"SAMPAI saat ini, desa masih jadi surga bagi para kepala desa. Kekuasaannya nyaris mutlak dan tak tergoyahkan. Dia mendominasi berbagai pengambilan keputusan politik, dan warga desa adalah obyek yang tinggal melaksanakannya." Begitu inti pidato pengukuhan Prof. Sukardjan Hadisutikno berjudul "Aspek Demokrasi dalam Proses Pengambilan Isi dan Pelaksanaan Keputusan Desa". Pidato yang dibacakan pada Kamis 26 Juli itu mengantar Sukardjan menjadi guru besar tetap di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang. Setahun penuh (1987-1988) bekas Wakil Gubernur Jawa Tengah itu melakukan penelitian di bilangan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Rinciannya meliput tiga kecamatan dan enam desa, dengan responden sebanyak 120 orang. Responden diambil dari tiga kelompok masyarakat: pemimpin formal, pemimpin nonformal, dan rakyat biasa. Penelitiannya juga membuktikan bahwa pemimpin nonformal -- ketua adat dan tokoh-tokoh masyarakat -- pamornya makin jatuh. Sedangkan lembaga-lembaga musyawarah, seperti Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) atau rapat desa hanya berfungsi untuk "menetapkan" Rancangan Keputusan Desa yang telah disusun kades. Boleh dikatakan, tidak ada keputusan yang lahir berkat gagasan rakyat. Anehnya, pelaksanaan setiap keputusan kades di Kendal berjalan mulus. Penelitian menunjukkan bahwa 91,13% responden memandang keputusan kades bermanfaat bagi semua warga. Sedikit sekali (8,78%) yang menudingnya tidak demokratis dan tidak bermanfaat. Itu sebabnya mereka yang setuju dan tidak setuju -- tetap bersedia merealisasikannya. Secara politis, kekuasaan kades di Kendal memang didukung rakyat. Selain diraih lewat pemilihan, kades terpilih adalah bekas tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Secara yuridis formal, dominasinya juga diakui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun 1981. Pasal 3 ayat 1, misalnya, menegaskan bahwa kepala desa adalah peyelenggara pemerintahan desa. Lalu, selain berperan sebagai ketua LMD, kades juga membawahkan LKMD. Praktis kedua lembaga musyawarah itu berada dalam cengkeramannya. Hari depan Indonesia, kata Sukardjan, membutuhkan kades demokrat, bukan sekadar birokrat. Maka, struktur organisasi, fungsi LMD, LKMD, dan rapat desa patut ditinjau kembali. "Misalnya, jabatan Ketua LMD dan LKMD dijabat orang lain," usul Sukardjan. Di luar Jawa, kondisinya lebih parah. "Kades sering bertindak seenak perutnya." Ini menurut Dr. Loekman Soetrisno peneliti senior pada Pusat Penelitian Pedesaan dan Kawasan (P3PK) Universitas Gadjah Mada, yang pernah melakukan penelitian di Jambi. Akibatnya, rakyat yang telanjur patuh pada pemimpin adat atau kepala suku cenderung menentang kadesnya. Ceritanya mungkin lain bila pemimpin nonformal jadi kades. Tetapi mereka keburu tersingkir oleh PP No. 5 Tahun 1979, yang menetapkan bahwa calon kades minimal harus berijazah SLTP. Padahal, jangankan lulus SLTP, membaca pun mereka tak becus. "Sebaiknya, ketua adat diberi peran dalam struktur pemerintahan. Kalau perlu, mengubah peraturan," kata Loekman. Usul kedua pakar desa itu sempat membuat dahi Dirjen PUOD Atar Sibero mengerenyit. Menurut hasil pemantauan dan penelitian Depdagri, desa-desa yang dijadikan pilot project, LMD, dan LKMD berperan 50% dalam berbagai pengambilan keputusan. Dan, sampai saat ini, memang masih mendorong terciptanya peran tunggal di desa. Pemerintah tidak membagi kekuasaannya dengan ketua adat, misalnya. "Maksudnya, supaya kades tidak kehilangan peran sebagai motor penggerak," Atar berkilah. Priyono B. Sumbogo, Rustam F. Mandayun, dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini