Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rusaknya anak tercinta

Kenakalan remaja 90% berpangkal dari perlakuan ibu yang salah. beberapa faktor penyebabnya kepribadian ibu, keharmonisan rumah tangga serta kesiapan menjadi istri. kemiskinan tak banyak pengaruhnya.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNGGUH berat tanggung jawab ibu. Kalau dia salah memperlakukan anak secara fisik, akibatnya anak mengalami gangguan kejiwaan berat. "Dan ini membuat anak tercinta menjadi duri di tengah masyarakat," kata Dokter H. Ismed Yusuf. Dari semua korban, bayi berusia kurang dari satu tahun adalah kelompok terbesar. Kemudian berturut-turut anak berumur 1-3 tahun, 6 tahun, 7-9 tahun, dan 10-12 tahun. Bahkan kenakalan remaja, yang selama ini diributkan, kebanyakan berpangkal dari perlakuan ibu yang salah. Kesimpulan ini merupakan hasil pengamatan Ismed selama tiga tahun, sejak 1987, terhadap ribuan pasien, yang diungkapkannya dalam ceramah di Semarang, akhir Oktober lalu. Pengamatan ahli jiwa anak dan remaja pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro itu ternyata sejalan dengan penelitian dua ahli, Steele dan Pollock, pada 1980. Dalam sebuah observasi besar, mereka menemukan 90% gangguan kejiwaan pada remaja adalah akibat perlakuan salah ibu. Hanya 8% akibat kesalahan ayah, dan 2% karena perlakuan buruk bersama ibu dan ayah. Menurut Ismed, pangkal kacaunya hubungan ibu dan anak beraneka ragam. Misalnya, ibu kesal karena tidak mampu memenuhi tuntutan anaknya. Atau, mendongkol akibat bertikai dengan suami. Dalam tekanan semacam ini, banyak ibu "bertindak bodoh". Padahal, hubungan alamiah antara anak dan ibu berlangsung sejak dalam kandungan. Hubungan itu disebut cathexis, yaitu ketergantungan anak pada bundanya. Tapi kalau ibu mengalami gangguan jiwa, maka proses cathexis pada anak berlangsung tak sempurna. Selain itu, kalau ibu sering stres menghadapi suaminya, malah ia melampiaskan kekesalan kepada anaknya. Anak, biasanya, tak berdaya menghadapi serangan ibunya, baik berbentuk hukuman maupun berupa siksaan dan kekejaman. Ada beberapa faktor yang membuat ibu bertingkah demikian. Yang utama faktor dari diri ibu itu sendiri. Umumnya, karena kelainan jiwa atau gangguan kepribadian, seperti psikotik, egosentris, dan agresif. Bisa juga ia belum siap menjadi seorang ibu dan istri. Atau, toleransinya kurang terhadap frustrasi. Faktor lainnya tentu juga terdapat pada diri anak. Misalnya, ia menuntut perhatian lebih. Sifat ini dimiliki kebanyakan anak kembar, cacat, lahir prematur, anak yang tidak diharapkan, atau anak "hasil kecelakaan". Selain itu, ada lagi sumbangan faktor keluarga. Seperti pada keluarga yang tidak berbahagia, karena suami-istri saling membenci atau tidak terbuka antara satu dan yang lain. Bahkan, ada yang tidak peduli pada kehadiran anak. Bisa pula karena keluarga kebanyakan anak. Secara teori, faktor sosial yang dituding mempengaruhi sikap salah ibu adalah kemiskinan. Namun, menurut Ismed, di Indonesia faktor ini justru tidak menonjol. Ibu yang bersikap salah kepada anak malah kebanyakan dari keluarga menengah atas dengan status pendidikan menengah ke atas pula. Ibu dari kalangan ini sibuk di luar rumah. Akibatnya, mereka tak punya perhatian pada perkembangan anak. Padahal, mereka tahu bahwa anak memerlukan stimulasi dan perhatian ibu. Mereka juga sudah sering mendengar, tak baik menyerahkan perkembangan anak kepada pembantu rumah tangga. Toh mereka tak peduli. Keadaan ini lebih buruk karena orangtua berstatus sosial tinggi mempunyai banyak tuntutan kepada anak. Hubungan ibu-anak bertambah tegang. Akibatnya, anak-anak depresi. Terutama pada anak yang masih kecil. Mereka menjadi gamang di rumah sendiri. Mereka merasa jauh dan tidak dilindungi ibunya. Gejala klinisnya, mereka mengalami gangguan selera makan dan tidur. Tubuhnya cepat susut, serta sering pula dibarengi keluhan pusing dan sakit perut. Pada anak-anak usia prasekolah, akibatnya adalah anak menjadi keras kepala, agresif, tidak disiplin, dan cepat marah. Emosi mereka labil, tidak bahagia, atau merasa selalu ketakutan. Di sekolah, prestasinya menurun. Pada beberapa penelitian, IQ anak-anak ini kurang dari 90. Bukan karena retardasi mental, tapi karena retardasi intelektual. Sedangkan pada masa puber, manifestasinya sudah sering kita dengar. Misalnya, anak kabur dari rumah. Pada tingkat parah: mereka terlibat kriminal. Atau, pecandu alkohol, narkotik, suka berkelahi, dan terjerumus pergaulan seks bebas. Penyelesaiannya ternyata tak cukup dengan memisahkan ibu dari anak. Pemisahan secara permanen memang dapat menghindarkan pengulangan sikap salah. Namun, akibat psikiatriknya bisa lebih berat. Yang perlu diatasi, menurut Ismed, adalah konflik psikis pada si ibu. Usaha ini dilakukan bersama suaminya agar mereka mengerti dan memahami problem bersama. "Psikiater pun harus melakukan pendekatan yang hati-hati dan manusiawi," katanya. Penanganan pada anak adalah membantu mencapai keseimbangan mentalnya. Secara individual dapat dilakukan melalui permainan, atau upaya lain untuk menanggulangi penderitaan mereka. Juga perlu dilatih cara berpikirnya agar mampu mencari jalan keluar sendiri. Terapi pada anak kecil umumnya lebih mudah. Perbaikan lingkungan dan penanganan bisa dengan cepat mengembalikan keseimbangan emosinya. Pada anak-anak yang lebih besar -- yang gejala depresinya mencuat -- penanganannya agak sulit karena kepercayaan dasar (basic trust) pada orang lain sudah rusak. "Namun, usaha paling berat adalah membangun kembali hubungan emosional antara orangtua dan anak," kata Ismed Yusuf. Bandelan Amarudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus