Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Bahasa Google

Wartawan membuat berita dengan menghamba pada mesin Google. Memonopoli kebenaran.

4 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sumber pembaca berita kini berasal dari Google.

  • Akibatnya para wartawan bersaing membuat berita dengan menuruti tata cara Google mengurutkan kata kunci.

  • Yang benar dan populer bersaing di dunia maya.

PARA wartawan kini punya syarat tambahan dalam menulis berita. Setelah menempatkan informasi yang penting dan relevan bagi publik, mereka juga harus menyusun kata kunci sedemikian rupa agar berita yang penting dan relevan itu terbaca dengan mudah oleh mesin Google. Istilah yang acap dipakai oleh pengelola media adalah “berita ramah Google”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti Zoom yang berubah dari kata benda menjadi kerja, Google telah berubah makna dari sekadar mesin pencari menjadi acuan dalam menyusun informasi. Mesin Google tak akan menempatkan sebuah berita di halaman pertama jika wartawan menyusun informasinya serampangan atau kata kuncinya berantakan sehingga membingungkan mesin algoritma. Pendeknya, mesin Google tak akan melirik artikel yang tak sesuai dengan aturan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata kunci adalah faktor terpenting yang bisa dibaca mesin Google, selain panjang tulisan, pengalineaan, atau penempatan gambar yang relevan dan mudah terbuka di jaringan koneksi yang fakir. Namanya optimisasi mesin pencari atau search engine optimization.

Jika para penulis atau wartawan mengabaikan serangkaian aturan yang rigid itu, sebagus apa pun, sepenting apa pun, atau serelevan apa pun informasi yang mereka tulis, artikel tersebut akan tersaruk di pojok maya entah di mana. Mesin Google tak akan melemparkannya ke halaman pertama mereka. Akibatnya, artikel tersebut tak sampai ke tangan pembaca yang membutuhkan informasi, perspektif, dan analisisnya.

Google kini praktis menjadi penguasa dunia maya. Maka Google sebenarnya adalah penguasa nyata dunia kita hari ini. Bisa saja mereka menyembunyikan informasi yang penting jika para pengelolanya tak ingin penduduk dunia membacanya. Atau, sebaliknya, mereka terus-menerus membombardir kita dengan sebuah informasi karena begitulah keinginan pengendali Google agar dunia menyimaknya.

Maka, jika teori komunikasi lama mengatakan bahwa media massa adalah pengendali opini, teori ini perlu direvisi. Media massa kini sudah bertekuk lutut di bawah meja Google karena berita yang tak sesuai dengan tata cara mesin mereka tak akan menjadi berita yang menyambangi pembaca.

Sumber pembaca media digital sekarang adalah mesin pencari, lalu media sosial, baru kunjungan langsung ke web atau penyedia informasi. Artinya, jika wartawan media massa yang kredibel tak pandai menyusun kata kunci yang cocok dengan mesin Google dan media sosial, artikel-artikel mereka akan kalah posisi dibanding, katakanlah, situs abal-abal yang sedang bekerja memanipulasi fakta.

Dengan Google mengendalikan struktur pembaca berita online seperti itu, mau tak mau para wartawan mesti mengacu pada aturan-aturan raksasa digital ini dalam menulis berita di Internet. Para pengelola media harus berebut kata kunci agar berita mereka menjadi yang pertama di posisi teratas. Sebab, artikel di posisi teratas biasanya—karena begitulah Google menempatkannya—yang paling banyak dibaca penghuni Internet.

Keterbacaan adalah persaingan para pengelola media kini. Jumlah pembaca adalah penghasilan karena Google menghargainya dengan iklan melalui seberapa banyak ia dilihat oleh mata manusia atau gerakan jempol. Mesin algoritma Google akan membaca kecenderungan kita dalam mengonsumsi informasi dengan membaca gerakan jempol, tautan pertemanan, dan paparan informasi di dunia maya.

Dalam tataran mikro, pertarungan kata kunci bisa merusak tatanan berbahasa manusia. Google tak peduli dengan bahasa yang baik dan benar, apalagi hidup. Meski cara Google mencari kata kunci memakai skema piramida terbalik seperti dalam menyusun berita, jika kata kunci yang benar tak mereka terima, pengelola media akan turut pada itu. Akibatnya, pembaca mengikuti dan menganggapnya sebagai kebenaran.

Misalnya, karena di Google Trends kata “bansos” lebih populer ketimbang “bantuan sosial”, wartawan memilih kata itu ketimbang frasa yang benar dalam berita mereka. Karena “dipenjara” punya skor lebih tinggi dibanding “dipenjarakan”, para wartawan kian abai pada bentukan kata yang sesuai dengan kaidah. Kebenaran dan popularitas bersaing begitu keras di dunia maya.

Maka tak berlebihan jika ada yang menyebut bahwa Google kini yang memonopoli kebenaran. Apa yang dianggap benar oleh Google akan demikian pula diterima oleh penduduk bumi. Logika, persepsi, dan paradigma kini amat ditentukan oleh mesin algoritma karena demikianlah kita terjebak dalam gelembung informasi yang sesuai dengan apa yang kita suka dan kita ingin percaya saja.

Dalam The Rise of Digital Authoritarianism, Adrian Shahbaz menulis bahwa demokrasi ambrol di tengah kebebasan semu dunia maya. Demokrasi yang lamban merespons hal ihwal kian tergerus oleh masifnya disinformasi yang berakar pada pengendalian bahasa melalui mesin algoritma.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus