Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank sebagai perusahaan yang bekerja dengan dana yang sebagian besar milik masyarakat diharuskan bekerja dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian ini telah merupakan asas yang berlaku secara universal sebagaimana diinginkan oleh Bank for International Settlements (BIS). Bagi perbankan Indonesia, prinsip kehati-hatian itu ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Prinsip kehati-hatian itu dalam operasionalisasinya dijabarkan dalam berbagai rambu kesehatan bank, antara lain berupa ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit (BMPK).
Dengan ketentuan BMPK, bank dibatasi dalam jumlah kredit yang boleh diberikan kepada nasabah debiturnya. Batasannya berupa persentase tertentu dari modal bank yang bersangkutan. Ketentuan mengenai BMPK yang ditetapkan oleh UU Perbankan dalam Pasal 11 ayat 2, BMPK tidak boleh melebihi 30 persen dari modal bank apabila kredit itu diberikan bukan kepada pihak yang terkait dengan bank itu. Sedangkan apabila kredit diberikan kepada pihak yang terkait dengan bank itu, Pasal 11 ayat 4 menetapkan BMPK tidak boleh melebihi 10 persen dari modal bank. Yang dimaksudkan dengan pihak yang terkait dengan bank itu adalah pemegang saham yang memiliki 10 persen atau lebih dari modal setor bank, anggota dewan komisaris, dan anggota dewan direksi. Keluarga dari pemegang saham, dari anggota dewan komisaris, dan dari anggota dewan direksi dianggap sebagai pihak yang terkait pula dengan bank itu. Di samping itu, pejabat bank lainnya dan perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan mereka yang telah disebutkan terdahulu termasuk pula sebagai pihak yang terkait.
Pelaksanaan ketentuan BMPK dalam UU Perbankan itu diatur dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/21/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993. Menurut SK Dir. BI tersebut, BMPK bagi suatu kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah 20 persen dari modal bank. Sedangkan BMPK bagi pihak yang terkait dengan bank, baik untuk satu peminjam maupun keseluruhan, setinggi-tingginya 10 persen dari modal bank.
Dalam pemberitahuan pers dapat diketahui bahwa banyak bank telah melakukan pelanggaran BMPK. Beberapa pengurus bank telah diperiksa oleh pihak kepolisian dan di antara mereka bahkan ada pula yang telah sempat beberapa lama ditahan oleh kepolisian. Apakah pelanggaran BMPK merupakan tindak pidana? Pelanggaran BMPK memang merupakan tindak pidana apabila pelanggaran itu dilakukan dengan sengaja sebagaimana hal itu dicantumkan dalam Pasal 49 ayat 2 huruf b dari UU Perbankan. Pidananya adalah penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 6 miliar.
Dari ketentuan Pasal 49 ayat 2 huruf b tersebut dapat diketahui bahwa hanya pelanggaran BMPK yang dilakukan dengan sengaja yang dapat diancam dengan pidana. Pelanggaran BMPK yang terjadi akhir-akhir ini tidak semuanya dilakukan dengan sengaja. Dengan kata lain, ketentuan BMPK itu telah terlanggar, bukan dilanggar dengan sengaja. Pelanggaran BMPK yang bukan merupakan tindak pidana dapat terjadi karena beberapa contoh di bawah ini.
Contoh pertama dapat digambarkan berikut ini. Bank yang telah memberikan pinjaman dalam valuta asing akan dapat mengalami pelanggaran BMPK sebagai akibat terjadinya depresiasi rupiah yang berlipat ganda. Sekalipun jumlah pinjaman tidak berubah dalam nilai valuta asingnya, karena pembukuan bank harus dilakukan dalam mata uang rupiah, nilai pinjaman dalam rupiah menjadi menggelembung sebagai akibat depresiasi rupiah itu. Mengingat dasar penetapan BMPK adalah nilai pinjaman dibandingkan dengan modal bank, jelas BMPK menjadi terlanggar karena di satu pihak jumlah kredit membesar, sedangkan modal bank tidak berubah jumlahnya. Untuk kejadian seperti ini, pelanggaran BMPK bukanlah tindak pidana karena hal tersebut terjadi bukan dengan sengaja.
Terlanggarnya ketentuan BMPK juga dapat terjadi sebagai akibat modal bank menurun. Sebagai akibat bank harus membayar bunga deposito yang sangat tinggi, sedangkan di pihak lain kredit bank yang bermasalah, yaitu tidak dibayar bunganya sebagai akibat sektor riil terpuruk karena krisis moneter, bank mengalamai negative spread. Akibatnya, bank mengalami kerugian yang besar dan selanjutnya kerugian itu terpaksa diperhitungkan dengan modal bank. Selain itu, sebagai akibat kredit bank banyak yang bermasalah, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, bank tersebut harus menyediakan cadangan bagi kredit-kredit yang bermasalah itu, yang harus disisihkan dari pendapatan bank. Hal ini mengakibatkan pula makin besarnya kerugian bank dan selanjutnya tentu akan makin mengurangi besarnya modal bank. Banyak bank yang akhirnya modalnya menjadi negatif. Karena berkurangnya modal bank itu, tidak dapat dielakkan lagi ketentuan BMPK menjadi terlanggar. Dalam kasus yang seperti ini, pelanggaran BMPK juga bukan merupakan tindak pidana.
Sutan Remy Sjahdeini
Guru Besar Hukum Perbankan Universitas Airlangga, Anggota Tim Pakar Hukum Depkeh, Presiden Banking Reform & Reconstruction Corporation (BRRC), dan Chairman Law Offices Remy & Darus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo