BELUM selesai menjungkirbalikkan kasus Monitor dari segala sudut, sekarang para pemerhati pers Indonesia dikagetkan lagi oleh kasus majalah Senang. Betapa tidak. Usaha surat kabar dan permajalahan kini sedang pesat-pesatnya berkembang. Izin usaha penerbitan -- yang sulit itu -- konon sedang laris-larisnya dicari para pemodal yang melihat industri pers sebagai lahan baru. Banyak orang yang ingin meniru atau menyaingi setiap penerbitan yang sukses di bidang apa pun juga. Angin keterbukaan pun makin deras bertiup. Dalam keadaan itu, mengapa kok ada pers yang "membredel" diri sendiri, mengembalikan SIUPP dari majalah yang mulai menanjak di pasaran? Prakarsa untuk introspeksi dan tindakan berat yang diambil oleh pimpinan Kelompok Gramedia sungguh patut dihargai. Rasanya belum pernah dalam sejarah pers terjadi hal yang serupa. Namun, berbagai pendapat tentu akan muncul, menilik reaksi masyarakat -- termasuk dari orang-orang yang selama ini dikenal lebih moderat -- terhadap kasus Monitor. Dapat diduga, ada saja yang akan mencari kaitan-kaitan yang lebih meluas, minimal dalam organisasi penerbitan yang bersangkutan. Bukan tidak mungkin ada yang mencari teori konspirasi. Mempertanyakan motivasi sesungguhnya. Atau dampaknya bagi usaha pers yang sudah terlalu besar. Terlepas dari semua itu, ada pelajaran yang lebih besar yang perlu dipetik bersama. Sistem Pers Pancasila, yang selama ini dirasakan mulai mapan, ternyata memerlukan penyempurnaan dalam mekanisme pengendaliannya. Jangan buru-buru salah sangka, bukan maksud saya untuk memutar jarum jam kembali ke belakang pada era keterbukaan ini. Sistem pers yang mana pun juga harus punya mekanisme pengendalian yang andal. Penerbitan pers tidak dapat berjalan baik, jika hanya diserahkan semata-mata pada "kesenangan" (whims) orang pers. Jika dibiarkan, bisa-bisa pers hanya akan memuat apa yang menarik menurut citarasa, kata hati, kekenesan, kegemaran, atau ego pribadi seorang wartawan -- tanpa menghiraukan kepekaan masyarakat yang seharusnya dilayani pers. Pada sistem pers yang bersifat otokratik, umpamanya, pengendalian dilakukan oleh penguasa sebelum penerbitan (umpamanya persyaratan dan skrining penerbit, izin yang terbatas, sensor pracetak secara langsung), disertai sanksi yang keras setelah penerbitan. Pada sistem campuran, pengendalian prapenerbitan bersifat lebih umum (umpamanya izin terbit, dan pedoman isi). Pada sistem yang lebih liberal pun ada pengendalian, tetapi terutama pada purna penerbitan, seperti tuntutan pidana dan perdata, pemboikotan iklan dan langganan, penekanan (pressure) dari organisasi dan kelompok masyarakat. Tindakan pada sistem terakhir ini malahan dapat lebih kejam dan "mematikan" penerbit serta wartawannya. Sistem pers kita bertumpu pada kebebasan yang bertanggung jawab, dan intinya terletak pada pengendalian diri. Dalam pengembangannya, mekanisme selengkapnya ada beberapa lapis. Yang pertama adalah mekanisme profesional berupa pengembangan kemampuan/tanggung jawab kewartawanan melalui PWI (penjenjangan, penataran, rekomendasi). Kedua, mekanisme SIUPP: mensyaratkan hanya mereka yang telah mampu bertanggung jawab (yaitu mendapat rekomendasi profesional) yang memperoleh kebebasan redaksional. Ketiga, mekanisme pengendalian intern redaksi. Keempat, mekanisme evaluasi intern setelah penerbitan. Apa yang terlihat dari kasus Monitor dan Senang? Keempat mekanisme itu ternyata belum melakukan penyaringan dan pengendalian dengan baik. Seseorang, dengan nilai dan pandangan hidup yang belum matang (yang tidak memahami dan peka terhadap nilai-nilai bersama masyarakat Pancasila), ternyata dapat meloncati jenjang pematangan profesi. Ia dapat memperoleh SIUPP, lulus saringan untuk memegang tanggung jawab dan mengendalikan orang lain. Karena ia dipercaya untuk memegang sampai 18 (?) SIUPP, agak sukar kita berdalih bahwa ini hanya kekhilafan manusiawi dalam penyaringan dan bukan kelemahan mekanisme. Masalah dengan mekanisme ekstern itu ternyata tidak terjaring pula oleh mekanisme intern. Proses pemilahan dan penyaringan dalam redaksi terlewati. Dan sebagai terlihat dari kasus Senang, evaluasi purnaterbit baru dapat mengenali kesalahan yang terjadi setelah beberapa pekan berselang. Kasus tersebut terjadi pada salah satu organisasi pers kita yang terbesar dan termodern, dan bukan tidak mungkin dapat terjadi pada yang lain. Perhatian, yang sekarang ini sedang menonjol terhadap kedua kasus tersebut, akan makin bermanfaat jika ditujukan pula pada penyempurnaan mekanisme pengendalian atau pemantauan (monitor) pers kita yang lebih luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini