Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bacaan maha-pelajar

Mahasiswa selalu mendengungkan harga buku mahal, tapi dibalik itu mereka sanggup membeli pakaian, kosmetik atau kendaraan yang lebih mahal harganya dari pada buku. perpustakaan pun hanya pelengkap saja.

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI santapan berbuka semester maka mahasiswa saya dari Jawa Timur menghadiahi saya suatu majalah "wadah aspirasi civitas academica". Satu aspirasinya berkobar dalam tajuk karangan yang berkepala BUKU, MAHAI, dengan huruf-huruf besar. Sudah saya sangka yang dimaksud ialah lagi-lagi harganya yang mahal, bukan isinya. Memang koran-koran para maha-terpelajar di Indonesia tidak pernah memamerkan kegemaran menulis tentang buku-buku yang isinya mahal. Buku itu selalu barang dagangan dan karena harganya selalu dikatakan mahal oleh para siswa-hebat kita maka saya juga tidak pernah mengerti. Soalnya menurut saya buku itu murah saja. Sembari menunjuk kepada rokok jisamsu yang berkepul di mulut magnificent-student harapan bangsa itu saya menghitung. "Harga buku sama dengan sepuluh bungkus paku kijing yang kau bakar saban bulan itu. "Habis bagaimana katanya. Kalau tidak merokok tidak bisa mikir dan tidak bisa belajar. Tapi kalau tidak beli buku masih bisa naik kelas dan jadi sarjana. Arti 'sarjana' dalam bahasa Kawi itu kan super-maha-cendekiawan. Jadi artinya bukan kutu-buku. Jean dan Kamus Lalu jari telunjuk saya menukik ke arah celana belelnya yang pakai cap john wayne: "Itu jauh lebih mahal dari kamus bahasa asing yang super-tebal. Mana kamusmu Nggak punya. Terlalu mahal katanya rugi pula kami kaum super-pelajar sedang menuntut kepada bapak meteri supaya semua buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia selekas mungkin. Jadi apa perlunya punya kamus asing". Kita toh bukan bahasa asing". Kita toh bangsa Indonesia yang punya bahasa sendiri" katanya dengan semangat patriot yang berkobar-kobar. Maka saya tepuk tangan lalu bertanya: "Mana kamus bahasa Indonesiamu?" Dia mengerang sambil mengeluh tentang harga mahal lagi sehingga dia tak mampu membeli kamus Indonesia sekalipun sehingga bahasanya sekarang jadi kacau balau sehingga sekarang dia sedang memikirkan suatu gerakan-anti-bahasa-kacau untuk menuntut penurunan harga buku kepada bapak menteri. Perbincangan berlanjut dan saya usul supaya deretan kaset musik tanjidarderdor di meja siswa-yang-maha itu diganti saja dengan deretan buku. Wah susah. Tanpa hiburan "The Dor-darder's " mana bisa belajar? Hidup itu perlu hiburan jangan belajuaar saja. Perlu rikek. Keplok-keplok kcplok saya tepuk tangan lagi. Lalu mata saya melayang ke botol-botol kecintaan very great-student kita. Kata saya, buku itu sama murahnya dengan botol-botol minyak wangi buat rambut dan buat cukur dan buat kelek dan buat pundak, buat dada, bua tangan, buat kaki dan buat indehoy. Tapi kita toh bukan bahasa primitif dan badan kita toh tidak boleh bau busuk? Mana siswa-seper bisa belajar kalau badannya tidak wangi? Super-nalar-mek. Beralih dari botol minyak dan bedak wangi saya lalu menunjuk kepada sepeda motor mana pelajar kita. Itu sama murahnya dengan seratus buku kata saya belum terhitung biaya bensin setiap bukan yang sama murahnya dengan satu buku tebal. Tapi itu sih bapak saya yang belikan! Jual saja, kata saya, dan ganti dengan buku. Habis bagaimana nanti pergi kuliah? Jalan kaki saja, tuan muda. Wah, terlalu jauh. Naik sepeda saja. Wah, terlalu capek. Naik oplet saja. Wah, terlahl sesal. Bahkan dia sudah mimpi punya mobil yang sudall dimiliki beberapa temannya yang juga tidak punya uang buat beli buku. Maka jelaslah bahwa buku itu sangat murah. Tidak. "Cukup mahal untuk terjangkau oleh orang kebanyakan," kata aspirasi yang berkobar itu. Tapi kebanyakan mengisap king filter dan bersolek dengan minyak wangi charles bronson dan celana belel john wayne. Jadi murah. Apalagi buat yang punya sepeda motor dan mobil. Bukunya teltunya buanyaak sekali sebab dianggapnya muraah sekali. Silakan periksa di kamar mereka. Perlengkapan Darurat Kata sang aspiran, mahalnya buku menyangkut minat baca masyarakat. Buku mahal, minat baca rendah. Inipun tidak pernah saya mengerti. Soalnya, minat merokok dan bersolek dan berajojing dan bersepeda motor dan bermobil balap dan bercelana belel begitu tinggi dan bergairah, padahal biayanya tinggi sekali. Bahkan minat masuk universitas itu begitu nekad sehingga orang tak ragu bayar sejuta asal bisa masuk. Nanti kalau sudah masuk tiba-tiba ngaku tidak punya uang buat beli buku. Karena buku itu mahal, katanya, maka pelajar-agung itu terpaksa "mengarahkan sasarannya ke perpustakaan yang ada." Lantas kalau bukan murah, sasaran murid-luar-biasa itu mau diarahkan ke mana? Perustakaan Universitas itu rupanya sekedar perlengkapan darurat buat rakyat melarat. Itulah barangkali sebabnya john wayne dan Charles Bronson dan kawasaki dan dunhill jarang masuk perpustakaan. Kita semua juga tahu ada banyak sarjana yang tidak pernah buka-buka ensiklopedi yang berderet panjang di universitasnya, bahkan ada yang bertanya kepada saya ensiklopedi itu apa. Saya jawab cari dalam kamus. Dia jawab, kamus nggak punya. Saya jawab. Pakai kamus di perpustakaan. Dia tanya: "Pakainya gimana". . . Kalau anda tidak percaya, silahkan mentes sembarang super-siswa buka kamus cari kata. Tak usah pakai stopwach. Pakai arloji biasa saja. Merintihlah lagi sang civitas academika kita: "Jumlah buku yang ada belum memenuhi kebutuhan. Buku-buku wajib, atau buku-buku yang baik jumlahnya hanya sedikit, sehingga untuk membacanya berebut atau antri." Memang sangat mengharukan cerita duka nestapa ini. Buku baik cuma sedikit. Artinya sebagian besar buku di universitas itu jelek-jelek semua. Yang membangun perpustakaan ini rupanya dinilai bloon. Dia tidak mau mengerti bahwa bacaan yang tidak wajib itu bacaan yang tidak ada gunanya sebab tidak bakal dibaca. Akibat pembelian yang "sia-sia" itu mmaka buku-buku jelek itu dibiarkan "menumpuk di gudang" saja. Baiknya dijual kiloan saja. Kalau mengenai soal rebutan dan antri buku, tulisan tidak memberi tahukan kapan ini terjadi. Pada awal semester, pada buntut semester, atau sepanjang semester. Tapi ini gampang diperiksa, Silahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus