Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Awas, Utang

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIAR "krismon", utang harus dibayar. Ini norma bangsa beradab, termasuk Indonesia. Malah hukumnya sudah lama ada, jauh sebelum Indonesia merdeka. Harta seseorang merupakan jaminan untuk pembayaran utangnya, kata Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Kepailitan (UUK) kita. Dengan UUK, maka atas permintaan para kreditor, pengadilan dapat menyatakan debitor pailit, dan aset si pailit masuk ke dalam penguasaan kurator. Tentu setiap kreditor tidak akan mendapat penuh tagihan masing-masing. Budel pailit harus dibagi secara proporsional di antara kreditor (paritas creditorum), kecuali para kreditor yang memegang hak tanggungan dan hak-hak kebendaan lain, serta yang oleh undang-undang diistimewakan.

Tapi, selama ini orang seakan tidak peduli dengan UUK keluaran tahun 1905 itu. Mahasiswa hukum umumnya tak bernafsu mengikuti kuliah hukum kepailitan. "Tidak konkret, kurang membumi," kata mereka. Hingga tahun lalu tercatat baru sekitar 50 perkara kepailitan yang masuk ke pengadilan. Mengapa? Tampaknya karena pengusaha, apalagi investor asing, tidak sreg dengan kinerja pengadilan. Kritik umum terhadap pengadilan di mana-mana adalah pada lambannya lembaga itu menyelesaikan perkara. Lihat saja, para investor galibnya memilih arbitrase guna menyelesaikan sengketa bisnis mereka.

IMF melihat soal utang piutang ini sebagai masalah serius. Kalau tak ada jaminan utang akan dibayar, mana ada investor asing yang mau masuk. IMF berpandangan UUK harus difungsikan lagi. Maka keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/1998 yang merevisi UUK. Dari sekian materi baru yang ditambahkan ke dalam UUK salah satunya adalah pembenahan pengadilan. Maka, dibentuklah Pengadilan Niaga yang merupakan bagian dari Pengadilan Negeri. Diresmikan 20 Agustus lalu, satu-satunya Pengadilan Niaga saat ini adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ini tentu bukan sekedar nama. Para hakimnya telah dilatih khusus mengenai kepailitan. Hakim ad hoc juga dimungkinkan ada.

UUK pasca-perpu mengatur jadwal yang ketat. Patokannya hari, bahkan jam. Misalnya, Pengadilan Niaga sudah harus mempelajari permohonan kepailitan dalam waktu tak lebih dari 2 x 24 jam; menetapkan hari sidang dalam waktu paling lambat 30 hari sejak permohonan didaftarkan. Debitor dan pihak-pihak lain mesti dipanggil paling lambat tujuh hari sebelum sidang. Putusan kepailitan sendiri harus telah diambil paling lambat 30 hari sejak permohonan didaftarkan. Fantastik ! Namun karena Pengadilan Niaga baru ada di Jakarta Pusat, bagaimana kalau debitor yang akan dipailitkan berada nun di Jayapura? Banyak pihak mengakui hal ini sebagai potensi kelemahan pelaksanaan UUK. Mereka berharap peraturan pelaksanaan mengatasi hal ini segera keluar.

Sebetulnya, UUK mengisyaratkan utang-piutang adalah urusan yang tidak rumit, sehingga pembuktiannya pun sederhana. "Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana," kata salah satu pasalnya. Kesederhanaan proses juga ditunjukkan dengan dipotongnya satu upaya hukum yang sudah dikenal: banding ke Pengadilan Tinggi. Jadi, kalau putusan pailit tak diterima, debitor langsung kasasi ke Mahkamah Agung.

Perubahan lain adalah dibolehkannya pihak swasta menjadi kurator. Dulu yang jadi kurator hanya Balai Harta Peninggalan. Ide pembiakan profesi ini untuk mengantisipasi banyaknya pihak yang bakal pailit.

Betapapun, UUK hanyalah satu kendaraan saja. Masih ada kendaraan lain, semisal INDRA, khusus untuk melayani utang luar negeri serta Prakarsa Jakarta yang memfokuskan pada upaya restrukturisasi usaha debitor. Tentang yang terakhir ini, Menko Ginanjar Kartasasmita baru-baru ini menyatakan, kehadiran Prakarsa Jakarta disebabkan INDRA dan UUK belum mencapai sasaran (Bisnis Indonesia, 11 September 1998). Sebetulnya, dalam UUK sendiri ada instrumen perdamaian melalui permohonan penundaan pembayaran oleh debitor.

Hingga saat ini baru lima permohonan pailit yang sudah diajukan. Ini di luar dugaan, sebab deru mempailitkan debitor sebelum ini terdengar sangat keras. Sementara itu kurator swasta yang mendaftar ke Departemen Kehakiman baru beberapa, padahal yang telah sukses mengikuti pelatihan kurator lebih dari 50 orang.

Kesan umum adalah para pelaku bisnis seperti sedang memilih-milih, mau naik kendaraan yang mana. Yang perlu diingat adalah, kendaraan kepailitan punya tenaga yang lebih. Maklum, dasarnya undang-undang. Kalau ini yang dipakai, implikasinya cukup luas. Berbagai skema bisnis yang sudah ada mungkin saja akan ditinjau kembali oleh kurator. Sebab, si pailit tak berkuasa lagi atas asetnya, yang oleh kurator akan digunakan untuk memuaskan semua kreditor konkuren.

Yang tak kalah penting adalah kondisi ekonomi makro. Dalam keadaan normal, si pailit (termasuk karyawannya) akan tidak terlalu sulit berkiprah lagi melalui mekanisme pertumbuhan ekonomi. Tapi, bagaimanapun, orang kudu awas dan membayar utangnya.

A. Zen Umar Purba
Teman serikat (partner) pada kantor hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum