilakukan oleh kekuatan yang tidak resmi, apalagi oleh ribuan manusia yang tidak punya lisensi untuk melakukan kekerasan atas nama negara. Apalagi, seperti diakui Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol. Noegroho Djajusman, mereka itu tidak dalam koordinasi kepolisian.
Pendekatan yuridis dalam soal ini memang telah diabaikan sama sekali. Pemerintah melihatnya sebagai tindakan politik yang harus dilakukan--sedikit dengan asas "tujuan menghalalkan cara". Sejak awal, pemerintah telah membuka langkah dengan ucapan yang dramatis. Dikatakan bahwa akan ada kalangan "radikal revolusioner" di antara para mahasiswa, bahkan kekuatan yang akan mengembalikan komunisme.
Lucu, amat lucu. Sudah tentu ada kelompok mahasiswa yang memakai retorika revolusioner--bahkan kekiri-kirian--tetapi siapa yang pernah muda akan menyadari bahwa semangat itu lazim. Juga, gerakan pekan lalu tidak berbahaya. Mereka tak berbahaya karena mereka tak bersenjata. Retorika itu juga, kalaupun ada, tak berarti apa-apa karena "mengembalikan komunisme", setelah bahkan di Cina sendiri pun yang dipimpin oleh sekelompok elite yang menamakan diri "Partai Komunis Cina", orang dengan lahap mengkhianati komunisme dengan resep kapitalisme--di mana aparat kepolisian ikut mempromosikan McDonald.
Tetapi karena hampir putus-asa mengais dukungan, alat-alat pemerintah (juga menteri-menteri) mengerahkan pemuda, jago silat, preman, dan siapa tahu dukun santet dan dukun sunat--serta sejumlah penganggur--untuk tampil sebagai pendukung Sidang Istimewa MPR. Ini tidak salah. Yang salah ialah membiarkan mereka memamerkan bambu yang runcing dan tidak runcing sebagai alat kekerasan. Bukan saja itu melanggar hukum, tetapi sudah sejak semula terlihat, mereka dan sponsor mereka menyiapkan soal pro dan kontra sidang istimewa sebagai arena kekerasan.
Dengan kata lain, ini mengundang kekerasan tandingan. Siapa pun tahu bahwa anak-anak muda tak suka membiarkan diri digertak, dan tiap gertakan--seperti dilakukan oleh "Pam Swakarsa"--mengundang pukulan balik. Dan itulah yang memang terjadi, dengan korban di kedua pihak.
Masyarakat, Umumnya Muslim, Bukanlah Masyarakat Beringas
Hasilnya bukanlah sebuah sidang istimewa yang damai. Sebuah kebijakan yang sia-sia. Lebih mencemaskan lagi jika kebijakan tak resmi ini berlanjut terus, ia jangan-jangan menjadi benih sebuah "Angkatan Ke-5". Pada tahun 1964, ide "Angkatan Ke-5" ini--memobilisasi dan mempersenjatai organisasi atau kelompok masyarakat untuk penggalangan politik--ditolak oleh Angkatan Darat karena datang dari PKI. Kini, ia agaknya ditolak oleh kekuatan yang tak disangka-sangka: masyarakat setempat. Di pelbagai insiden, "Pam Swakarsa" dimusuhi dan diserang penduduk Jakarta.
Kenyataan terakhir ini menarik dan baik untuk dijadikan pelajaran bagi pemerintah: rakyat, yang umumnya muslimin, tak bisa dikecoh oleh manipulasi simbol-simbol Islam yang dipakai "Pam Swakarsa". Seperti ditunjukkan dalam demonstrasi pekan lalu, rakyat, yang umumnya muslimin, bukanlah masyarakat yang beringas. Ketika insiden di depan kampus Atmajaya terjadi, dan masyarakat ikut membantu mahasiswa melawan aparat keamanan, bom molotov dipakai. Tetapi, di sekitar situ, tak ada satu bangunan pun terbakar dan tak satu kaca jendela pun dipecah. "Pam Swakarsa" hadir sebagai contoh salah hukum dan salah duga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini