BUKU pengantar pameran di Balai Senirupa Jakarta tidak lagi
memuat sambutan Ali Sadikin. Sekarang untuk pertama kalinya
Tjokropranolo, Let. Jen TNI AD, membubuhkan kata-katanya. Isinya
sama saja.
"Sejarah seni lukis baru Indonesia yang telah berlangsung selama
satu seperempat abad, telah mengenal berbagai tahap
perkembangannya dengan menghasilkan pembaharuan-pembaharuan
cita-rasa dan penggapaian-penggapaian kreatif yang penting."
Sementara ruang pajang dihuni lukisan-lukisan buah tangan
Srihadi dan Sadali, kedua-duanya dari Bandung, sebagai bagian
terakhir dari penampilan 13 seniman yang pernah menerima
Anugerah Seni.
Sayang
Kusnadi, ketua pameran, menganggap Srihadi (46 tahun) dan Sadali
(lahir di Carut) sebagai sebagian perintis seni lukis abstrak
Indonesia. "Seni abstrak yang pertama dalam pengarahan
estetissimbolis-magis, sebenarnya telah dimahiri sejak
penguasaan tehnologis -- tradisionil mengisi keris dengan pamor,
sekitar 500 tahun yang lalu," tulisnya. Ia menganggap seni
abstrak Srihadi mengambil hubungan kejiwaan manusia dan alam
sebagai inti pemasalahan. Sedang imajinasi abstrak yang total,
dianggapnya merupakan pegangan kreasi Sadali yang terjelma
kemudian dalam susunan warna yang jernih, dengan aksentuasi pada
warna parada dan emas, yang mengisi dan membentuk bidang-bidang.
Sayang sekali kita tidak sempat melihat pertumbuhan Sadali dan
Srihadi sejak awal, walau masih beruntung dapat disabet
karya-karya Srihadi dari 1963. Pada Sadali, kita hanya diberi
kesempatan menikmati kecenderungannya yang terakhir -- tahun
1977 ini. Ini pun dalam jumlah yang tidak terlalu banyak - juga
tidak semua isi pameran merupakan karya-karya tcrbaik mereka.
Pada Srihadi khususnya, karya-karya yang terasa kehilangan
kecemerlangan pada tahun 1977 ini, rasmya belurn senlyurna
kalau hanya dikuntit oleh sejumlah karya, dengan material
akuarel yang diletakkan di ruang tengah. Meskipun karya-karya
akuarel itu sempat menangkap keindahan tanah Andalusia dan
kecantikan Paris yang lembut.
Srihadi, yang dengan cemerlang dan unggul menangkap horison,
yang begitu puitis dan dramatik menampilkan pantai dan perahu,
kita lihat mencoba mengalihkan perhatiannya pada manusia. Dengan
angka tahun 1977, kita melihat ia mencoba membuktikan sesuatu,
menghapuskan jejaknya di pasir pantai -- lalu memilih melukis
Model, Baju Biru, Santai -- sambil kehilangan tenaga puisi. Juga
tatkala ia melukis Perahu, Ubud yang juga dikerjakan pada 1976,
pelukis yang memiliki tarikan garis spontan ini seakan
kehilangan emosi. Ia menjamah obyek tanpa keharusan lagi. Kita
hanya melit1at lukisannya sebagai usaha melepaskan diri dari
klise diri sendiri.
Kekuatan Srihadi dalam menakar bidang, sehingga komposisinya
menjadi sangat dramatik, terlihat pada lukisan seperti Heli dan
Hutan (1974) yang juga sudah sering dipamerkan. Di sana kita
melihat hutan seperti raksasa menelan heli yang hendak luput ke
mulut pantai. Dramatisasi sudut pandangannya menimbulkan suasana
tertentu yang membawa kita pada emosi tertentu. Pergulatan.
Srihadi juga muncul dengan jernih pada Pantai (1970) dan Fajar
(1973), dua lukisan abstrak yang hampir senada. Dengan pulasan
bidang-bidang lebar berwarna dan guratan garis spontan, ia
memberi asosiasi puitis. Ini berbeda dengan orison (1976), yang
dilukisnya dengan warna merah, tambah sepotong bulan, dan sebuah
garis lurus yang ditarik amat formil. Jelas peiukis ini sedang
mencoba memperbarui diri.
Marc Rothko
Akuarel Andalusia dan Paris, yang juga dilukis tahun 1977,
menunjukkan temperamen yang amat berbeda denRan lukisan Pantai
Sanur Dengan Jala ( 1963) atau pun Sawah (1963). Lukisan Srihadi
masa lalu memang mengandung hubungan kejiwaan antara manusia
dengan alam - seperti dikatakan Kusnadi -- yang kita dapati juga
pada lukisan Nashar misalnya. Hubungan tersebut saat ini agaknya
sudah menjadi tali yang tidak intim lagi. Srihadi tidak lagi
luruh, tetapi lebih bersikap menonton. Lalu kita melihat ia
seperti larut oleh kemahirannya sendiri. Mungkin ini akan
menjadi permulaan baru bagi pelukis yang masih banyak kita
harapkan ini.
Berbeda dengan Srihadi, Sadali tampak semakin mantap saja.
Warna-warna, kepingan-kepingan, bersit-bersit kejutan dari
torehan parada dan emas, arahnya masih tetap satu. Misteri.
Sesuatu yang tak terjangkau, tetapi yang amat besar dan
berkuasa. Ia tak habis-habisnya menjangkau kebesaran Ilahi.
Lukisanlukisannya memang kadangkala boleh dicurigai, karena
bertopang pada sesuatu yang mau tak mau menyebabkan orang harus
memperhitungkannya. Karena ia bicara tentang sesuatu yang samar,
sesuatu yang agung dan indah. Tetapi karena teknik dan
intensitasnya telah mencapai kadar tertentu di mana kita merasa
adanya kejujuran dalam pencarian, ia jadi meyakinkan.
Sadali telah menghantarkan kita ke kaki Tuhan dengan
bidang-bidang yang kaya, berwarna dan tidak kehilangan emosi.
Sehingga hubungan kita dengan dunia yang tak pernah benar-benar
terjangkau itu, bukan hubungan atasan bawahan, bukan hubungan
kering tapi intim. Lihatlah misalnya Sisa-sisa Bidang
Kepingan-kepingan Emas yang berwarna biru menyala. Rasa
ketulusan dan kesungguhan tidak buyar karena nyala warna.
Kemanisannya tidak mengurangkan kegempalannya. Bahkan pada
lukisan yang berjudul Penghargaan Pada Marc Rothko (seorang
pelukis religius), kita menangkap rasa ketuhanan yang memancar
dari bentuk yang bagaikan cermin itu.
Kedua pelukis Bandung ini sedang galak-galaknya. Mereka masih
dapat diterka akan membuat kejutan-kejutan. Terutama karena ada
usaha untuk terus memecahkan diri dari kemapanan.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini