Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Astaga Ruki

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPAK terjang Taufiequrachman Ruki, pelaksana tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, sungguh jauh dari komitmennya memperkuat komisi antirasuah. Sampai menjelang akhir masa jabatannya pada pertengahan Desember ini, Ketua KPK periode pertama itu justru bergerak ke arah sebaliknya: melemahkan Komisi.

Ngotot-nya Ruki mendukung revisi Undang-Undang KPK merupakan salah satu bukti. Dorongan kuat Ruki ini ibarat "ular mendatangi pentungan". Soalnya, Dewan Perwakilan Rakyat sudah lama ingin mengurangi kewenangan KPK, misalnya untuk menyadap. Saat ini Komisi bisa melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan. Kalau revisi disetujui, KPK hanya bisa menyadap lewat izin hakim dengan mengajukan dua alat bukti. Pemangkasan kewenangan ini akan menumpulkan Komisi. Selama ini, banyak kasus korupsi kakap diungkap berdasarkan informasi awal melalui mekanisme sadap.

Revisi Undang-Undang KPK juga akan memotong kewenangan Komisi dalam penuntutan. Jika revisi dilakukan, hak penuntutan harus diserahkan ke Kejaksaan. Ini ancaman serius: di tangan jaksa yang lancung, tanpa supervisi KPK, materi penyidikan yang tajam dan meyakinkan bisa dipelintir hingga menghasilkan tuntutan yang tumpul. Tuntutan yang lembek akan menghasilkan putusan hakim yang lembek pula.

Peran "tak lazim" Ruki juga bisa disaksikan lewat persetujuannya agar KPK memiliki kewenangan menghentikan perkara (SP3). Dengan wewenang itu, KPK bisa menjadi "tukang gertak"--memulai perkara, lalu menghentikannya di belakang hari. Tak adanya mekanisme SP3 selama ini membuat KPK tak bisa main-main dengan perkara: sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai.

Rencana DPR membuat dewan pengawas permanen untuk KPK juga tak ditolak Ruki. Padahal, selain memboroskan biaya, dewan itu akan tumpang-tindih dengan pengawas internal dan penasihat Komisi. Dewan pengawas juga akan membuat DPR punya kesempatan mengintervensi KPK.

Kesalahan lain Ruki adalah menempatkan perwira polisi--yang komitmennya belum terbukti dalam memberantas korupsi--di sejumlah posisi kunci KPK, di antaranya deputi penindakan dan kepala biro hukum. Penempatan kedua pejabat itu diduga akan membuat KPK tak punya semangat dalam mengusut kasus-kasus di Kepolisian. Sebaliknya, Ruki justru "merestui" pengusutan kasus Novel Baswedan, penyidik yang jelas-jelas telah banyak menjebloskan koruptor ke penjara. Penyidik andalan KPK satu demi satu ditarik ke Kepolisian atau Kejaksaan tanpa ada upaya pimpinan KPK mempertahankan mereka.

Pegawai yang bertahan habis-habisan ditekan. Pimpinan KPK, misalnya, melarang karyawan berkomunikasi melalui surat elektronik, terutama menyangkut pembelaan untuk Novel Baswedan, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad. Dua nama terakhir adalah pemimpin Komisi yang menetapkan mantan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi. Bambang dan Abraham akhirnya tersingkir dari KPK setelah menjadi tersangka untuk kasus lawas yang sangat kentara dibangkitkan lagi untuk menghentikan langkah mereka. Sejumlah karyawan KPK yang menandai langkah mundur institusi dengan mengirim tiga karangan bunga dukacita dijatuhi sanksi: skorsing dan peringatan keras.

Dalam kasus Budi Gunawan, Ruki jelas-jelas mendemonstrasikan cara lunak dan kooperatif. Begitu dilantik, Februari lalu, Ruki langsung mendatangi Kepolisian dan Kejaksaan untuk membahas kasus Budi Gunawan. Keputusan Ruki kelak akan dicatat sebagai salah satu tonggak kemunduran besar KPK: pelimpahan kasus kakap itu ke Kejaksaan. Seperti orkestrasi yang rapi, Kejaksaan melimpahkan kasus tersebut ke Kepolisian, yang akhirnya menghentikan kasus gratifikasi bekas ajudan Presiden Megawati itu.

Demoralisasi yang terjadi di tubuh KPK, juga kewenangan Komisi yang terancam copot satu per satu, menunjukkan kelompok yang bernafsu melemahkan KPK sekarang berada di atas angin. Sayangnya, Ruki tak melawan pelemahan itu. Politik menjaga "harmoni" antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan yang dimainkannya mungkin terdengar mulia: ketiga lembaga penegak hukum harus bahu-membahu memberantas korupsi. Yang dilupakan Ruki (amnesia yang entah dari mana datangnya) adalah KPK dilahirkan lantaran aparat penegak hukum lain justru belepotan korupsi.

Tinggallah sekarang rakyat menuntut DPR memilih pemimpin terbaik KPK--dari sejumlah nama yang diusulkan panitia seleksi. Bila DPR salah memilih, kita perlu khawatir gerakan pemberantasan korupsi akan terlempar sekian tahun ke belakang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus