João Mariano Saldanha
Direktur Eksekutif East Timor Study Group (ETSG) dan kandidat Ph.D. di Economics and Comparative Politics Universitas California, San Diego
KEBRUTALAN, pembunuhan, dan anarkisme (KPA) yang melanda bumi Timor Loro Sa'e terjadi hanya dalam tempo 24 jam setelah hasil referendum di kawasan itu diumumkan. Masalahnya kini adalah sejauh mana KPA itu akan berlanjut. Hasil Undang-Undang Darurat Perang yang diterapkan masih harus ditunggu. Yang sangat memprihatinkan adalah, sampai detik ini, korban yang meninggal—gara-gara KPA—sudah ribuan orang, terutama di Dili, Baucau, dan Suai. Lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan negara-negara donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) sudah mengisyaratkan untuk memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Indonesia.
"Ancaman" itu belum tentu efektif, tapi diperkirakan akan cukup berdampak pada perekonomian Indonesia. Logika ekonomi mengatakan, situasi Timor Loro Sa'e yang memburuk dan penghentian bantuan luar negeri akan berkorelasi dengan penurunan indeks saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan melemahnya kurs rupiah terhadap mata uang asing. Selain rakyat kecil, dunia usaha akan merasakan dampak tersebut.
Komoditi dari Indonesia mungkin akan sulit menembus pasar ekspor, pelarian modal bisa saja terjadi lagi, dan minat asing untuk melakukan investasi di Indonesia akan semakin berkurang. Hal lain yang sebaiknya diperhitungkan adalah aktivitas KPA berpeluang mendorong Indonesia ke arah disintegrasi. Dan KPA memang sulit diatasi karena tindakan barbar semacam itu dilakukan oleh tangan-tangan yang tidak terlihat (invisible hands).
Apa pun hasilnya, perkembangan di Timor Loro Sa'e sudah sampai pada tahap yang tidak memungkinkan adanya titik balik (point of no return). Semakin diperlakukan brutal, masyarakat Timor Loro Sa'e akan semakin tangguh. Mereka teruji lewat pengalaman pahit 25 tahun terakhir: dari Operasi Seroja pada 1970-an, Operasi Pagar Betis pada 1980-an, hingga Operasi Sapu Rata dan Bumi Hangus pada 1990-an.
Tidak terlalu dini sekarang ini untuk memprediksi kelahiran Republik Timor Loro Sa'e. Tentu kendala yang dihadapi sangat banyak, terutama karena terbatasnya sumber daya alam dan tenaga kerja. Namun, pengalaman beberapa negara kecil di Pasifik Selatan, Karibia, dan belahan dunia yang lain menunjukkan, walaupun kecil, mereka bisa memanfaatkan keunggulan komparatifnya sehingga mampu berkembang sebagaimana negara-negara besar.
Ada tiga karakteristik umum negara kecil. Pertama, adanya ketergantungan pada perdagangan internasional. Perbandingan sektor perdagangan dengan produk domestik bruto (PDB) di negara kecil rata-rata di atas 50 persen. Kedua, negara-negara kecil mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari negara-negara besar karena produktivitas dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Ketiga, adanya ketergantungan pada bantuan luar negeri, terutama untuk membiayai pembangunan. Keempat, bergantung pada letaknya—ada yang di tengah daratan (land locked) dan ada yang di tengah lautan (sea locked)—ada yang rentan terhadap bencana alam.
Bagi Timor Loro Sa'e, partisipasi dalam perdagangan internasional adalah sesuatu yang tepat dan bisa dirintis melalui produk-produk pertanian (kopi, ternak, dan gula), pengembangan jasa-jasa modern terutama perbankan, off-shore, dan insentif perpajakan bagi dunia usaha. Didukung birokrasi yang bersih, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah sekadar angan-angan. Buktinya, dalam dua dasawarsa terakhir, bahkan tanpa dukungan kestabilan politik, pertumbuhan ekonomi Timor Loro Sa'e bisa mencapai 12 persen per tahun.
Dari aspek pembiayaan, Timor Loro Sa'e perlu memprioritaskan penggalian sumber-sumber seperti pajak dosa-dosa sosial (rokok, alkohol, dan bahan bakar kecuali untuk transportasi umum), pajak pelabuhan udara dan laut, pajak pemberangkatan ke luar negeri, retribusi dari berbagai usaha, dan laba beberapa perusahaan milik negara—semua untuk membiayai pengeluaran rutin.
Penerimaan asli Timor Loro Sa'e—selama 24 tahun terakhir—kendati terbatas pada retribusi daerah, pajak radio, serta pajak penggalian pasir dan batu, bisa mencapai 15 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Kelak, Republik Timor Loro Sa'e akan memiliki basis penerimaan lebih luas karena mencakup pajak-pajak negara yang diperoleh dari pajak minyak dan gas bumi, pajak perusahaan (corporate tax), dan pajak ekspor komoditi lain. Diperkirakan, dalam 3-4 tahun ke depan, penerimaan Timor Loro Sa'e akan berlipat ganda.
Target utama adalah penerimaan untuk membiayai pengeluaran rutin. Lalu, agar dapat memenuhi defisit anggaran rutin, perlu diusahakan bantuan luar negeri dalam bentuk budgetary support. Negeri tersebut tampaknya akan bergantung hampir 100 persen pada bantuan asing untuk membiayai pembangunannya dalam waktu relatif lama. Ada beberapa pilihan untuk mengelola bantuan luar negeri, yaitu yang bersifat hibah (grant) dan utang lunak (soft loan). Dalam hal utang jangka panjang, sebaiknya persyaratan dan kondisi pembayaran kembali utang-utang tersebut dicermati, agar pengalaman buruk Indonesia, Brasil, dan beberapa negara di Afrika bisa dihindari.
Mengamati perkembangan negara-negara kecil di dunia, bisa dikatakan, Republik Timor Loro Sa'e—bila terbentuk kelak—pada saat-saat awal akan mengalami kesulitan ekonomi dan politik, tapi untuk jangka menengah dan panjang masa depannya akan cukup baik. Dengan kata lain, dari segi kelayakan sebagai negara, tak ada yang perlu diragukan. Perihal negara kecil, Bill Easterly, ahli pertumbuhan ekonomi di Bank Dunia, bahkan sempat berkelakar dengan mengatakan, "Let's celebrate small countries," atau, "Mari kita merayakan negara-negara kecil." Untuk Timor Loro Sa'e, perayaan itu bisa dilakukan dengan menundukkan kepala dan menghormati semua pahlawan yang gugur selama seperempat abad terakhir ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini