DONALD Pandiangan menangis, dalam hati. Mungkin banyak orang
yang tak bersedih untuk Olympiade 1980, tapi mustahil tak ikut
bersimpati kepada atlet seperti Pandiangan. Mungkin orang tak
begitu acuh kepada apa niat Uni Soviet atau Amerika Serikat,
tapi mustahil tak peka kepada perasaan mereka yang sudah bersiap
di ambang pertandingan.
Seorang atlet telah berjalan jauh, sebelum ia tiba di ambang
itu.- Berbulan-bulan ia menggedor dirinya sendiri. Pelari
Sebastian Coe -- anak muda Inggris yang sendirian menggempur
banyak rekor itu -- misalnya bersiap selama lebih dari 4 tahun.
Untuk memecahkan rekor lari beberapa ratus meter, ia mulai lari
antara 35 mil dan 70 mil tiap minggu. Ia juga mengangkat besi,
senam, lari berulang-ulang di bukit, meloncat, memanjat tali,
sit-up ....
Tubuh memang tak bisa dibiarkan terkulai seperti baju lusuh.
Tubuh seorang atlet adalah ibarat busur yang direntang sebelum
sebuah performance ditembakkan. Tubuh juga misteri. Banyak hal
bisa terjadi pada saat yang menentukan tiba. Latihan
berbulan-bulan pada dasarnya adalah untuk mengatur pelbagai hal
yang mungkin itu ke dalam suatu tertib. Dan pertandingan,
seperti yang terjadi dalam Olympiade, adalah ujian terpuncak
untuk mengalahkan misteri itu.
Seorang atlet dengan demikian, jauh di dasar dirinya, adalah
seorang yang sendirian. Tak ada lukisan yang lebih menggurit
dari lukisan Yukio Mishima tentang itu dalam eseinya yang
panjang mengenai tubuh dan kata-kata, Matahari dan Baja.
Ia berlari sendirian mengelilingi beberapa kali jalur utama
stadion nasional di sebuah fajar bulan Desember. Dan itu adalah
fajar yang membeku. Stadion nasional itu bagai sebuah teratai
besar. Arena luasnya yang kosong membentuk daun-bunga yang
terbentang berlebihan, penuh bintik-bintik, putih abu-abu.
"Sementara aku berlari, yang kuhirup bukari hanya udara setajam
pisau, juga aroma fajar yang berkepanjangan .... Sementara aku
berlari, pikiranku dipenuhi satu masalah: hubungan antara
kembang teratai waktu fajar yang bernafsu itu dengan kemurnian
tubuhku."
Keterpusatan pada diri sendiri -- itulah yang umumnya tak
terlihat oleh para penonton, ketika seorang atlet bertanding.
lemang ada lawan, tapi pada akhirnya lawan terutama ada dalam
diri sendiri. Memang ada bendera, semangat nasional, lagu
kebangsaan, janji-janji. Tapi jantung yang seperti digenjot
kaki setan itu bukan milik jutaan orang. Juga ketegangan, juga
kecemasan, sebenarnya tak dapat dibagi-bagi.
Politik? Teramat mudah kini untuk mengatakan, bahwa olahraga
tak bisa dilepaskan, dari politik. Orang seakan-akan tak lagi
dapat (atau mau) membedakan bahwa Olympiade adalah satu hal,
dan olahraga itu sendiri hal lain. Memang omong kosong untuk
berbicara tentang "kemurnin" Olympiade. Sejak upacara dan
sekaligus pesta besar ini menjadi mahal, ia mengundang banyak
campur tangan. Yang ramai bukan lagi atlet. Lebih ramai lagi
adalah iklan dan terompet sejumlah bangsa dan sejumlah rezim.
Dengan demikian memang sejak pagi shenarnya Olympiade
mengandung sikap pura-pura. Tetapi kita toh tak bisa
mengatakan, bahwa makna setiap pertandingan bagi banyak atlet
dengan begitu hanyalah pura-pura.
Olympiade memang tak bisa dikatakan sebagai seruan rukun
negara-negara. Pameran dan jorjoran di sana terlalu banyak.
Bahkan Pierre de Coubertin sendiri memulai Olympiade modern
semula dengan maksud menyiapkan kembali keperkasaan Prancis.
Tetapi dapatkah kita abaikan wajah utuh manusia di sana - yang
mengandung jauh lebih banyak cerita dari sekedar ambisi pemimpin
politik?
Barangkali itulah yang dilupakan, ketika orang serta merta
menolak Olympiade Moskow 1980. Memang tidak layak untuk terus
naive. Kita tentu melihat Olympiade itu tak akan terlepas dari
niat propaganda Uni Soviet -- seraya ingat bahwa negeri lain
juga tak bebas dari hasrat itu. Tetapi terlampau tidak adil
untuk tidak mendengarkan Donald Pandiangan. Terlampau gampangan
untuk tidak merenungkan kenapa seorang atlet dalam hati
menangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini