Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kembalinya Kuda Liar

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARUS modal jangka pendek akan kembali memakan korban. Sekarang, sasarannya adalah Brasil dan negara Amerika Latin lainnya. Rontoknya Rusia telah membawa ketakutan yang luar biasa bagi para pemodal, sehingga para pemodal keluar dari Rusia dan Amerika Latin secara hampir bersamaan. Akibatnya, indeks Bovespa Sao Paulo anjlok 42 persen hanya dalam tempo dua bulan. Dalam kurun waktu yang sama, indeks Merval Argentina turun 41 persen. Di banyak negara Amerika Latin lainnya, keadaannya mirip.

Pukulan telak yang dialami Brasil (negara dengan 45 persen PDB Amerika Latin, dan PDB-nya konon menduduki peringkat kesembilan dunia), masih berlanjut dengan turunnya cadangan devisa. Selama dua bulan, cadangan devisa mereka telah terkuras sebanyak US$ 30 miliar, dan kini masih terus berkurang dengan laju US$ 500 juta per hari. Kalaupun akhirnya Brasil harus mendevaluasi mata uangnya, akibatnya akan cukup fatal: dampak domestiknya adalah lonjakan inflasi serta angka pengangguran; dampak internasional dari "goyangan samba" ini adalah lemahnya dengkul negara Amerika Latin lainnya. Sepertiga ekspor Argentina, misalnya, adalah ke Brasil. Kolapsnya Brasil dipastikan akan membawa seluruh Amerika Latin kembali ke era the lost decade tahun 80-an yang penuh dengan resesi dan hiperinflasi.

Jika Amerika Latin terkena resesi, Amerika Serikat pun akan kehilangan 20 persen pasar ekspornya. Ditambah dengan hilangnya pasaran mereka di Asia dan masuknya barang supermurah dari berbagai penjuru dunia, maka Amerika Serikat pun pasti sakit. Rontoknya Amerika Latin, dengan demikian, menjadi bagian dari krisis global.

Krisis Asia kini telah menjalar ke seluruh dunia. Ini direfleksikan oleh mulai bertumbangannya indeks saham negara maju semenjak krisis Rusia meledak. Dow Jones, misalnya, kini telah jatuh 16 persen dibandingkan dengan posisinya pada 17 Juli (saat Amerika Latin mulai diserang). FTSE-100 Inggris dan DAX Jerman (seperti halnya bursa Eropa lainnya) jatuh lebih dari 15 persen. Dalam kondisi global seperti ini, ada dua jawaban yang dapat diberikan.

Jawaban pertama, dan bersifat jangka pendek, adalah stimulasi ekonomi G7 melalui penurunan suku bunga. Sayangnya, skenario ini dihambat dua hal. Pertama, keengganan Inggris dan Jerman untuk memotong suku bunga yang sudah dianggap rendah. Pergerakan sedikit dari suku bunga mungkin juga dianggap akan menggoyahkan sendi konstruksi EMU, sementara Eropa sedang berkonsentrasi meluncurkan Euro. Kedua, ekonomi Jepang tidak memerlukan penurunan suku bunga, melainkan restrukturisasi sektor finansial. Padahal, ini sulit terlaksana karena belum adanya konsensus di dalam negeri.

Jawaban kedua, yang bersifat global, adalah restrukturisasi sistem keuangan internasional. Termasuk dalam kategori ini adalah usulan untuk merombak peran IMF dan Bank Dunia. Selain itu, dibicarakan juga pengaturan arus modal jangka pendek (termasuk pengenaan instrumen sejenis Tobin Tax). Usul yang didukung Perancis (dan mungkin Amerika Serikat) ini ditolak oleh Jerman.

Gagalnya inisiatif global ini seharusnya membuat kita semakin waspada. Memburamnya prospek ekonomi dunia (dan meningkat tajamnya country dan economic risks dari emerging market) diperkirakan bakal membuat aliran dana ke negara berkembang menjadi macet. Data terbaru dari Institute for International Finance menunjukkan bahwa aliran dana swasta ke emerging markets terus menunjukkan penurunan. Jika tahun 1996 dana tersebut mencapai USD308 milyar. Tahun 1998 ini, angka tersebut akan kembali turun menjadi hanya USD158 milyar, dan nampaknya kondisi tidak akan membaik pada tahun 1999. Untuk negara mantan macan Asia (Korsel, Indonesia, Thailand, dan Filipina), angkanya lebih gawat. Tahun 1996, ada capitol inflow sebesar USD94 milyar. Tahun 1997, diperkirakan sebesar USD 24,6 milyar. Tahun 1999, masih akan terjadi outflow sebesar USD15 milyar. Nah, peta gerakan kuda liar ini seharusnya membangunkan para pembuat kebijaksanaan, pengamat, dan teoritisi ekonomi yang masih mengharapkan kembalinya si kuda liar. Implikasi jelas dari gambaran ini ada tiga.

Pertama, sentimen negatif buat emerging markets tidaklah cukup diatasi hanya dengan menaikkan sukubunga. Malah sukubunga tinggi sudah (dan akan terus) menjadi masalah dan bukan penyelesaian.

Kedua, pelaku bisnis di Indonesia untuk tidak terlalu berharap pada masuknya aliran dana segar untuk merekapitalisasi perusahaan yang sekarang sedang sekarat. Masalah rekapitalisasi ini membawa kita kepada problem yang lebih fundamental. Dari sudut ekonomi, rekapitalisasi yang bersandar pada kekuatan domestik memerlukan penyaluran kredit bank berbunga ‘’rendah’’ yang saat ini sedang seret. Bukan saja debitur, pihak perbankan pun sebagai kreditur memerlukan bunga yang rendah agar usahanya bisa jalan. Namun jika memang pelonggaran moneter (dan penurunan suku bunga) yang dituju, maka dengan melihat fluktuasi keuangan global, ipso facto, kita harus menerima adanya kontrol devisa yang selektif agar penurunan bunga tidaklah disertai pelemahan kurs.

Problem sosial-politik yang menghadang rekapitalisasi juga harus diselesaikan. Masih ada kekuatan domestik kita yang memarkir asetnya di luar negeri dengan sejumlah alasan sosial-politik. Dana tersebut dapat kembali jika tercipta prospek kestabilan sosial-politik yang menjamin perlakuan adil terhadap seluruh elemen bangsa ini menjamin perlakuan adil terhadap seluruh elemen bangsa ini.

Ketiga, sekuens dari kedua hal di atas bahwa Indonesia harus secara serius berhitung untuk menggunakan kekuatan ekonomi domestik dalam membangun ekonomi pasca-krisis. Tapi ini membutuhkan syarat penting: penyelesaian masalah ekonomi, sosial, dan politik melalui rekonsiliasi nasiosnal. Ini hanya bisa efektif bila dipelopori oleh pemerintah kredibel yang didukung rakyat lewat pemilu yang luber dan jurdil.

Martin Panggabean dan Adrian Panggabean
Penulis adalah Ekonom pada Lippo Securities dan United Nations Development Programme (UNDP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum