Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Era reformasi membawa kebutuhan atau tuntutan baru bagi budaya komunikasi bangsa kita. Di dalamnya termasuk perubahan sistem hukum media massa. Era reformasi menawarkan pilihan yang luas tentang penentuan undang-undang media massa, khususnya undang-undang pers.
Era refrormasi menuntut ditegakkannya kembali kebebasan pers yang pernah "lenyap" selama puluhan tahun di bawah dua macam rezim yang menerapkan sistem pers otoriter.
Makna kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan pers tanpa izin terbit, tanpa sensor, tanpa pembredelan dan tindakan sejenisnya; namun harus tunduk kepada pembatasan berupa kaidah dan akibat hukum yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan yang bersifat bebas dan tidak memihak.
Konsep kebebasan pers tersebut menyiratkan perlunya keseimbangan antara kebebasan dan kontrol oleh masyarakat dan negara. Sebab, tanpa kontrol terhadap kebebasan pers, mudah terjadi pelanggaran terhadap hak kebebasan pihak lain.
Para pakar terkemuka di bidang komunikasi, khususnya filsafat tentang hak asasi komunikasi dan informasi, telah lama mencanangkan sebuah adagium bahwa kebebasan komunikasi haruslah dibarengi dengan kewajiban yang sepadan dalam menikmati kebebasan itu (freedom carries concomitant obligation).
Pada hakikatnya, konsep kebebasan media massa tak hanya kebebasan dari tindakan pencekalan atau pemasungan penguasa (freedom from), melainkan juga kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat. Artinya, kebebasan pers adalah demi kebebasan publik untuk memperoleh informasi yang diperlukannya (freedom for).
Pengertian lain yang biasa digunakan ialah hak masyarakat untuk mengetahui kejadian-kejadian yang diperlukannya. Jika media massa hanya mementingkan "freedom from??, media massa menciptakan kebebasan yang negatif, yakni leluasa membohongi masyarakat dengan berita yang tidak benar.
Hampir setengah abad lalu (1950) William E. Hocking, anggota Komisi Kebebasan Pers Amerika, telah menekankan bahwa kini sudah tiba saatnya media massa memikul kewajiban baru, yakni berkata jujur. Sebab, ketergantungan informasi masyarakat pada media massa kian besar.
Lebih lagi saat ini kita memasuki era baru budaya komunikasi yang dikenal dengan nama dunia maya informasi, information superhigway atau cyberspace. Maka, bernarlah kata beberapa pakar ilmu komunikasi dan pakar hukum media Barat bahwa sebetulnya perkembangan komunikasi massa menjelang milenium ketiga kini adalah produk (kemajuan) teknologi komunikasi dan hukum.
Kenapa? Sebab, keberadaan teknologi tidaklah pada ruang kosong. Teknologi pasti beroperasi dalam masyarakat atau negara yang dikuasai oleh hukum positif meskipun tidak semua saluran komunikasi dapat dikontrol oleh hukum, misalnya cyberspace.
Namun, komunikasi massa tak mungkin dibebani semua tanggung jawab untuk menyebarluaskan kebenaran. Media massa hanya mungkin menyampaikan banyak hal tentang kebenaran sehingga masyarakat mengetahui berbagai masalah yang terjadi di sekelilingnya. Dari sekian banyak suara lewat pers setiap hari tentu ada informasi yang tidak menyenangkan atau tidak sehat bagi warga masyarakat, termasuk para pejabat. Tapi, negara tidak berhak melakukan restriksi lewat penggunaan kekuasaan politik terhadp informasi yang dinilai tidak sehat.
Jika negara melakukan hal itu, akan terjadi tekanan terhadap kebebasan pers dalam melaksanakan fungsi kontrol dan kritik yang dijamin oleh konstitusi. Berarti, kekuasaan negara terlampau besar sedangkan masyarakat terlalu lemah. Demokrasi dipaksa memakai model top-down. Itulah yang membawa TEMPO terkubur hidup-hidup karena ingin melaksanakan demokrasi yang bottom-up. Kini gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa sedang menghidupkan demokrasi bottom-up.
Pemerintah "baru" di bawah presiden peralihan B.J. Habibie tak perlu gusar terhadap banyaknya sorotan pers (hujatan) terhadap mantan presiden Soeharto. Prinsip negara demokrasi dan tuntutan era reformasi memang mestinya membiarkan masyarakat ramai menjadi sasaran tembak beragam informasi dan opini (barrage).
Beberapa di antara informasi dan opini itu mungkin tak benar, yang lainnya benar dan setengah benar. Masyarakat sendiri yang akan mencerna dan memilah-milahnya lalu akan muncul kebenaran. Pemunculan kebenaran yang bersifat otomatis itu terjadi lewat pertemuan sekian banyak informasi dan opini (open market place of idea). Itulah hakikat demokrasi yang murni. Itu pula tuntuan era reformasi.
Semangat itulah--semangat reformasi--yang mestinya menjiwai Undang Undang Pers yang baru. Undang undang pascabudaya komunikasi otoriter mestinya menjadikan pers sebagai salah satu pelaksana reformasi.
A. Muis
Pengamat pers dan guru besar Universitas Hasanudin Ujungpandang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo