SEBAGAI santapan berbuka semester maka mahasiswa saya dari Jawa
Timur menghadiahi saya suatu majalah "wadah aspirasi civitas
academica". Satu aspirasinya berkobar dalam tajuk karangan yang
berkepala BUKU, MAHAI, dengan huruf-huruf besar. Sudah saya
sangka yang dimaksud ialah lagi-lagi harganya yang mahal, bukan
isinya. Memang koran-koran para maha-terpelajar di Indonesia
tidak pernah memamerkan kegemaran menulis tentang buku-buku yang
isinya mahal. Buku itu selalu barang dagangan dan karena
harganya selalu dikatakan mahal oleh para siswa-hebat kita maka
saya juga tidak pernah mengerti. Soalnya menurut saya buku itu
murah saja. Sembari menunjuk kepada rokok jisamsu yang berkepul
di mulut magnificent-student harapan bangsa itu saya
menghitung. "Harga buku sama dengan sepuluh bungkus paku kijing
yang kau bakar saban bulan itu. "Habis bagaimana katanya. Kalau
tidak merokok tidak bisa mikir dan tidak bisa belajar. Tapi
kalau tidak beli buku masih bisa naik kelas dan jadi sarjana.
Arti 'sarjana' dalam bahasa Kawi itu kan super-maha-cendekiawan.
Jadi artinya bukan kutu-buku.
Jean dan Kamus
Lalu jari telunjuk saya menukik ke arah celana belelnya yang
pakai cap john wayne: "Itu jauh lebih mahal dari kamus bahasa
asing yang super-tebal. Mana kamusmu Nggak punya. Terlalu mahal
katanya rugi pula kami kaum super-pelajar sedang menuntut kepada
bapak meteri supaya semua buku asing diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia selekas mungkin. Jadi apa perlunya punya kamus
asing". Kita toh bukan bahasa asing". Kita toh bangsa
Indonesia yang punya bahasa sendiri" katanya dengan semangat
patriot yang berkobar-kobar.
Maka saya tepuk tangan lalu bertanya: "Mana kamus bahasa
Indonesiamu?" Dia mengerang sambil mengeluh tentang harga mahal
lagi sehingga dia tak mampu membeli kamus Indonesia sekalipun
sehingga bahasanya sekarang jadi kacau balau sehingga
sekarang dia sedang memikirkan suatu
gerakan-anti-bahasa-kacau untuk menuntut penurunan harga buku
kepada bapak menteri.
Perbincangan berlanjut dan saya usul supaya deretan kaset musik
tanjidarderdor di meja siswa-yang-maha itu diganti saja dengan
deretan buku. Wah susah. Tanpa hiburan "The Dor-darder's " mana
bisa belajar? Hidup itu perlu hiburan jangan belajuaar saja.
Perlu rikek. Keplok-keplok kcplok saya tepuk tangan lagi.
Lalu mata saya melayang ke botol-botol kecintaan very
great-student kita. Kata saya, buku itu sama murahnya
dengan botol-botol minyak wangi buat rambut dan buat cukur dan
buat kelek dan buat pundak, buat dada, bua tangan, buat kaki
dan buat indehoy. Tapi kita toh bukan bahasa primitif dan badan
kita toh tidak boleh bau busuk? Mana siswa-seper bisa belajar
kalau badannya tidak wangi? Super-nalar-mek.
Beralih dari botol minyak dan bedak wangi saya lalu menunjuk
kepada sepeda motor mana pelajar kita. Itu sama murahnya dengan
seratus buku kata saya belum terhitung biaya bensin setiap bukan
yang sama murahnya dengan satu buku tebal. Tapi itu sih bapak
saya yang belikan! Jual saja, kata saya, dan ganti dengan buku.
Habis bagaimana nanti pergi kuliah? Jalan kaki saja, tuan muda.
Wah, terlalu jauh. Naik sepeda saja. Wah, terlalu capek. Naik
oplet saja. Wah, terlahl sesal. Bahkan dia sudah mimpi punya
mobil yang sudall dimiliki beberapa temannya yang juga tidak
punya uang buat beli buku. Maka jelaslah bahwa buku itu sangat
murah. Tidak. "Cukup mahal untuk terjangkau oleh orang
kebanyakan," kata aspirasi yang berkobar itu. Tapi kebanyakan
mengisap king filter dan bersolek dengan minyak wangi charles
bronson dan celana belel john wayne. Jadi murah. Apalagi buat
yang punya sepeda motor dan mobil. Bukunya teltunya buanyaak
sekali sebab dianggapnya muraah sekali. Silakan periksa di kamar
mereka.
Perlengkapan Darurat
Kata sang aspiran, mahalnya buku menyangkut minat baca
masyarakat. Buku mahal, minat baca rendah. Inipun tidak pernah
saya mengerti. Soalnya, minat merokok dan bersolek dan
berajojing dan bersepeda motor dan bermobil balap dan bercelana
belel begitu tinggi dan bergairah, padahal biayanya tinggi
sekali. Bahkan minat masuk universitas itu begitu nekad
sehingga orang tak ragu bayar sejuta asal bisa masuk. Nanti
kalau sudah masuk tiba-tiba ngaku tidak punya uang buat beli
buku.
Karena buku itu mahal, katanya, maka pelajar-agung itu terpaksa
"mengarahkan sasarannya ke perpustakaan yang ada." Lantas kalau
bukan murah, sasaran murid-luar-biasa itu mau diarahkan ke mana?
Perustakaan Universitas itu rupanya sekedar perlengkapan
darurat buat rakyat melarat. Itulah barangkali sebabnya john
wayne dan Charles Bronson dan kawasaki dan dunhill jarang masuk
perpustakaan. Kita semua juga tahu ada banyak sarjana yang tidak
pernah buka-buka ensiklopedi yang berderet panjang di
universitasnya, bahkan ada yang bertanya kepada saya
ensiklopedi itu apa. Saya jawab cari dalam kamus. Dia jawab,
kamus nggak punya. Saya jawab. Pakai kamus di perpustakaan.
Dia tanya: "Pakainya gimana". . . Kalau anda tidak percaya,
silahkan mentes sembarang super-siswa buka kamus cari kata.
Tak usah pakai stopwach. Pakai arloji biasa saja.
Merintihlah lagi sang civitas academika kita: "Jumlah buku yang
ada belum memenuhi kebutuhan. Buku-buku wajib, atau buku-buku
yang baik jumlahnya hanya sedikit, sehingga untuk membacanya
berebut atau antri."
Memang sangat mengharukan cerita duka nestapa ini. Buku baik
cuma sedikit. Artinya sebagian besar buku di universitas itu
jelek-jelek semua. Yang membangun perpustakaan ini rupanya
dinilai bloon. Dia tidak mau mengerti bahwa bacaan yang tidak
wajib itu bacaan yang tidak ada gunanya sebab tidak bakal
dibaca. Akibat pembelian yang "sia-sia" itu mmaka buku-buku
jelek itu dibiarkan "menumpuk di gudang" saja. Baiknya dijual
kiloan saja.
Kalau mengenai soal rebutan dan antri buku, tulisan tidak
memberi tahukan kapan ini terjadi. Pada awal semester, pada
buntut semester, atau sepanjang semester. Tapi ini gampang
diperiksa, Silahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini