UNIVERSITAS Indonesia Baru (UI B) tidak lama lagi nampaknya akan
ditutup. Pihak Koordinatot Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis)
Wilayah III Jawa Barat, dua minggu lalu, telah minta Kejaksaan
Tinggi Bandung untuk membubarkan perguruan tinggi swasta
tersebut." Kasus ini merupakan cermin penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang tidak bertanggungjawab," ucap Prof. Didi Atmadilaga,
Ketua Kopertis Jawa Barat. UIB, menurut Kopertis, selain dituduh
memiliki landasan hukum yang sudah goyah serta tidak
mengindahkan petunjuk dan peringatan Kopertis, juga dianggapi
tak mempunyai dayalaksana teknis, sosial dan ekonomi untuk
melaksanakan pendidikan.
Berdiri tahun 1966, UIB mulanya cabang Universitas Saweri gading
(Unsa) yang berpusat di Ujungpandang. Karena Unsa yang lahir
sejak 1943 itu tidak mencantumkan Pancasila dalam Anggaran
Dasarnya (sebab itu belum memiliki status terdaftar di P&K),
pihak pemerintah belum bisa memberikan legalitasnya hingga kini.
Unsa cabang Bandung itu segera memisallkan diri dan berganti
nama jadi UIB. "Tindakan itu untuk menjaga kelangsungan
pendidikan para mahasiswa," ujar Soeharno SH, Rektor UIB.
Namun itu belum bisa menyelamatkan perguruan tinggi swasta yang
kini memiliki tiga fakultas dengan 192 mahasiswa itu. Alasannya:
pergantian nama tidak dikukuhkan dengan akte notaris sebagaimana
lazimnya. Kesalahan yang serupa juga terjadi lagi ketika Yayasan
Prabu Siliwangi yang membawahi UIB dirubah namanya jadi Yayasan
Setya Adidhamla. Sehingga makin sempurnalah kelemahan UIB.
Mereka Bergerilya
Tentu saja kemudian Soeharno tidak tinggal diam. Rektor UIB yang
mengaku melakukan pergantian nama itu atas saran Departemen
PTIP, segera menunjuk surat Kepala Biro Perguruan Tinggi Swasta
No. 669/B-Swt/PP/65 - yang dianggapnya bukti bahwa Unsa cabang
Bandung sudah terdaftar. Dan surat itu dianggap Soeharno
otomatis berlaku untuk UIB.
Tapi pihak Kopertis, berdasarkan catatan dari Direktorat
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) P&K, berpendapat lain. Surat
dengan kode tersebut itu bukan surat pengukuhan untuk memiliki
status terdaftar. Surat yang ternyata ditujukan kepada Unsa
Pusat di Ujungpandang itu adalah teguran, agar Unsa memenuhi
kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan untuk memperoleh
status terdaftar.
Bahkah persoalan tidak dicantumkannya Pancasila pada Anggaran
Dasar Unsa sempat ditangani dr. Sjarif Thajeb, waktu itu
Menteri PTIP. Namun sekalipun sudah diberi batas waktu,
panggilan Sjarif Thajeb tak pernah digubris pihak Unsa, "Memang
paling brengsek," ujar Prf. Didi Atmadilaga.
Sampai kini Unsa Pusat memang belum terdaftar. "Tapi mereka
bergerilya terus dan saya tahu mereka punya beking," ujar R.
Sulaeman SH, Kepala Subdit Pengaturan dan Perizinan PTS
Departemen P&K. Hanya saja gara-gara tidak terdaftar itu maka
selain cabangnya di Bandung jadi UIB, yang di Malang pun
berganti nama jadi Universitas Merdeka Malang. Tapi yang di
Bandung itu, tambh Sulaeman lagi, surat teguran PTIP diputar
balikkan menjadi surat keputusan status terdaftar. "Lebih dari
10 tahun masyarakat dikelabui. Karena itu Unsa Bandung yang
sudah jadi UIB mesti ditutup," ujar Prof. Didi Atmadilaga.
Tak Pernah Bubar
Bagaimana dengan Unsa Pusat sendiri? Dipimpin pertama kali oleh
Haji Syahadat (ayah Nuruddin Syahadat, rektornya yang sekarang)
Universitas Sawerigading yang berpusat di Ujungpandang itu
pernah jaya. Cabang-cabang di beberapa kota besar: di Surabaya
berdiri tahun 1954, di Jakarta 1955, di Semarang dan Malang
1956, di Bandung, Madiun dan Yogyakarta 1957, di Medan' pada
1958. Periode 1950 an itulah, menurut Nuruddin Syahadat, periode
gemilang.
Sang rektor, yang kini berumur 55 tahun, memang mengakui sering
bersitegang leher dengan beberapa Menteri P&K. Mulai ketika
jabatan menteri itu dipegang Wongsonegoro sampai ketika Sjarif
Thajeb jadi Menteri PTIP. Masalahnya mulai dari soal pengakuan
Sawerigading sampai saat ini tetap hidup di luar pagar.
Statusnya tercatat, bukan terdaftar di P&K. Saya lebih senang
menyebut Sawerigading universitas bebas," ucap Nuruddin
Syahadat.
Sekalipun kampus Unsa yang terletak di daerah Slipi Jakarta
sejak tiga tahun terakhir ini masih berupa sebuah bangunan tua
berdinding bilik, rektor yang mengaku memperoleh gelar
profesornya di Universitas Keio di Tokyo itu masih merasa punya
mahasiswa sebanyak 2500 orang dengan dosen sebanyak 150 orang
tersebar di beberapa kota tadi. "Kuliah masih berjalan. Ada
secara tertulis atau sewaktu-ivaktu numpul," ujar Nuruddin
Syahadat. "dan sebagian besar dosen tidak dikasih honor. Baru
kalau ada uang, yah dibayar."
Selain itu rektor yang sudah dinas sejak tahun 1950 itu juga
mengakui banyak cabang-cabangnya rontok satu persatu.
Disebutkan, selain di Bandung dan Malang, di Yogyakarta pecah
jadi Universitas Yanabadra dan di Surabaya menjadi Universitas
Hayam Wuruk. Tentang yang di Bandung itu, menurut Nuruddin.
sekalipun sudah berubah jadi UIB. yang di bawah koordinasinya
masih ada 50 orang mahasiswa Unsa. "Karena itu Sawerigading
Bandung tak pernah bubar. Kuliah jalan terus. Dan Soeharno yang
jadi rektor UIB itu memang anak nakal," katanya.
Bagaimana kalau P&K menutup Sawerigading? "Mengapa mesti
ditutup? Itu tidak Pancasila. Beri kami kesempatan untuk
memperbaiki diri. Sawerigading bagaimanapun tidak mungkin bubar.
Ini amanah ayah saya, biar pengadilan yang memutuskannya, bubar
atau tidak," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini