Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Penyejuk Udara tanpa Listrik

Tim laboratorium Universitas Indonesia berhasil membuat instalasi penyejuk udara pertama di Indonesia yang memanfaatkan panas matahari. Air dipakai sebagai cairan pendingin.

24 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UDARA sejuk langsung menerpa wajah begitu pintu ruangan seluas 160 meter persegi itu dibuka. Tak tampak furnitur ataupun perabotan di ruang yang terletak di lantai dua gedung Manufacturing Research Center, Universitas Indonesia, Jakarta, tersebut. Hanya ada tiga unit penyejuk udara tergantung di langit-langit yang bekerja sepanjang hari. Dengungan lirihnya terdengar menyelimuti ruangan.

Alat penyejuk udara itu terlihat tak istimewa. Tapi, ini uniknya, tak ada aliran listrik yang disedot. Sumber energi sepenuhnya memanfaatkan tenaga surya. Dipasang sejak 14 Februari lalu, alat penyejuk udara ini masih dalam tahap uji coba. "Akan diuji selama setahun," kata Muhammad Idrus Alhamid, ketua tim pembuatan sistem penyejuk udara tanpa listrik ini, pada Senin pekan lalu.

Dua tahun lalu, Idrus dan timnya merancang sistem pendingin tipe absorption chiller. Sistem jenis ini digerakkan oleh energi panas yang berasal dari mesin diesel, turbin, biogas, atau radiasi matahari. Cara kerjanya berbeda dibanding alat pendingin ruangan tipe vapor compression chiller. "Kalau itu seperti AC split di rumah yang digerakkan kompresor bertenaga listrik," ujar Idrus, guru besar di Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia.

Penyejuk udara yang memanfaatkan energi matahari sebenarnya sudah lama ada. Alat itu digunakan di tempat seperti hotel dan rumah sakit. Hanya, alat tersebut jarang dipakai lantaran banyak yang beranggapan sulit dalam perawatan. "Sebetulnya tak terlalu sulit," kata Idrus, yang sehari-hari mengajar bidang ilmu teknik pendingin dan tata udara.

Untuk menjalankan proyek sistem penyejuk udara dengan memanfaatkan energi panas matahari ini, Idrus dan timnya tak bekerja sendiri. Mereka butuh modal besar. Akhirnya proposal kerja sama disebar ke berbagai instansi. Jepang adalah target utama karena negeri itu dianggap memiliki banyak keunggulan di bidang teknologi. Melihat keunikan cara kerja alat ini, Universitas Waseda di Jepang tertarik menjalin kemitraan. Mereka yang mengolah data riset.

Bukan hanya kalangan akademikus yang tertarik, Kawasaki Thermal Engineering, produsen perangkat absorption chiller, juga terpikat pada proposal yang diajukan tim Laboratorium Teknik Pendingin dan Tata Udara Universitas Indonesia itu. Tak hanya sampai di situ, studi kelayakan tahun pertama pengerjaan bahkan didanai oleh Kementerian Lingkungan Jepang. Dukungan penuh terhadap riset ini juga diberikan Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.

Dukungan dari berbagai pihak itu membuat tim mendapat sejumlah kemudahan. Hampir semua peralatan untuk membangun sistem penyejuk didapatkan secara gratis. Bea dan Cukai bahkan menggratiskan biaya masuk dan pajak barang yang datang dari berbagai negara itu. "Modal saya cuma menulis surat dengan lampiran dari berbagai instansi yang terlibat. Setelah itu beres," tutur Idrus.

Proses merakit sistem instalasi membutuhkan waktu empat bulan. Beberapa pipa berdiameter 8 sentimeter menjulur dari instalasi ke dalam gedung. Instalasi itu juga dilengkapi empat tabung gas compressed natural gas (CNG)-penyimpan gas metana dalam tekanan tinggi-sebagai energi cadangan jika cuaca mendung. "Itu untuk mengurangi penggunaan listrik sekaligus buat menekan biaya operasional dan mereduksi polusi udara dari pembangkit listrik," ucapnya.

Alat penyejuk ruangan biasanya menggunakan cairan pendingin atau refrigerant khusus seperti freon, tapi instalasi yang dibangun Idrus menggunakan air sebagai bahan pendingin dicampur sejenis garam litium bromida. "Prinsip kerjanya membuat air dingin dengan adanya penguapan. Lalu disalurkan ke unit di ruangan dan kembali ke absorption chiller," ujarnya.

Untuk mendapatkan suhu rendah, air justru harus dipanaskan. Di sinilah peran energi surya. Agar panas tersalurkan, air dialirkan melalui 63 panel pengumpul panas di atap gedung. Pada tiap panel terdapat 16 tabung kaca sepanjang 2 meter berisi lembaran pengumpul panas berwarna biru keunguan. Panas yang didapat bisa lebih dari 90 derajat Celsius meski cuaca tengah mendung. Saat terik bisa lebih dari 100 derajat. "Tapi kami jaga agar tak mencapai 100 karena pada suhu itu air akan menjadi uap. Ini justru berbahaya," kata Idrus.

Air yang sudah dipanaskan lalu dialirkan ke generator pada absorption chiller. Suhu panas tersebut akan menguapkan air pada larutan litium bromida yang dicairkan kembali dengan memanfaatkan air dingin dari tandon pendingin. Cairan dingin itu lantas disemprotkan pada saluran air yang tersambung ke unit pendingin di ruangan. Larutan litium bromida kembali menangkap uap air yang muncul. Uap air yang mencair ini kembali dipompakan ke generator untuk dipanaskan lagi. Sirkulasi inilah yang berlangsung sepanjang hari dan menghasilkan udara sejuk dalam ruangan.

Suhu air yang mengalir ke unit penyalur di ruangan bisa mencapai 7 derajat Celsius. Setiap unit penyalur memiliki pengatur suhu tersendiri. Pada masa uji coba, suhu ruangan diatur pada angka 27 derajat Celsius. Air yang mengalir kembali ke absorption chiller suhunya 12 derajat Celsius. Menurut Idrus, unit pendingin itu juga bisa dikombinasikan dengan pemakaian refrigerant biasa. "Kami buat khusus hibrida. Ketika hanya perlu satu unit pendingin yang beroperasi, cukup dengan refrigerant biasa sehingga tak perlu seluruh sistem beroperasi."

Memakai chiller berukuran besar untuk menyejukkan ruangan pada bangunan besar akan lebih efisien dari sisi konsumsi energi dibanding penggunaan AC split, yang jumlahnya bisa mencapai puluhan. "Dari sisi perawatan, chiller lebih baik karena jika rusak perbaikannya hanya satu alat," ucap Ridha Yasser, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sistem pendingin menggunakan panas matahari bisa lebih hemat lagi. Sebab, sistemnya dibuat dengan perhitungan besar energi yang terpakai.

Dengan waktu operasi rata-rata delapan jam per hari, sistem pendingin berkapasitas 281 kilowatt itu lebih hemat energi karena hanya membutuhkan 20 kilowatt listrik. Konsumsi listrik itu sudah mencakup operasional pompa sirkulasi air panas dan kipas di menara pendingin. Sedangkan pendingin biasa dengan kapasitas yang sama konsumsi listriknya mencapai 70 kilowatt. Sistem ini mendukung konsep green building karena hemat energi dan emisi karbon dioksidanya juga lebih rendah ketimbang chiller biasa.

Tiyok Prasetyoadi, Deputi Hubungan Internasional Green Building Council Indonesia, mengatakan sistem penyejuk udara merupakan penyedot energi listrik terbesar dalam operasional bangunan perkantoran. Sekitar 60 persen energi dimakan oleh penyejuk udara. "Setelah itu, sistem pencahayaan sebesar 20 persen," kata Tiyok, yang mewakili Indonesia pada Council on Tall Buildings and Urban Habitat.

Menurut dia, penggunaan chiller besar jelas lebih efisien untuk gedung perkantoran. "AC split itu pemakaiannya on demand dan sirkulasi udara ruangan menjadi tidak bagus karena tidak ada pertukaran udara luar."

Penggunaan chiller besar dengan pendingin air juga lebih efektif. Lebih baik daripada chiller berpenyejuk udara karena bisa dipakai terus-menerus. Tiyok sudah mendengar kabar adanya pembangunan sistem penyejuk udara menggunakan energi panas matahari yang dibuat di Universitas Indonesia. "Penghematan dari penggunaan energi alternatif seperti matahari bisa sangat signifikan," ujarnya.

Gabriel Titiyoga


Pemanfaatan Energi Surya
- Sebanyak 63 panel solar collector seluas 240 meter persegi terpasang di atap gedung MRC Universitas Indonesia. Satu panel berisi 16 tabung pengumpul panas matahari.
- Kapasitas pendingin sebesar 281 kW dengan operasional rata-rata 8 jam per hari. Kapasitas yang ditanggung energi matahari sebesar 89 kW. Operasional sistem pendingin juga dibantu oleh pembakaran gas CNG sebanyak 14 m3 per jam atau 46 ribu m3 per tahun.
- Konsumsi listrik mesin pendingin sebesar 20 kW atau 52.250 kWh per tahun. Chiller biasa dengan kapasitas yang sama memakan energi listrik hingga 70 kW atau 183 ribu kWh per tahun.
- Air yang mengalir dalam sistem pendingin mencapai 80 ribu liter per hari.
- Emisi karbon dioksida sistem pendingin dengan panas matahari sebesar 141 ton (88,8 ton berasal dari penggunaan gas CNG). Adapun emisi CO2 chiller dengan tenaga listrik mencapai 183 ton per tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus