Erry Riyana Hardjapamekas
Ketua Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia
Skandal' Bank Bali (BB) memperlihatkan gejala baru yang mencemaskan, yaitu penyelewengan kekuasaan yang menghasilkan korupsi dan kejahatan kerah putih. Ini dilakukan dengan memanfaatkan praktek-praktek rekayasa lalu lintas finansial, dengan mempergunakan lembaga perbankan sebagai institusi mediasinya. Pembedahan terhadap kasus ini akan berhadapan dengan kompleksitas tertutupnya wilayah perbankan yang memang dilindungi undang-undang. Padahal, anasir-anasir pelaku korupsi justru menggunakan perbankan semata-mata untuk menghilangkan jejak kejahatannya.
Memang benar, telah lama berkembang teknik akuntansi forensik. Disiplin ini memfokuskan diri dalam menyelidiki kasus-kasus kejahatan yang melibatkan aspek-aspek finansial yang kompleks. Persis seperti kedokteran forensik yang merupakan aplikasi ilmu kedokteran untuk menemukan bukti-bukti kejahatan, teknik akuntansi forensik pun menerapkan teknik-teknik akuntansi untuk menemukan bukti-bukti finansial yang mendukung tindakan kejahatan. Itulah sebabnya profesi ini punya posisi yang unik untuk mengungkapkan aspek finansial yang berkaitan langsung dengan dugaan keras penyelewengan tersebut. Akuntan forensik dapat mengenali dan melakukan analisis mendalam atas transaksi finansial yang rumit dan canggih yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menutupi jejak tindakannya.
Selain itu, agar berhasil, auditor harus diberi akses seluas-luasnya terhadap data-data dan pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam penelusuran transaksi. Keleluasaan akses terhadap informasi ini begitu penting, sehingga—seperti layaknya audit finansial biasa—seorang akuntan tidak dibolehkan menyatakan pendapat positif tentang kewajaran suatu laporan keuangan bila pembatasan itu demikian besarnya. Dalam konteks akuntansi forensik sebagai bagian dari kegiatan audit khusus (special audit), pembatasan akses ini bahkan bisa dikenai tuduhan pemberangusan secara sengaja terhadap tegaknya keadilan (obstruction of justice).
Transaksi finansial yang dilakukan dalam kasus korupsi dapat dilacak dengan meneliti pergerakan (mutasi) jumlah-jumlah dana yang terjadi pada rekening bank milik pihak-pihak yang diduga melakukan penyelewengan kekuasaan. Dari data itu, akuntan bisa mengetahui asal, sifat, dan tujuan transaksi yang terjadi. Dalam bentuk yang lebih rumit, audit forensik bisa pula membongkar kejahatan korupsi atau kejahatan kerah putih lainnya yang mungkin telah melibatkan praktek pemutihan (pencucian) uang (money laundering) sebagai bagian dari penghapusan jejak.
Dengan kecanggihan teknologi informasi, jejak transaksi yang terjadi dapat disamarkan atau bahkan dihapus (cover up) sehingga kejahatan itu menjadi sangat sulit untuk diungkapkan. Audit khusus investigatif biasanya tidak hanya dilakukan oleh akuntan, tetapi juga didukung oleh profesi lain seperti ahli hukum (lawyer) dan mantan polisi penyidik (investigator). Audit khusus dapat dilakukan sebagai bagian dari proses penyelidikan pidana oleh polisi atau jaksa. Karena itu, hasil audit khusus baru bermanfaat apabila temuannya ditindaklanjuti dengan proses hukum yang tegas oleh polisi atau jaksa.
Perlu dicatat bahwa dalam temuan audit tidak akan dinyatakan status benar atau salahnya sesuatu atau serangkaian transaksi menurut hukum. Temuannya hanya akan menyajikan data-data obyektif dan akurat mengenai keseluruhan transaksi yang terjadi dalam kerangka yang memudahkan pihak kepolisian atau kejaksaan untuk menentukan apakah transaksi tersebut merupakan bagian dari suatu pelanggaran hukum atau tidak. Etika profesi akuntan mengharuskan hasil audit yang dilakukan hanya dapat diserahkan kepada pihak pemberi tugas audit dan pihak-pihak yang disepakati sejak awal.
Akuntan tidak berwenang mengumumkan kepada masyarakat, baik secara langsung maupun melalui DPR sekalipun. Pembocoran temuan oleh akuntan publik tanpa izin pemberi tugas, dengan alasan apa pun, akan bertentangan dengan etika yang mengatur kerahasiaan hubungan antara akuntan dan pemberi tugas. Kemungkinan munculnya konflik moral terhadap potensi terjadinya penyembunyian temuan dapat disiasati dengan menyatakan secara terbuka kapan saat dimulai dan diakhirinya audit. Meski menjadi pelindung kepentingan publik, tapi ia tidak memiliki kewenangan untuk menjelaskan temuannya langsung kepada publik. Sedangkan masyarakat berhak untuk meminta agar temuan audit yang menyangkut kepentingan publik tersebut diumumkan secara terbuka oleh pemberi tugas.
Dalam konteks kasus BB, bahkan diduga, akuntan publik dan BPK tidak cukup memiliki kewenangan untuk mencantumkan dalam laporannya informasi tentang seseorang atau beberapa orang yang terindikasikan. Sebab, hal itu merupakan wewenang polisi atau jaksa. Apa yang bisa kita harapkan dari hasil audit ini? Masyarakat tentu mengharapkan akuntan publik bertindak lebih sebagai detektif swasta atau private investigator. Seselesainya pekerjaan lapangan, langsung si tersangka ditangkap dan diproses secara hukum.
Terpenuhikah harapan masyarakat itu? Tampaknya belum. Sebab, output pekerjaan akuntan publik "hanya" akan berupa laporan dalam bentuk pengungkapan fakta-fakta hasil penelusuran lalu lintas dana dari BB ke berbagai bank di dalam dan luar negeri, serta lalu lintas dana dari dan ke BB. Akuntan tidak akan menyimpulkan siapa-siapa yang terlibat dalam arus lalu lintas pergerakan dana. Ruang lingkup tugasnya tidak memungkinkan ia berani menyimpulkan siapa yang benar atau salah.
Sikap hati-hati akuntan menjadi sangat masuk akal. Bagaimanapun, akuntan harus menaati undang-undang, standar, dan kode etik profesi. Di sinilah mereka menghadapi pilihan yang sulit. Di satu pihak mereka dihadapkan kepada harapan masyarakat yang demikian besar, di lain pihak ada berbagai pembatasan yang berada di luar wilayah kompetensinya. Hanya saja, dengan segala keterbatasan itu, bukankah akuntan masih memiliki nurani?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini