SURAT Kejaksaan Agung pada PT Gunung Agung itu bertanggal 21
Maret 1980. Isinya: setelah diteliti Direktorat Politik dan
Keamanan Kejaksaan Agung buku Dibawah Bendera Revolusi jilid I
serta terjemahan bahasa Inggrisnya Under tbe Banner of
Revolution karangan Ir. Soekarno diizinkan beredar lagi. Itu
berarti larangan yang telah berusia 10 tahun telah dicabut.
"Saya merasa lega sekali," kata Masagung, direktur utama PT
Gunung Agung pekan lalu. Buku Dibawah Bendera Revolusi (DBR)
jilid I dan II terpaksa disimpannya dalam gudang sejak 1970
setelah Kejagung memintanya untuk tidak mengedarkan lagi. "Tidak
ada surat perintah. Cuma dipanggil dan diberitahu," ujar
Masagung pula. Dia menduga ada petugas Kejagung yang melihat
buku-buku itu dipajang pada stand Gunung Agung di Pekan Raya
Jakarta I hingga kemudian keluarlah larangan itu.
Sejak itu pulalah Gunung Agung terpaksa menyimpan buku-buku
tersebut sebanyak 10.000 peti atau sekitar 500. 000 buah. Kok
banyak betul? "Kami mempunyai persediaan banyak karena pada
zaman itu hampir semua orang diwajibkan membacanya," jawab
Masagung.
Buku DBR telah dicetak 4 kali. Pertama kali diterbitkan pada
1959 oleh sebuah panitia yang dipimpin oleh almarhum Mualliff
Nasution yang pada waktu itu menjabat sekretaris Presiden
Soekarno. Jilid I berisi karangan-karangan Soekarno yang penting
sejak 1926 sampai 1941. Sedang jilid II berisi pidato Soekarno
setelah kemerdekaan, antara lain pidato Manifesto Politik yang
diucapkan pada 1959. PT Gunung Agung pimpinan Masagung yang
waktu itu dikenal dekat dengan Soekarno -- ditunjuk sebagai
penyalur tunggal.
Larangan mengedarkan buku DBR ini ternyata tidak banyak
diketahui. Di banyak tempat penjualan buku-buku bekas, selama
ini DBR bisa diperoleh. Menurut beberapa penjual buku bekas DBR
termasuk buku yang banyak dicari setelah belakangan ini tokoh
Bung Karno populer lagi.
Gunung Agung sendiri beberapa minggu terakhir ini tampak giat
memasarkan DBR jilid 1. Stand Gunung Agung di Pameran Buku
Nasional di Aldiron Plaza Jakarta misalnya, berusaha merangsang
dengan menghadiahi satu set bolpoin Parker pada tiap pembeli
DBR. Harga buku ini Rp 4.500. Dengan tebal 627 halaman dan
dijilid tebal, harga ini termasuk murah. Apalagi ditambah
Parker.
"Itu karena cetakan lama dan masih memakai ejaan lama," kata
Masagung. Diakuinya, penjualan buku ini sampai sekarang masih
"sedang-sedang saja". Namun ia optimis buku ini akan laris kalau
karnpanye pemasaran meluas.
Wasiat Bung Karno
Kecuali menunggu izin beredarnya DBR jilid II, Gunung Agung juga
menanti diizinkannya beredar lagi buku Bung Karno Putera Fajar
(1965) karangan Solichin Salam dan Wasiat Bung Karno (1978).
Penerbit ini sekarang juga tengah mencetak ulang di Singapura
buku karya Cind- Adams tentang Bung Karno, dengan judul Sukarno
My Friend.
Masih ada satu buku kecil tentang Soekarno yang dilarang beredar
Wawancara Imaginer dengan Bung Karno karangan Christianto
Wibisono. Menurut pihak Kejaksaan Agung, buku yang dilarang
beredar "ribuan" jumlahnya. "Tapi pada prinsipnya, Kejaksaan
Agung selalu mengadakan penelitian atas barang cetak yang
dilarang itu.
Ada kemungkinan beberapa boleh diedarkan kembali, tergantung
atas hasil penelitian itu," ujar Tomasouw, kepala Humas
Kejagung. Menurutnya, alasan larangan peredaran suatu Jenis
barang cetak biasanya faktor keamanan, situasi politik,
mengganggu kestabilan atau suasana masyarakat dan lain-lain.
Tomasouw tidak ingat persis apakah buku-buku tulisan Pramudya
Ananta Toer sudah selesai diteliti atau belum.
Larangan beredar terbanyak sekaligus pada sejumlah buku mungkin
terjadi pada 1986. Menyusul dilarangnya ajaran
komunis/Marxis/Leninis lewat Ketetapan MPRS, buku-buku tulisan
tokoh-tokoh PKI atau yang dianggap berbau komunis dilarang
beredar. Malahan banyak yang langsung dibakar atau dimusnahkan.
Harus Obyektif
Di zaman Orde Lama sendiri, setelah Manifes Kebudayaan
(Manikebu) dilarang pada 8 Mei 1964, buku-buku karya
penandatangan Manikebu ini sempat dibekukan.
Seingat H.B. Jassin, pemerintah sendiri waktu itu secara resmi
tak melarang beredarnya buku-buku tersebut. "Yang ada teror,"
ujarnya. Hingga toko-toko buku tidak berani menjual buku-buku
itu. Bahkan koran-koran pun tak mau memuat tulisan orang
Manikebu. Takut diginyang. "Itu kelihaian PKI memanfaatkan
situasi untuk kepentingannya," ujar Jassin.
Kritikus sastra ini menyayangkan sekali kalau setiap buku yang
tak searus dengan jalan atau politik pemerintah dilarang.
Menurutnya, buku harus dinilai secara obyektif sebagai karya
yang dilahirkan pikir. "Maka harus tanpa sentimen. Kalau tak
setuju dengan pemikiran buku itu, buatlah sanggahan atau kritik.
Bukan dengan melarang," ujar Jassin. Yang dimaksudnya rupanya
karya-karya sastra saja.
Larangan buku tulisan pengarang-pengarang Lekra misalnya,
diangggap Jassin sebagai akibat situasi politik yang
menyamaratakan karya dan bukan dinilai per buku. Tak semua buku
karangan Pramudya misalnya, cenderung ke komunis atau Marxis Di
Malaysia malahan buku-buku karya Pramudya dipakai sebagai buku
pelajaran. "Kalau kita terus melarangnya, atau malah
menghilangkannya, berarti secara sejarah kita rugi besar,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini