SIAPA tak kenal Rambo? Tapi Sylvester Stallone, pemeran veteran Vietnam itu, malah mau "membunuh"-nya. Kecuali, kata Sly, bila status Rambo berubah. Dalam satu siaran TV di Milan, Italia, awal Mei lalu, dia menegaskan, "Rambo hanya akan mengabdi pada Greenpeace, dan tidak lagi untuk CIA." Entah apa jadinya kalau Rambo yang selalu serius dan tak pernah senyum itu -- dan mampu menghancurkan musuhnya seorang diri -- bersekutu dengan Greenpeace dan memulai kampanye memboikot kayu kita. Pak Hasjrul Harahap tentu bakal bertambah repot. Gerakan antikayu tropis di negara maju saat ini memang cukup serius. Maka, safari Pak Hasjrul ke Eropa bulan lalu, dan sebelum itu ke Australia, barangkali juga perlu diteruskan ke Amerika dan Jepang. Sebab, kampanye boikot kayu di dua negara pengimpor besar ini pun terus terjadi. Tapi cukupkah itu untuk meredakan aksi-aksi tersebut? Ada satu hal yang perlu lebih kita pahami dalam kasus ini. Aksi pembelaan hutan tropis ini melibatkan banyak pihak dan isu, serta dilakukan dalam berbagai bentuk. Kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat barangkali memang pelaku utamanya. Tapi banyak superstar, para penyanyi dan bintang film, juga turut serta. Bahkan Pangeran Charles (bersama istrinya) kini dikenal sebagai The Green Prince, karena secara langsung berperan dalam gerakan ini. Isu yang dipersoalkan pun bukan semata-mata gejala memburuknya efek rumah kaca, akibat penebangan hutan, yang memang cuma menjadi salah satu penyebab saja. Genocide, punahnya komunitas penghuni pedalaman (indigenous people), misalnya, merupakan salah satu isu kuat, di samping punahnya keragaman hayati (biodiversity), yang merupakan keunikan hutan tropis. Bahkan juga isu kaum perempuan. Dalam kasus PT Inti Indorayon Utama yang lalu, misalnya. Ompu Si Maju Boru Sianipar, dan sepuluh orang lainnya, ditangkap karena mencabuti tanaman eucalyptus milik PT itu. Entah dari mana sumbernya, tiba-tiba dalam buletin The Women's Environmental Network, yang terbit dari London, muncul seruan solidaritas ke seluruh dunia. Dan letters campaign semacam ini, di negara-negara maju, terbukti cukup efektif dalam membentuk pendapat umum. Bentuk-bentuk aksi yang dilancarkan pun tidak terbatas pada kampanye boikot, baik pada konsumen (yang ditanamkan sampai di taman kanak-kanak itu) maupun seruan pada pemerintah saja. Ada yang memilih taktik buy-in, yakni menyerukan pemakaian bahan alternatif atau kayu bekas. Selain itu, ada kelompok yang mencoba memberikan pilihan mata pencaharian bagi komunitas penghuni hutan, dengan memasarkan produk-produk non-kayu mereka. Cultural Survival, di AS, misalnya -- secara serius memasarkan kacang dan mete dari penduduk hutan Amazon. Atau Sahabat Alam Malaysia, yang memasarkan produk-produk rotan dan kerajinan tangan orang-orang Penang dari Serawak. Bahkan juga pembangkangan sosial, yang telah melahirkan seorang martir, karena terbunuhnya Chico Mendez, pemimpin peladang karet di wilayah Amazon. Jadi, harus pula dimengerti, nilai-nilai yang dianut para aktivis gerakan lingkungan saat ini mulai cenderung fundamentalistis. "Ideologi" hijau pun makin mengkristal dalam bentuk aktivisme partai-partai politik (green party) yang tampaknya juga semakin berpengaruh. Saya kira ini perkembangan penting yang perlu kita perhitungkan, demi masa depan kita juga. Dengan demikian, kita juga harus menerima kenyataan bahwa hutan tropis, yang karena fungsinya sangat penting bagi kehidupan, meskipun ada di wilayah RI, telah menjadi milik dunia (global common property). Maka, sah saja kalau pemerintah RI juga menuntut negara maju ikut memikirkannya, dalam bentuk alih teknologi atau dana kompensatif sekalipun. Tapi, sebaliknya, kita pun harus menunjukkan solidaritas yang sama pada nasib hutan Amazon atau Serawak, dan para penghuninya. Kita juga harus terbuka atas berbagai kritik dari luar. Untuk memperbaiki keadaan saat ini, kita memang perlu dan telah minta tolong orang lain. Jadi, kalau dikritik, mestinya kita tidak perlu nyinyir, merasa paling tahu sendiri dan menganggap orang luar tidak mengerti apa-apa tentang keadaan hutan kita, seperti yang dikukuhkan sementara pihak. Kebijaksanaan yang sekarang diambil Menteri Kehutanan, dengan mekanisme disinsentif (pemberian sanksi, seperti pencabutan konsesi HPH) maupun insentif (pemberian kredit ringan untuk HTI) -- meskipun seharusnya sudah sejak dulu-dulu -- harus dilakukan secara konsisten dan tanpa pandang bulu. Masih lebih baik terlambatlah, daripada tidak sama sekali. Yakinlah, hanya bukti nyata, bahwa kita bukan perusak hutan dan segala isinya, yang mampu meredakan kampanye antikayu kita. Tindakan propaganda balasan, seperti yang dilakukan para pengusaha kita beberapa waktu lalu, bisa-bisa malah berbalik menjadi bumerang. Tambah susahlah kita nantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini