BAGI Indonesia, kunjungan perdana menteri negara terbesar di Asia Timur minggu ini mengandung arti penting karena sejumlah alasan. Selama Perang Dingin di Kawasan Asia Pasifik (1950-1972), RRC merupakan satu-satunya kekuatan yang mencegah Amerika Serikat menguasai secara mutlak kawasan ini. Ini disebabkan karena pada waktu itu Jepang sedang sibuk dengan pembangunan kembali negerinya dari puing-puing Perang Dunia II, sedangkan Uni Soviet praktis tidak berperan karena belum muncul sebagai kekuatan laut. Sejak tahun 1970-an, RRC termasuk empat besar bersama-sama dengan AS, Jepang, dan Uni Soviet yang menentukan pola dasar percaturan politik di Asia Pasifik sehingga tidaklah realistis untuk mengabaikannya, khususnya dalam hal-hal yang menyangkut kawasan ini, seperti yang dibuktikan oleh masalah Kamboja. Kita mengetahui bahwa kekuatan yang berhadapan adalah pemerintah Phnom Penh (yang didukung oleh Vietnam dan Uni Soviet), dan CGDK -- yang dalam kenyataan berarti Khmer Merah karena Sihanouk dan Sonn San tidak memiliki kekuatan tempur yang dapat diandalkan. Kekuatan Khmer Merah ini dipersenjatai oleh RRC melalui wilayah Muangthai. Sejak terjadi resesi ekonomi dunia, negara-negara Barat dan Jepang menjalankan politik proteksionisme dalam tahun 1980-an, RRC menjadi pasaran yang makin penting bagi ekspor Indonesia. Terutama diproyeksikan ke masa depan, kita tidak bisa mengabaikan pasaran potensial terbesar di dunia ini dan membiarkannya dikuasai oleh negara-negara lain karena ini hanya bisa merugikan kepentingan pembangunan nasional kita. Sebaliknya, bagi RRC Indonesia punya beberapa arti. Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara yang ekonomis-potensial, terletak sangat strategis di selatan RRC, dan menguasai SLOC (Sea Lanes of Communications). Perang Dunia II dan Perang Vietnam telah menunjukkan ancamannya bagi RRC kalau wilayah ini dikuasai oleh musuhnya. Selama Perang Dingin di kawasan Asia Pasifik, Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang mengakui RRC dan yang konsisten menolak ikut serta dalam politik pembendungan AS terhadap RRC. Hal ini tidak mungkin dilupakan oleh bangsa Cina yang sangat historical-conscious. RRC tidak bisa tidak menghargai politik bebas aktif Indonesia yang mengakuinya di masa lampau. Kiranya tidak berlebihan pula untuk mengatakan bahwa RRC mengharapkan bahwa, di masa yang akan datang, Indonesia akan tetap menolak untuk memihak kepada negara besar mana pun karena ini hanya bisa merugikan kepentingan ilasional RRC. Ditinjau dari sudut modernisasinya, RRC tidak bisa mengabaikan Indonesia sebagau pemasok bahan baku tropis yang dibutuhkan serta sebagai pasaran hasil produk industrinya. Akhirnya perlu disebut pula arti penting kunjungan ini bagi RRC yang hubungannya dengan Barat mendingin akibat tragedi Tiananmen tahun yang lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini