Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak dulu filsafat dan puisi acap bermusuhan. Mengapa?
Filsafat yang mengejar kebenaran acap goyah oleh gangguan puisi.
Akankah mereka berdamai?
…mari kita beri tahu… bahwa ada sebuah pertengkaran purba antara filsafat dan puisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
— Plato.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA penyair adalah sebuah cela. Mereka harus diusir dari Kallipolis. Ketika Plato membayangkan negeri yang ideal itu dalam Republik-nya, ia meletakkan filosof sebagai pemegang kekuasaan dan penyair sebagai perusuh. “Kita sadar benar bahwa puisi… tak dapat dipandang sungguh-sungguh hendak mencapai kebenaran.”
Pertengkaran antara filsafat dan puisi sebagaimana yang disebut Plato jarang dikisahkan secara lengkap. Tapi, dalam sejarah, permusuhan terhadap puisi memang bukan cuma cerita Kallipolis yang imajiner.
Di abad ke-6, Muhammad sang Nabi, seperti Plato beberapa abad sebelumnya, pernah menampik puisi. Ia dikutip mengatakan, “Siapa pun di antara kamu lebih baik punya tubuh berisi nanah ketimbang puisi” (la-an yamtali 'a jawfu ahadikum qayhan khayrun lahu min an yamtali 'a shi 'ran).
Memang tak selamanya Muhammad dan para penjaga moral dan rohani bersikap seperti itu. Tapi antipati terhadap ekspresi sastra ini sering bertaut dengan kekuasaan yang mengusung semangat filsafat—yakni menegaskan “kebenaran”. Penguasa Marxis-Leninis, misalnya, yang yakin membawa “sosialisme ilmiah” di Rusia di abad yang lalu, membungkam penyair Boris Pasternak, Mandelstam, dan Anna Akhmatova.
“Kebenaran” bisa dirumuskan berbeda-beda, namun disikapi sama: “kebenaran” itu kedap, tak tertembus, dan diperlakukan dengan khidmat. Puisi mengganggu itu.
Bagi para filosof Yunani kuno dan penjunjung agama, filsafat, dan ideologi yang datang kemudian, dunia tak bisa dipakai untuk menentukan apa yang “benar” secara pasti dan abadi. Dunia berubah terus: wajah mengisut, yang manis jadi asam, dan yang hidup—juga diri kita—akan mati.
Plato sadar akan itu, tapi ia melihat lebih jauh. Ketika kita mengagumi sebuah keramik yang indah sebenarnya yang kita kagumi bukanlah Keindahan itu sendiri, melainkan titisannya, yang tak sempurna. Keindahan itu sendiri sebuah ide, eidos, ἰδέα. Ia tak bisa retak. Ia konstan, sebab ia abstrak. Dalam Phaedo disebutkan, “Benda-benda konkret dapat kita sentuh dan lihat dan cerap dengan pancaindra, tapi entitas yang konstan itu hanya dapat kita tangkap dengan berpikir.”
Bagi Plato, dengan berpikir, dengan penalarannya, filsafat hadir dengan definisi-definisi yang tetap. Jika ia berbicara tentang “dunia”, misalnya, ia memberi jawab yang teguh apa arti “dunia”. Ia tak terbuai perasaan ataupun perubahan benda-benda yang konkret. Ia bisa dengan yakin mengklaim berada rapat dengan Kebenaran, karena ia menangkap Ide, substansi, bukan imajinasi dan benda-benda yang “labil”.
Asyik dengan yang “labil”—itulah ciri puisi, yang tak mau konsisten dengan makna atau pengertian kata di kalimatnya. Bahkan “Kredo Puisi” Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal itu ingin membebaskan kata dari “penjajahan pengertian”. Filsafat Plato akan mengusirnya dari Kallipolis.
Sebab filsafat lahir dari Subyek yang dengan nalar perkasa membentuk makna dunia. Nalar atau intelek itu begitu dominan hingga seakan-akan tak butuh tubuh. Filsafat ala Plato menganggap mata, telinga, hidung, dan degup jantung—terutama dalam proses kreatif penyair dan perupa—hanya menghadirkan ilusi, setidaknya realitas yang kacau.
Tapi di situlah puisi jadi alternatif. Yang melahirkannya bukan Subyek yang dengan perkasa merumuskan dan mengonsep kenyataan. Subyek dalam puisi tak menguasai alam dan segala yang lain. Seperti dalam satu sajak Subagio Sastrowardojo:
Tugasku hanya menerjemah
gerak daun yang bergantung
di ranting yang letih
Tampak di sana, “aku”, Subyek, tak mendesakkan diri. Daun yang rapuh, “yang tergantung di ranting yang letih”, dibiarkan bicara, dan “aku” hanya menerjemahkannya.
Dalam sebuah sajaknya Avianti Armand menulis “daftar warna di sekitar kita”—dan hanya itu. Kita sama sekali tak berjumpa dengan “aku”, melainkan dengan “Warna air/Warna angin/Warna asap/Warna batas/Warna buih…”.
Puisi hidup dalam kemeriahan macam itu, yang konkret, yang tak dijinakkan “aku” manusia. Bagi zaman yang biasa bekerja dengan abstraksi-abstraksi (“kesejahteraan”, “perdagangan”, “hukum”) yang dibentuk rasio, tiap hal yang konkret (“warna asap”) atau yang ganjil (“warna batas”) jadi kejutan, menakjubkan.
Filsafat ingin melenyapkan rasa takjub. Nietzsche menganggap filosof “manusia paling angkuh” yang yakin dengan rasionya sanggup menjawab masalah apa saja—mirip para fanatikus sains hari ini.
Tentu, tak ada satu filsafat. Tak semua tampil sebagai “filsafat sistematik” dalam pengertian Richard Rorty: filsafat yang mengikuti “jalan yang pasti dan lurus dari sains”. Ada jenis pemikir lain—katakanlah Omar Khayyam atau Nietzsche, mungkin juga penulis Wedhatama—yang membuka ruang “buat perasaan takjub yang… menggugah para penyair”.
Filsafat, di situ, bergerak bersama hidup. Ia hidup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo