Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita memahami bahwa penolakan integrasi adalah hal yang sangat wajar, melihat tindakan represif dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Orde Baru dan penerusnya. Kita pun pantas ikut muak. Tapi haruskah kita bergembira melihat tali persaudaraan terputus akibat kebijakan politik yang sama-sama tidak kita sukai?
Saya berharap TEMPO mau menggali angle yang berbeda, yaitu kemanusiaan dan kebudayaan. Bahwa ratusan tahun lalu, persaudaraan kita dengan rakyat Tim-Tim direnggut oleh kepentingan kolonialisme Belanda dan Portugal. Menarik dikaji, bagaimana kekuatan kolonialisme Portugal merasuk sedemikian kuat secara kultural. Akibatnya, nama, agama, bahasa, bahkan postur tubuh masyarakat Tim-Tim berbeda dengan saudara serumpunnya. Ini agak mirip dengan ekses perbudakan kulit hitam di Amerika Serikat, seolah mereka berbeda dengan nenek moyangnya di Afrika. Tidakkah penjajahan selama ratusan tahun itu sama buruknya, bahkan mungkin lebih, dengan politik represif yang tidak kita sukai belakangan ini?
Hal lain yang juga menarik dikaji adalah latar belakang kepentingan politik asing apa yang terkait di sana. Suka atau tidak suka, keberadaan kita sebagai negara besar (populasi dan luas teritorialnya) cenderung dilihat sebagai ancaman bagi negara-negara tertentu. Peristiwa tertangkapnya pilot asing ketika membantu pemberontakan fisik tahun 1950-an, sinyalemen keterlibatan asing dalam G30S-PKI tahun 1960-an, lampu hijau untuk integrasi Tim-Tim tahun 1970-an, adalah sebagai contoh konkretnya. Lantas sekarang kepentingan apa yang membuat pemerintah negara tetangga begitu ngotot ikut campur memisahkan Tim-Tim dari Indonesia?
Bung Goenawan Mohamad menulis dalam Catatan Pinggir ”Gelandangan” bahwa ”nasionalisme, kantor imigrasi, dan paspor adalah sekadar ciptaan dunia modern.” Tapi, manakala ”negara” lain dirasuki kepentingannya sendiri, ia siap menerkam kita. Itu kenyataan yang tak terelakkan dan selalu terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, meski kita tidak mau tahu politik, meski jika kita tidak memiliki nasionalisme sendiri.
LULI WIDHARMADI
Jalan Anggrek Nelimurni A/3
Slipi, Jakarta 11480
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo