Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APRESIASI patut diberikan kepada PT Kereta Api Indonesia, yang telah merevitalisasi beberapa jalur antarkota. Sejak 2013 hingga Maret ini, ada 19 jalur baru dibuka, meliputi 12 rute baru dan 7 perpanjangan rute.
Acungan jempol juga perlu diberikan karena pengoperasian jalur-jalur kereta api ini membuktikan perusahaan pelat merah itu mampu berkembang berkat pengelolaan yang baik. Berbagai investasi baru bisa dilakukan karena PT KAI telah berdaya. Laba pada akhir 2013 mencapai Rp 460 miliar, naik dari sekitar Rp 380 miliar pada tahun sebelumnya.
Sejak perusahaan negara ini berada di bawah Direktur Utama Ignasius Jonan, pada 2009-Jonan kembali dilantik untuk periode kedua pada Februari 2014-PT KAI maju signifikan. Dari perusahaan yang berorientasi produk, PT KAI bergeser menjadi berfokus pada konsumen. Sejumlah rute baru merupakan hasil studi permintaan pasar dan kerja sama dengan pemerintah daerah tingkat provinsi.
Tentu saja prestasi ini belum cukup. PT KAI tidak boleh melupakan hakikat moda kereta api itu sendiri, yakni sebagai sarana memperluas aksesibilitas serta mempermudah mobilitas manusia, barang, dan komoditas lain. Rapor merah masih tercatat untuk PT KAI dalam hal pengangkutan barang (termasuk ternak). Menurut evaluasi Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Bidang Perkeretaapian 2010-2014, hampir tidak ada kenaikan volume pengangkutan barang dengan kereta api sepanjang 2005-2009.
Moda kereta api dikenal murah, praktis, lebih cepat, dan ramah lingkungan dibandingkan dengan transportasi jalan raya. Namun lebih dari 90 persen barang masih diangkut melalui jalan raya. Dibanding angkutan truk dan kapal laut, sumbangan angkutan kereta api hanya 0,6 persen. Kapal mengangkut 87 persen barang. Padahal mobilitas logistik yang paling efisien adalah dengan mengandalkan kesinambungan kapal laut, yang mengangkut hingga pelabuhan, dengan kereta api, yang menjelajah daratan. Masih sangat sedikit pelabuhan di Indonesia yang terintegrasi dengan jalur kereta api, apalagi hingga menjangkau ke jantung daratan.
Itulah masalah klise sistem transportasi Indonesia: berkembang tak terkoordinasi. PT KAI memiliki kinerja bagus tapi sebatas dalam lingkup kewenangan perusahaan tersebut. Bila harus keluar dari otoritasnya, niscaya rencananya tersendat, bahkan terbengkalai. Bukti buruknya koordinasi antarkementerian, misalnya, tampak jelas dari minimnya penambahan panjang rel, yaitu hanya 0,2 kilometer per tahun (menurut hitungan terakhir 2010). Sebagian besar rel masih merupakan peninggalan Belanda.
Pemerintah sebetulnya sudah membuat rencana komprehensif antarmoda, yang meningkatkan mobilitas barang dan manusia, serta memperluas aksesibilitas. Ada Cetak Biru Transportasi Antarmoda/Multimoda 2010-2030. Lebih luas lagi, ada Master Plan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015, yang mencantumkan rencana sistem transportasi nasional. Tujuan rencana besar ini adalah meningkatkan perekonomian lebih merata.
Cetak biru seperti itu membutuhkan koordinasi baik dan benar antarbagian atau antarkementerian, agar perkeretaapian bisa benar-benar dikembangkan. Untuk itu, pemerintah yang baru nanti harus sangat serius membenahi koordinasi antarbidang agar rencana besar tak hanya bagus di kertas.
berita terkait di halaman 124
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo