Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA satu film dengan adegan yang tak terlupakan: Schindler's List. Saya menontonnya di tahun 1994. Saya masih ingat beberapa menit menatap layar dengan mata basah, menatap seorang anak perempuan 3 tahun bermantel merah di antara ribuan tahanan Yahudi yang digiring tentara Jerman untuk dibantai....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film dari tahun 1993 itu hitam-putih. Warna merah mantel bocah itu sebuah kejutan yang hening.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tak tahu nama si upik. Tapi kita tahu ia sebuah beda, sesuatu yang istimewa, sebagaimana tiap korban adalah istimewa—cerita yang unik yang terimpit ribuan mayat yang ditimbun seperti kayu pembakaran. Gadis kecil itu, pucat dan bisu, adalah sabda: ia pantang diringkas ganas hanya jadi “Yahudi” dalam teriakan Hitler yang akan dibinasakan di Auschwitz.
Dunia yang tak punya hati—agaknya itulah yang terjadi. Saya ingat satu kalimat Adorno: “Setelah Auschwitz, menulis puisi adalah biadab.” Saya tak paham benar apa maksudnya, tapi kekejaman di kamp konsentrasi ini (ada sejuta orang lebih dibunuh) telah meninggalkan kenangan yang meracuni perasaan. Tak hanya bagi seorang Yahudi.
Penyair Amerika Anne Sexton, mungkin mengikuti Adorno, menulis sajak “After Auschwitz”. Ia tuliskan “amarah yang sehitam cangkuk” yang merasuki dirinya tiap kali, tiap pukul 08:00 pagi, kaum Nazi mengambil seorang bayi dan “menjadikannya tumis di penggorengan…”.
Anger,
as black as a hook,
overtakes me.
Each day,
each Nazi
took, at 8:00 A.M., a baby
and sauteed him for breakfast
in his frying pan.
Bagaimana puisi bisa ditulis dalam keadaan seperti itu? Bagaimana puisi akan bisa bicara ketika manusia sepenuhnya keji dan tak bermartabat hingga Ajal pun memandanginya dengan acuh tak acuh sambil “menggaruk-garuk lubang dubur”?
Auschwitz: sebuah kenangan, sebuah penanda yang mengerikan. Kita akan menyimpannya dalam tata simbolik dengan makna yang angkuh—yang ingin diterima secara universal.
Namun “universal” adalah taraf yang problematis. Kini memang “Auschwitz” dianggap sebuah sebutan untuk kekejian yang sekeji-kejinya—kutukan yang diasumsikan diterima di mana saja dan kapan saja. Tapi penanda selalu tumbuh dari tempat tertentu, waktu tertentu. Di luar Jerman abad ke-20, pembantaian di Indonesia (1966), di Kamboja (1975), Rwanda (1994), Serbia (1999) punya bahasa lain: kebiadaban tanpa “Auschwitz”.
Maka absurd jika orang Indonesia, atau Cina, atau Papua, diharap membaca kekejaman dan kebencian sebagai satu pengalaman yang niscaya terkait dengan antisemitisme Eropa. Sejak mula, antisemitisme berpusar di wilayah yang jauh dari Asia.
Dalam A Convenient Hatred: The History of Antisemitism oleh Phyllis Goldstein, saya tak menemukan di wilayah Timur Jauh ini apa yang terjadi dalam antisemitisme di Timur Tengah sejak setengah abad Sebelum Masehi, setelah bangsa Yahudi beremigrasi keluar dari Yudea, menjauhi kekacauan dan kelaparan. Dalam diaspora itu manusia yang berbeda-beda bertemu—bersaing, bersengketa, bermusuhan; kebencian dan stereotipe pun berkecamuk. Juga kekerasan.
Menurut Goldstein, baik orang Yunani maupun Romawi berhasil menciptakan stereotipe yang berlanjut, juga setelah kekuasaan imperial mereka roboh—stereotipe yang mempersetankan orang Yahudi.
Dengan kata lain, antisemitisme—ekspresi massal kebencian dan tindakan kekerasan yang membinasakan—adalah pusaran sejarah Eropa. Bukan pengalaman kita. Di Hindia Belanda di ujung 1930-an, benih-benih antisemitisme dicoba ditanamkan organisasi NSB (Nationaal-Socialistische Beweging) yang memuja Hitler dan Mussolini. Tapi tak sukses. Ternyata kita punya paranoia lain: terhadap minoritas Tionghoa, terhadap umat Syiah, terhadap umat Ahmadiyah.
Tak berarti kini imperialisme berakhir; prasangka imperialis bahkan tetap ada di balik musuh-musuh fasisme. Ia lamat-lamat terasa pada pandangan yang Eropa-sentris: hampir apa saja dilihat mau tak mau membawakan gema “Eropa”.
Di Kassel, Jerman, hari-hari ini, dipasang sebuah mural yang dibangun Taring Padi, kelompok seni rupa sayap kiri dari Yogya. Mural itu, dengan deretan gambar karikatural, diciptakan 20 tahun yang lalu sebagai ekspresi melawan militerisme Orde Baru. Ajaib atau entah, tahun ini di Jerman ia dianggap membawakan pesan “antisemitis”.
Ia pun dirobohkan tanpa ada pertanyaan: siapa sebenarnya yang mengontrol makna? Juga makna mural itu? Taring Padi, sang perupa? Duta Besar Israel? Dan siapa yang berhak memberangus? Bukankah—saya di sini sedikit meniru Roland Barthes—“karya seni adalah pertanyaan minus jawaban”?
Ada yang menyesali para seniman Indonesia itu tak kenal khazanah grafis Eropa dan tak sadar seraut wajah di mural itu adalah reproduksi kartun Nazi yang mempersetankan bangsa Yahudi. Mungkin. Tapi kita tahu, hidung bengkok tak hanya cemooh buat Yahudi yang tengik. Imperialisme tata simbolik Jerman tak mau tahu ada hidung Durna dan Butoterong dalam wayang kulit, yang berabad-abad diukir para juru sungging tanpa antisemitisme.
Tapi buat apa? Tafsir sudah ditutup. Kekuasaan menang. Saya ingat gadis kecil Schindler's List: bagaimana kalau kita dipaksa melihatnya hanya sebagai intermeso merah yang sial?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo