Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Putusan MK atas Undang-Undang Cipta Kerja membuat hukum tidak pasti.
Indonesia akan berjalan memakai undang-undang yang inkonstitusional.
Penyusun amdal tak lagi melibatkan pembela lingkungan.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat itu ambigu dan memicu ketidakpastian hukum. Padahal putusan MK seharusnya menghilangkan segala macam ambiguitas dan ketidakpastian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam putusannya, Mahkamah menilai Undang-Undang Cipta Kerja melanggar Undang-Undang Dasar 1945 karena pembahasan rancangan omnibus law itu tidak transparan dan tanpa partisipasi publik. Namun Mahkamah menyatakan undang-undang tersebut masih berlaku sampai ada revisinya dua tahun ke depan. Padahal, secara substansi, undang-undang ini pun bermasalah: antara lain merugikan hak buruh dan mengancam kelestarian lingkungan. Mahkamah ibarat menyuruh orang tetap memegang bara yang sudah jelas bakal membuat gosong tangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah kian ambigu karena melarang pemerintah membuat aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Mahkamah juga tidak mengizinkan pemerintah menjadikan undang-undang sapujagat itu sebagai landasan kebijakan yang penting dan berdampak luas. Pertanyaannya, memang ada kebijakan negara yang tak penting dan tak berdampak luas?
Pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja mengatur sesuatu yang berdampak luas. Begitu pula 49 aturan turunannya. Omnibus law Cipta Kerja mengubah, menambah, dan memangkas 80 undang-undang yang selama ini menjadi basis perlindungan lingkungan, perburuhan, hingga tata cara membangun bisnis. Semua itu berdampak besar pada kehidupan masyarakat saat ini serta masa depan lingkungan kita.
Selain putusannya yang ambigu, pendapat hakim konstitusi yang terbelah menguatkan kesan adanya kompromi kepentingan politik, bisnis, dan hukum. Para hakim Mahkamah tahu pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja melanggar konstitusi—dosa besar dalam demokrasi. Namun, dengan mengizinkan undang-undang ini tetap berlaku, Mahkamah menjadikan hukum seperti politik yang serba abu-abu. Alih-alih menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tak bisa diintervensi oleh kekuatan apa pun, para hakimnya malah memberi ruang bagi tekanan oligarki.
Kita tahu, omnibus law Cipta Kerja sarat dengan titipan pemilik modal dan kekuasaan untuk leluasa mengeruk kekayaan Indonesia. Misalnya dalam aturan pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Undang-Undang Cipta Kerja menyingkirkan ahli dan organisasi lingkungan dalam uji kelayakan amdal. Dari sini, jelas pemerintah Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat menganggap para pembela lingkungan sebagai pengganggu pembangunan.
Di masa krisis iklim, pemerintah seharusnya giat meningkatkan proteksi lingkungan. Faktanya, lewat omnibus law Cipta Kerja, pemerintah malah melonggarkan aturan amdal yang selama ini menjadi benteng terakhir dari ancaman bisnis yang merusak lingkungan. “Pembangunanisme” ala Jokowi ini tentu saja ketinggalan zaman karena konsep pembangunan masa kini lebih mendorong bisnis yang ramah lingkungan.
Perintah Mahkamah Konstitusi agar pemerintah dan DPR merevisi UU Cipta Kerja memang memberi peluang bagi masyarakat sipil untuk memasukkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan. Tapi peluang itu tipis saja. Sebab, sejak awal pembahasan rancangan omnibus law ini, DPR dan pemerintah tak mementingkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo