Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kenangan Kecil Untuk P.K. Ojong ...

Goenawan mohamad menceritakan kenangannya tentang p.k. ojong, pendiri dan pemimpin majalah intisari/kompas yang meninggal mei 1980. dikatakan dunia ojong adalah buku dan pemikiran.

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI terjadi 10 tahun yang lalu, atau sekitar itu. Saya bicara berbisik-bisik dengan P.K. Ojong tentang seorang kenalan kami. Kenalan ini sehari sebelumnya mengeluarkan suatu pernyataan yang dikutip pers. Isinya waktu itu memberi kesan yang mengecewakan bagi mereka yang merasa memperjuangkan, untuk Indonesia, sesuatu yang layak disebut demokrasi. Pak Ojong diam mendengarkan. Kenalan itu cukup dekat dengannya. Karena itu penilaian saya mungkin tak mengenakkan. Tapi kemudian ia berkata: "Sukar, ya, bagi generasi saudara, ya. Tidak banyak orang yang bisa dijadikan teladan." Ia seakan tak menjawab apa yang saya katakan. Waktu itu ia sudah di atas 45 tahun dan saya belum lagi 30. Dengan kepongahan anak muda saya sebenarnya tak yakin apakah generasi saya memang mencari teladan. Tapi beberapa tahun kemudian saya lebih tahu diri sedikit: kian tinggi jabatan, kian besar kekuasaan, kian banyak masalah yang pada dasarnya menyangkut moral diri sendiri. Untuk itu tak ada rumus. Orang butuh teladan. P.K. Ojong tak termasuk tokoh yang tampil untuk meneladani. Ia tidak karismatis, ia tidak flamboyan. Ia tak pandai bicara. Artikulasinya seperti terganggu oleh aksen Sumatera Barat, dan saya suka heran bagaimana dia bisa jadi guru. Sejak saya mengenalnya pertama kali, sekitar 18 tahun yang silam, tak pernah ia menonjol dalam pertukaran pikiran. Tapi kenapa ada saat-saat ketika saya memandang ke arahnya (kendati dari jauh), untuk memperoleh semacam "contoh" bagaimana suatu masalah harus dihadapi? Beberpa belas tahun yang lalu tinggal seorang kenalan asing di sebuah desa di luar Paris. "P.K.", demikian ia menyebut Pak Ojong yang jadi sahabatnya sumur hidup, "punya sesuatu yang bis disebut kebangsawanan hati." Saya kemudian tahu apa maksudnya: seorang yang punya harga diri cukup dan karena itu tak punya ego yang besar seorang yang terutama hadir untuk melayani, bukan untuk dilayani. Siapa pun dapat bicara tentang P.K. Ojong tanpa sekedar upacara memuji seorang yang baru meninggal: di atas kesuksesannya sebagai pemimpin perusahaan ia tetap seorang keras untuk tidak mengistimewakan diri. Seorang rekan yang bekerja dengan dia sejak masa majalah Star Weekly, bercerita bagaimana pemimpin redaksi itu tak juga mengganti mesin tik yang dipakainya, sementara redaksi lain sudah memakai yang baru. Itu hanya satu contoh. Sebagai orang-orang yang ikut mengurusi majalah kesusastraan Horison, kami sering bertemu dalam rapat. Horison adalah majalah kecil dan dikelola dengan dana kecil. Antar pengurusnya terjalin semacam pertalian - meskipun kami bisa berbeda pendapat dalam segala hal. Terutama di tahun-tahun lalu, sering ada pertemuan di rumah Mochtar Lubis di Tugu, beberapa kilometer yang sejuk di luar Jakarta. Di sana biasanya hadir sejumlah sastrawan dan pelukis. Lazimnya masing-masing bersama keluarga. Acara rapat tentu saja kemudian tenggelam dalam suasana piknik. Dan di situlah saya mengenal lebih baik Pak Ojong seorang bapak yang intim bagi keluarganya, seorang yang setia bagi teman-temannya, seorang pekerja tanpa pamrih bagi sebuah usaha kebudayaan yang tak spektakuler tapi sering bikin pusing kepala. Bayangkan. Dia orang No. 1 dalam organisasi besar yang menerbitkan Kompas (sekitar 300.000 eksemplar tiap hari) dan Intisari (di atas 100.000 eksemplar tiap bulan). Tapi dia dengan bersemangat mengurusi langsung keuangan Horison (tak sampai 6.000 eksemplar sebulan), -- berkala yang tiap kali harus mengatasi krisis. Singkatnya, ia tetap seperti dulu: di zaman "Demokrasi Terpimpin" yang penuh tekanan, ia dengan rajin melayani teman-temannya, mengirimi mereka bahan bacaan yang tetap bisa dipakai memelihara kemerdekaan berpikir, di tengah indoktrinisasi yang bertubi-tubi. Mungkin banyak orang kini hanya melihat P.K. Ojong sebagai manajer sebuah perusahaan besar di bidang media. Orang mungkin banyak tak tahu bahwa tokoh yang meninggal mendadak pekan lalu ini (lihat Pokok & Tokoh) pada dasarnya seorang cendekiawan dari tradisi yang terbaik: seorang yang mencintai ide-ide, dan karena itu juga selalu memimpikan demokrasi. Rekan sekerjanya di Star Weekly mengatakan Ojong di masa itu bahkan sama sekali tak tahu perkara perusahaan. Dunianya hanya buku dan pemikiran. Maka Star Weekly yang dipimpinnya, sebelum dibreidel pemerintah Orde Lama, adalah majalah keluarga yang ternyata juga bicara tentang teori Arnold Toynbee, atau tentang lukisan mutakhir, atau pandangan filsuf Islam Muhammad Iqbal (ditulis oleh P.K. Ojong sendiri). Rubrik Kompasiana yang dulu ditulisnya di harian Kompas, dengan populer juga sebenarnya bicara soal-soal pokok -- dan merupakan inspirasi di hari-hari pertama Orde Baru, ketika kita semua tengah mencari tata bernegara yang lebih baik. Meskipun seakan rubrik itu hanya bicara soal pohon di jalan, kembang atau tukang air di pagi buta. Barangkali itulah cerminan pribadi Ojong: ia mengurus soal-soal yang bagi banyak cendekiawan besar dianggap remeh. Ia memperhatikan kembang dan jembangan, tapi ia yakin ia sedang menyusun sesuatu yang sangat besar. Atau bukan besar sebenarnya. "Berharga" adalah kata yang lebih tepat. Dan berharga, baginya, adalah berharga untuk orang lain. Saya teringat sebuah buku yang ditulisnya dengan nama samaran setelah Star Weekly dibunuh. Di sana ia mengecam satu kalimat dalam drama Jean-Paul Sartre yang termashur, Huis Clos: "Neraka adalah kehadiran orang lain." Dia memang punya kebangsawanan hati. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus