Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah*
Jakarta kala itu sedang hamil tua. Proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sedang memuncak dan tak lama lagi para pemilih Jakarta akan membidani kelahiran seorang gubernur. Lalu datanglah Rhoma Irama.
Rhoma menyerang pasangan Joko Widodo alias Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan. Yang digugat dan dipertanyakan antara lain penganutan agama Jokowi dan ibundanya. Di tengah defisit suara yang masih diidap pasangan ini, serangan Rhoma tak bisa dipandang remeh, apalagi dianggap tiada.
Apa respons Jokowi? Ia mengajak Ahok, yang kebetulan sedang berkunjung ke Solo, untuk makan di warung angkringan. Di hadapan para wartawan, alih-alih menyerang balik, Jokowi memutar lagu Rhoma yang bercerita tentang 135 juta penduduk Indonesia dengan segenap berkah kemajemukannya. Sembari ikut menyanyikan satu-dua bait lagu itu, dengan wajah penuh senyum, Jokowi memproklamasikan diri sebagai penggemar Rhoma sejak dulu dan ingin kapan-kapan berduet dengannya.
Lakon Jokowi versus Rhoma bukan kisah unik satu-satunya.Ada banyak kisah lain, dan salah satunya berhubungan dengan Bibit Waluyo. Ketika masih menjabat Gubernur Jawa Tengah, Bibit berseteru dengan Jokowi, Wali Kota Solo, "bawahannya". Jokowi menentang sang Gubernur yang akan mengalihfungsikan sebuah bangunan bersejarah menjadi area komersial. Konflik sebegitu keras hingga sang Gubernur sempat menyebut Wali Kota Solo itu dengan tudingan "bodoh".
Di hadapan para wartawan yang menunggu serangan balik sang wali kota, Jokowi dengan santai menjawab tudingan itu. "Lho, saya memang bodoh,kok. Baru tahu, ya?" begitu kurang-lebih Jokowi berujar.
Tangkisan santai itu bukanlah klimaks "serangan balik" Jokowi. Puncaknya terjadi jauh setelah itu, ketika Bibit berada di ujung kepemimpinannya di Jawa Tengah. Sebaliknya, Jokowi baru menjalani hari ke-4 sebagai Gubernur Jakarta.
Keduanya bertemu dalam acara pelantikan Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo, pengganti Jokowi. Tak dinyana, Jokowi dengan sigap mencium tangan Bibit Waluyo. Ekspresi Jokowi dan Bibit dalam adegan itu kemudian jadi sejarah yang terekam dalam cerita bergambar banyak media.
Siapakah Jokowi sesungguhnya? Pikiran-pikiran apa yang menuntunnya untuk berlaku seperti itu? Apakah ia layak diharapkan sebagai penentang "politik pencitraan" atau justru penganutnya yang setia?
Tentu saja tak ada jawaban sederhana. Semua sosok politik adalah sebuah kompleksitas. Tanpa kecuali, mereka senantiasa merupakan ketidaksederhanaan, bahkan paradoks.
Memulai catatan rekam jejak politiknya dengan senyap, sebagai Wali Kota Solo, Jokowi naik ke panggung nasional yang ingar-bingar. Ia sekarang bukan hanya Gubernur Jakarta dengan gaya kepemimpinan unik, melainkan juga seorang kandidat presiden yang diajukan partai politik yang diramalkan banyak survei akan memimpin perolehan suara pemilu legislatif pada 9 April 2014.
Menimbangnya dari jarak dekat, saya menemukan Jokowi sebagai mata uang dengan dua sisinya. Di satu sisi ia adalah pengikut Tukul Arwana atau penganut "Tukulisme", di sisi lain ia pemasar politik yang cekatan.
Melalui acara pamer cakapdi televisi,Tukulberani tampil sebagai manusia tak bertopeng. Iamemperlihatkan dirinya yang asli,tanpa membungkusnya dengan citra-citra selebritas yang mentereng. Ia bahkan senang menertawakan segenap kekurangannya sendiri ataumembiarkan orang lain menertawainya.Ia juga kerap mengeksploitasi sisi lemah dirinya, termasuk kekurangan fisiknya, yang biasanya kita sembunyikan habis-habisan.
Itulah "Tukulisme", paham yang menegaskan bahwa lemah, serba kurang, tidak cantik atau tampan, jauh dari kesempurnaan, tak sepandai cendekia, atau tak sementereng orang lain adalah hal biasa. Segenap sisi lemah diri itu tak perlu ditangisi. Bahkan kekurangan itu jika perlu dirayakan.
Tukulisme adalah negasi atau lawan dari "politik pencitraan" yang menjadi "agama" banyak politikus di Indonesia selama era Reformasi. Umumnya politikus memoles tebal-tebal wajah mereka atau melindunginya dengan topeng. Akibatnya, kita gagal mengenal wajah mereka yang sesungguhnya.
Menjaga image alias jaim menjadi azimat andalan mereka. Bahkan sesungguhnyaperilaku jaim itu-diakui diam-diam atau dibantah terang-terangan-dilakoni bukan hanya oleh politikus, melainkan juga banyak orang Indonesia.
Ketika berhasil menang dalam pemilihan Wali Kota Solo 2005 dan 2010 serta Jakarta pada 2012, Jokowi menampilkan diri sebagai penganut "Tukulisme". Ia tampil di hadapan pemilih sebagai orang biasa, selayaknya tetangga sebelah rumah. Dengan itulah ia sukses mendulang simpati dan dukungan.
Dalam berbagai kesempatan, baik selagi berkampanye maupun sewaktu mengelola jabatan publik, Jokowi bersedia menelanjangi dirinya dengan mengakui kelemahan sendiri. Dalam gaya komunikasi, ia juga tak terbiasa menyusun kalimat indah yang berputar-putar mendayu atau berapi-api. Alih-alih berpidato, ia lebih suka bercerita dalam nada biasa dengan pilihan katabersahaja.
Gayanya pun terlihat berbeda secara diametral dengan gaya penuh drama para politikus penganut "politik pencitraan". Maka terbangunlah sebuah keunikan. Dengan menghindari drama, justru banyak langkah Jokowi jadi terlihat dramatis. Blusukan adalah salah satu contohnya.
Blusukan, yaitu mendatangi publik dipusatlokasi persoalan-persoalan publik sehari-hari, adalah lakubiasa yangselazimnya dilakukanpemimpin. Tapi blusukan ini menjadi unik karena tak dilakukan oleh pemimpin lain. Unsur drama juga menonjol karena setiap blusukan berpotensi mengundang banyak perkataan, tindakan, dan peristiwa spontan yang kadang mengejutkan. Spontanitas-dari Jokowi ataupun publik yang dikunjunginya-inilah yang jadi daya magnet besar bagi media.
Tapi, di sisi lain, Jokowi adalah pemasar politik yang cekatan. Dalam kapasitas inilah ia memilih motif kotak-kotak sebagai baju kebesaran kampanyenya. Dalam kapasitas itu pula ia putuskan untuk tak menggunakan sama sekali media luar ruang dalam kerja pemenangan di Jakarta.
Sebagai penganut Tukulisme, basis Jokowi adalah otentisitas. Karena itu, sosoknya jadi unik dan menarik. Namun, sebagai pemasar politik andal, ia terbiasa menyesuaikan ucapan, langkah, dan bahasa tubuhnya dengan kehendak calon pemilih. Maka terbangunlah sebuah potensi paradoks. Keaslian diri versus penyesuaian dengan calon pemilih atas nama strategi pemasaran.
Dalam paradoks itu, unsur manakah yang lebih menonjol? Otentisitas yang unik atau pemasar politik yang cerdik?
Jawabannya hanya bisa diberikan oleh waktu yang memadai dan pembuktian pengelolaan kepemimpinan Jokowi secara layak. Jika kita tarik rentang waktu dari hari pelantikan Jokowi sebagai gubernur, 15 Oktober 2012, hingga saat ini, laku lampah kepemimpinannya belum memadai untuk menjawab pertanyaan itu dengan meyakinkan.
Maka di pundak Jokowi saat ini terletak kewajiban pembuktian bahwa yang tersedia di balik karakter kepemimpinannya yang memikat bukan hanya "citra", melainkan juga "identitas" dan "integritas" yang terjaga. Ia selayaknya melawan setiap upaya mitologisasi atau peraksasaan diri dari pendukungnya.
Sejarah reformasi yang pendek sudah membuktikan bahwa sosok mitologis akan mengakhiri riwayat politiknya dengan tragis. Sejarah pendek ini juga mengajarkan bahwa politik pencitraan tak bakal melahirkan relasi kuat politikus dengan warga, tapi cuma sanggup memancing sorak-sorai satu-dua musim kampanye. l
*) Konsultan Politik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo