Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung Mawardi*
Bahasa mengartikan zaman. Bahasa mengisahkan manusia dan dunia. Ikhtiar mengenang bangsa melalui bahasa mirip ziarah ke bilik-bilik kesilaman. Nostalgia bahasa mengingatkan retakan dan irisan ironi. Bahasa bergerak untuk pengisahan Indonesia.
Bahasa Belanda sengaja disebarkan dan diresapkan oleh pemerintah kolonial dengan nalar propaganda. G.J. Nieuwenhuis, promotor bahasa Belanda, mengartikan peran propaganda bahasa Belanda adalah mengabadikan penjajahan dan perluasan ekspansi ekonomi di negeri jajahan (Slamet Muljana, Politik Bahasa Nasional, 1959). Kolonialisme bergerak dan dikekalkan oleh bahasa. Politik bahasa kolonial gencar dipropagandakan melalui ilusi modernisasi di kalangan intelektual, kaum pergerakan politik, dan birokrasi. Bahasa Belanda dihadirkan sebagai aura, puja, dan sakral. Kaum pribumi pun menghasrati bahasa Belanda demi pekerjaan, kelas sosial, intelektualitas, dan identitas.
Perlawanan atas politik bahasa kolonial dilakukan oleh Marco Kartodikromo. Jurnalis dan pengarang radikal ini menggunakan bahasa Jawa dan Melayu untuk melawan kolonial. Tulisan-tulisan Marco Kartodikromo mengandung amarah, protes, dan ambisi. Bahasa adalah alat perlawanan.
Agenda perlawanan dilakoni dengan menulis artikel, puisi, dan novel menggunakan bahasa Melayu. Marco Kartodikromo dalam Sinar Hindia (19 Agustus 1919) menulis kritik pedas: "Ada lagi pikiran jang salah, jang menjangka bahwa bahasa itoe akan mentjahari kehormatan. Barangsiapa dapat bahasa Belanda patoet ia dihormati. Itoe tak benar, kata saja. Dan lagi tiada bahasa jang patoet dihormati melainkan bahasanja sendiri." Kaum pribumi menghasrati bahasa Belanda karena titel, pekerjaan, uang, dan kehormatan. Marco Kartodikromo marah: "Haruslah penjakit ini lekas-lekas diobati!"
Seruan lantang dan kritis terus berlanjut. Melati, dalam artikel "Pengharapan" di Darmo Kondo (14 Oktober 1919), menganggap bahasa adalah penentu, ukuran, dan modal. Melati menulis: "Soeroehlah anak anak soedara kita baik perempoean baik lelaki mempeladjari bahasa Belanda, soepaja hidoep anak toean kelak dapat sempoerna; dan djangan lama lama hidoep kita dianggap setengah manoesia, djangan teroes meneroes mendjadi koeli, mendjadi orang miskin, papa."
Masa depan bergantung pada bahasa Belanda. Melati memberi konklusi: "Siapa jang tiada mengenal bahasa radjanja kebanjakan soekar mencari pekerjaan." "Bahasa radjanja" adalah bahasa dari si penjajah. Pemerintah kolonial telah menebar berkah bahasa Belanda melalui kebijakan di sekolah, birokrasi, dan pers. Bahasa penjajah memang melenakan.
Pengisahan bahasa Belanda oleh Marco Kartodikromo dan Melati itu representasi zaman kolonial: pribumi dalam pusaran bahasa Belanda. Perlawanan dan puja atas bahasa Belanda bermakna ideologis: menarasikan identitas dan menguak alur politik di masa kolonialisme. Bahasa Belanda mengalir sebagai "pengucapan" laku hidup modern. Politik bahasa kolonial intensif "membentuk" dan "mengisahkan" sejarah negeri terjajah.
Ikhtiar mengucapkan diri dalam bahasa Indonesia sebagai godaan atas kuasa bahasa Belanda terjadi dalam Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928). Gairah elite pribumi membuncah demi impian bahasa Indonesia. Agenda menggerakkan nasionalisme memang masih ada di godaan bahasa Belanda meski hasrat berbahasa Indonesia semakin terang.
Mohammad Tabrani (1929) menjelaskan: "Kita berpikir dan bicara dalam bahasa Belanda, sementara dengan berapi-api menawarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kita." Mereka mengurusi Indonesia melalui jagat bahasa Belanda (Dhakidae, 2003). Sejarah politik bahasa Indonesia tampak alot, paradoks, dan pelik. Bahasa ada di irisan politik, identitas, iman, dan ilmu pengetahuan.
Situasi bahasa pada awal abad XX juga dikenangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Bahasa Belanda adalah godaan kemodernan di sekolah. Ki Hadjar Dewantara dalam artikel "Pengadjaran Bahasa" (1933) menulis: "Disebabkan karena anggapan hanja HIS-lah jang akan dapat membawa kenikmatan, maka bordjuis kita jang selalu mentjari keparlentean dan keuntungan materialistis tidak suka menghargai perguruan jang tidak memberi peladjaran bahasa Belanda." Kalimat ini merupakan ejekan telak atas dominasi bahasa Belanda di sekolah.
Pengisahan sejarah mengundang renungan atas nasib politik bahasa Indonesia mutakhir. Bahasa Indonesia mengalami sakit dan sepi. Bahasa rapuh oleh kekakuan politik dan kebekuan nalar-imajinasi. Bahasa Indonesia memang masih mengisahkan Indonesia melalui sekolah, sastra, koran, birokrasi, pasar, televisi, iklan, lagu, dan film. Bahasa Indonesia perlahan lungkrah dalam kesemestaan dunia berbahasa Inggris.
Puja bahasa Belanda telah tergantikan puja bahasa Inggris demi keperlentean, mentalitas borjuis, pekerjaan, popularitas, uang, intelektualitas, dan martabat politik. Paradoks Indonesia mengental dalam bahasa. Kita pun mafhum bahwa bahasa Inggris justru rajin mengisahkan Indonesia. Ironis!
*) Pengelola Jagat Abjad Solo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo