Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah 10 Tahun Di Peti

Buku 'dibawah bendera revolusi' karangan ir. soekarno diizinkan beredar lagi berdasarkan surat kejaksaan agung pada pt. gunung agung. ini berarti larangan yang telah berumur 10 tahun telah dicabut.

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT Kejaksaan Agung pada PT Gunung Agung itu bertanggal 21 Maret 1980. Isinya: setelah diteliti Direktorat Politik dan Keamanan Kejaksaan Agung buku Dibawah Bendera Revolusi jilid I serta terjemahan bahasa Inggrisnya Under tbe Banner of Revolution karangan Ir. Soekarno diizinkan beredar lagi. Itu berarti larangan yang telah berusia 10 tahun telah dicabut. "Saya merasa lega sekali," kata Masagung, direktur utama PT Gunung Agung pekan lalu. Buku Dibawah Bendera Revolusi (DBR) jilid I dan II terpaksa disimpannya dalam gudang sejak 1970 setelah Kejagung memintanya untuk tidak mengedarkan lagi. "Tidak ada surat perintah. Cuma dipanggil dan diberitahu," ujar Masagung pula. Dia menduga ada petugas Kejagung yang melihat buku-buku itu dipajang pada stand Gunung Agung di Pekan Raya Jakarta I hingga kemudian keluarlah larangan itu. Sejak itu pulalah Gunung Agung terpaksa menyimpan buku-buku tersebut sebanyak 10.000 peti atau sekitar 500. 000 buah. Kok banyak betul? "Kami mempunyai persediaan banyak karena pada zaman itu hampir semua orang diwajibkan membacanya," jawab Masagung. Buku DBR telah dicetak 4 kali. Pertama kali diterbitkan pada 1959 oleh sebuah panitia yang dipimpin oleh almarhum Mualliff Nasution yang pada waktu itu menjabat sekretaris Presiden Soekarno. Jilid I berisi karangan-karangan Soekarno yang penting sejak 1926 sampai 1941. Sedang jilid II berisi pidato Soekarno setelah kemerdekaan, antara lain pidato Manifesto Politik yang diucapkan pada 1959. PT Gunung Agung pimpinan Masagung yang waktu itu dikenal dekat dengan Soekarno -- ditunjuk sebagai penyalur tunggal. Larangan mengedarkan buku DBR ini ternyata tidak banyak diketahui. Di banyak tempat penjualan buku-buku bekas, selama ini DBR bisa diperoleh. Menurut beberapa penjual buku bekas DBR termasuk buku yang banyak dicari setelah belakangan ini tokoh Bung Karno populer lagi. Gunung Agung sendiri beberapa minggu terakhir ini tampak giat memasarkan DBR jilid 1. Stand Gunung Agung di Pameran Buku Nasional di Aldiron Plaza Jakarta misalnya, berusaha merangsang dengan menghadiahi satu set bolpoin Parker pada tiap pembeli DBR. Harga buku ini Rp 4.500. Dengan tebal 627 halaman dan dijilid tebal, harga ini termasuk murah. Apalagi ditambah Parker. "Itu karena cetakan lama dan masih memakai ejaan lama," kata Masagung. Diakuinya, penjualan buku ini sampai sekarang masih "sedang-sedang saja". Namun ia optimis buku ini akan laris kalau karnpanye pemasaran meluas. Wasiat Bung Karno Kecuali menunggu izin beredarnya DBR jilid II, Gunung Agung juga menanti diizinkannya beredar lagi buku Bung Karno Putera Fajar (1965) karangan Solichin Salam dan Wasiat Bung Karno (1978). Penerbit ini sekarang juga tengah mencetak ulang di Singapura buku karya Cind- Adams tentang Bung Karno, dengan judul Sukarno My Friend. Masih ada satu buku kecil tentang Soekarno yang dilarang beredar Wawancara Imaginer dengan Bung Karno karangan Christianto Wibisono. Menurut pihak Kejaksaan Agung, buku yang dilarang beredar "ribuan" jumlahnya. "Tapi pada prinsipnya, Kejaksaan Agung selalu mengadakan penelitian atas barang cetak yang dilarang itu. Ada kemungkinan beberapa boleh diedarkan kembali, tergantung atas hasil penelitian itu," ujar Tomasouw, kepala Humas Kejagung. Menurutnya, alasan larangan peredaran suatu Jenis barang cetak biasanya faktor keamanan, situasi politik, mengganggu kestabilan atau suasana masyarakat dan lain-lain. Tomasouw tidak ingat persis apakah buku-buku tulisan Pramudya Ananta Toer sudah selesai diteliti atau belum. Larangan beredar terbanyak sekaligus pada sejumlah buku mungkin terjadi pada 1986. Menyusul dilarangnya ajaran komunis/Marxis/Leninis lewat Ketetapan MPRS, buku-buku tulisan tokoh-tokoh PKI atau yang dianggap berbau komunis dilarang beredar. Malahan banyak yang langsung dibakar atau dimusnahkan. Harus Obyektif Di zaman Orde Lama sendiri, setelah Manifes Kebudayaan (Manikebu) dilarang pada 8 Mei 1964, buku-buku karya penandatangan Manikebu ini sempat dibekukan. Seingat H.B. Jassin, pemerintah sendiri waktu itu secara resmi tak melarang beredarnya buku-buku tersebut. "Yang ada teror," ujarnya. Hingga toko-toko buku tidak berani menjual buku-buku itu. Bahkan koran-koran pun tak mau memuat tulisan orang Manikebu. Takut diginyang. "Itu kelihaian PKI memanfaatkan situasi untuk kepentingannya," ujar Jassin. Kritikus sastra ini menyayangkan sekali kalau setiap buku yang tak searus dengan jalan atau politik pemerintah dilarang. Menurutnya, buku harus dinilai secara obyektif sebagai karya yang dilahirkan pikir. "Maka harus tanpa sentimen. Kalau tak setuju dengan pemikiran buku itu, buatlah sanggahan atau kritik. Bukan dengan melarang," ujar Jassin. Yang dimaksudnya rupanya karya-karya sastra saja. Larangan buku tulisan pengarang-pengarang Lekra misalnya, diangggap Jassin sebagai akibat situasi politik yang menyamaratakan karya dan bukan dinilai per buku. Tak semua buku karangan Pramudya misalnya, cenderung ke komunis atau Marxis Di Malaysia malahan buku-buku karya Pramudya dipakai sebagai buku pelajaran. "Kalau kita terus melarangnya, atau malah menghilangkannya, berarti secara sejarah kita rugi besar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus