SUBUH, 17 Juli 1977. Para nelayan desa Penggarang di pantai
muara Selat Johore, seberang menyeberang dengan Changi-point,
Singapura, agak curiga melihat gerak-gerik sekelompok orang di
sekitar sebuah perahu kayu. Perahu itu berukuran sedang, 10 x
21/meter, tanpa nama, nomor dan bendera pengenal apapun.
Awaknya, sembilan pemuda kekar, tampak sibuk: mengangkat dan
menurunkan puluhan karung. Karung-karung tersebut tampaknya
berat -- kelihatan waktu dipanggul turun.
Para nelayan di sana, yang menyaksikan peristiwa ini, segera
tahu apa yang harus mereka perbuat. Mereka segera
melaporkannya. ke pos polisi terdekat. Dari pos polisi ini
laporan cepat meningkat sampai ke meja markas besar mereka di
Johore Baru. Kontak kilat dengan pihak duane langsung
menghasilkan suatu operasi bersama. Seregu anggota duane turun
ke pantai di bawah pimpinan Wakil Kepala Boon Oen Law. Sedang
barisan polisi dikomandoi oleh Inspektur Kepala, perwira
berbintang tiga, bernama W. Ladin.
Operasi antl penyelundupan ini bergerak cepat. Penyergapan
terhadap sekelompok penyelundup di pantai Johore dilakukan
dengan lancar. Tanpa perlawanan sedikit pun, seluruh awak kapal
gelap itu menyerah berikut bukti kejahatan mereka: 150 karung
pasir timah hitam. Nilainya, dari seluruh berat 130 pikul,
sekitar M$ 43.500. Perahu, juga sebagai barang bukti, diseret ke
Johore Baru. Sedang semua tersangka disekap di penjara Kota
Tinggi.
Pengadilan, hingga berita ini turun, sudah tiga kali bersidang.
Tak banyak yang diungkapkan, kecuali seperti biasa: penyelundup
itu berasal dari Bangka. Mereka pemuda Buton -- pelaut-pelaut
muda yang tangguh. Dari Bangka, menyeberangi Laut Cina Selatan,
mereka berlayar dengan perahu kayu tanpa kompas. Angin ribut dan
ombak besar membuat kelompok ini berlayar tanpa air tawar.
Rupanya pipa air mereka bocor. Ransum makanan mereka juga ikut
tertelan ombak. Setelah terombang-ambing beberapa hari, karena
layar yang koyak tak berguna lagi, akhirnya mereka mendarat di
pantai Johore. Pantai Barat Malaysia ini meman pemberhentian
yang biasa, semacam transit, sebelum sampai ke pelabuhan tujuan
di Singapura.
Lada & Kretek
Pemimpin kelompok seorang pemuda berumur 19 tahun. Ia, Gua,
berasal dari Kampung Meleseh (Bangka). Kepada polisi mereka
hanya menyatakan: hanya menerima perintah untuk mengangkut saja.
Tukang tadahnya di Singapura, katanya, sebuah perusahaan di
Liang Siah Str. Rantai sindikatnya juga terungkap: sebuah
perusahaan di Johore Baru sendiri.
Keputusan pengadilan masih ditunggu. Khalayak cukup berminat
mengikuti sidang pengadilan penyelundupan ini. Gedung pengadilan
di Kota Tinggi yang tidak begitu besar dipadati penonton.
Penyelundupan bijih timah ke Singapura, baik yang berasal dari
Malaysia maupun dari Indonesia, sebenarnya bukan berita baru.
Bagi kedua negara ini, menindak penyelundupan semacam itu sudah
merupakan kerja rutin sejak bertahun-tahun yang lalu. Tidak
hanya komoditi timah yang diselundupkan orang ke bandar
Singapura. Mulai dari lada putih, karet sampai rokok keretek
Gudang Garam, diantar-negarakan dengan cara gelap. Pihak
Malaysia pernah mengumumkan: kerugian mereka, dari akibat
lolosnya cukai saja. sekitar M$ 20 juta tahun lalu. Belum lagi
jika barang itu sepenting bijih timah yang sudah terang
merupakan barang curian milik negara.
Kerugian Indonesia juga lumayan. Sumber PT Timah menyatakan: ada
sekitar 1000 ton bijih timah negara yang masuk pasaran gelap di
Singapura rata-rata tiap tahun. Itulah sebabnya berbagai cara
menumpas penyelundupan dilakukan. Bonus, semacam uang
perangsang, diberikan kepada pemberi informasi kegiatan
penyelun(lupan secara kontan dan dinilai cukup mahal. Uang
perangsang bagi pelapor di Malaysia bisa dibayar sampai mencapai
separoh dari pajak yang seharusnya masuk. Hasilnya? Ada - tapi
tak sehebat yang diharapkan.
Asal Bayar Pajak
Rupanya hanya sebagian saja dari saksi mata yang berani
melaporkan kegiatan penyelundupan. Ierbagai sumber, juga orang
Indonesia di Singapura, menyatakan: "Para pelapor lebih
takutkepada ancaman sindikat penyelundup timah daripada uang
perangsang yang dijanjikan." Komplotan penyelundup timah itu
ternyata mendapat 'perlindungan' dari semacam gangster yang
berpusat di Singapura.
Dan komplotan ini bekeria rapi baik secara halus maupun kasar.
Mereka dapat bekerja keras, dengan ancaman pembunuhan atau
penganiayaan, tapi juga mampu bekerja sopan: menyediakan pembela
bagi penyelundup yang tertangkap basah. Contoh yang terakhir,
misalnya, seperti yang terjadi di pengadilan Kota Tinggi yang
sekarang sedang berlangsung ini. Gua dkk, pelaut miskin dari
Indonesia, ternyata diadili di negara lain dengan didampingi
pembela. Siapa yang bayar?
Di Singapura, komplotan tersebut lazim disebut: Hong Boen. Alat
negara Singapura bukannya tak bekerja memberantas Hong Boen
itu. Polisi beberapa kali berhasil menangkap anggota Hong Boen.
Tapi kesudahannya lembek: setelah pajak dibayarkan para
penyelundup dibebaskan dari semua tuduhan kejahatan.
Begitu memang sikap pemerintah Singapura yang menganut azas
perdagangan bebas. "Mereka tak peduli barang itu berasal dari
mana, selundupan atau bukan menurut pemerintah Malaysia dan
Indonesia, pokoknya asal bayar pajak -- semuanya beres," begitu
komentar pejabat Indonesia di sana.
Urusan dengan Malaysia memang mudah. Pemer intah Indonesia dapat
saja mengajukan permintaan mengadili suatu kejahatan di sini
berdasarkan perjanjian ekstradisi. Tapi dengan Singapura? Sesama
anggota ASEAN, rupanya, Singapura paling sulit diajak berunding
soal kejahatan. Ya maklum saja, penyelundup - atau apapun
namanya bagi negara lain - bagi Singapura toh berarti: ikut
meramaikan bandar mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini