Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE BLACK BANNERS: THE INSIDE STORY OF 9/11 AND THE WAR AGAINST AL-QAEDA
Penulis: Ali H. Soufan
Penerbit: W.W. Norton & Company
Terbit: September 2011
Tebal: 608 halaman
ALI H. Soufan sedang menjalankan tugasnya sebagai agen Biro Investigasi Federal (FBI) di Yaman tatkala serangan 11 September 2001 meledak. Dia seketika menyimpulkan itu perbuatan Al-Qaidah.
Warga New York itu menjabat ketua investigasi pengeboman kapal perang USS Cole yang sedang bersandar di Aden, Yaman, pada 12 Oktober 2000. Tujuh belas pelaut Amerika Serikat tewas. Ia menggali informasi dari banyak tersangka dan menemukan aliran dana sekitar Rp 348 miliar keluar dari Yaman untuk Walid bin Attash alias Khallad, otak pengeboman USS Cole. Khallad juga menjadi pelatih pembajak pesawat dalam peristiwa 11 September.
Harian Amerika, New Yorker, menganggap Soufan bisa mencegah tragedi 11 September jika saja pusat intelijen CIA mau berbagi informasi tentang sebuah pertemuan petinggi Al-Qaidah di Malaysia pada Januari 2000. Khallad ikut dalam pertemuan itu. Keengganan CIA berbagi informasi itu membuat Soufan marah. Ia pun memutuskan mengakhiri karier enam tahunnya di FBI pada 2005.
Pria 41 tahun kelahiran Libanon yang fasih berbahasa Arab itu kemudian mendirikan lembaga konsultan keamanan, Soufan Group. Ia aktif berbicara tentang keamanan dan terorisme, termasuk dua pekan lalu, saat berkunjung ke Jakarta atas undangan Yayasan Prasasti Perdamaian untuk memperingati 10 tahun bom Bali I. Ia juga meluncurkan buku The Black Banners: The Inside Story of 9/11 and the War Against al-Qaeda pada September tahun lalu. Ia menuangkan pengalamannya dalam buku laris tersebut, termasuk penolakannya terhadap teknik waterboarding (menyiram muka tersangka yang tertutup kain, sehingga sulit bernapas) untuk mendapat pengakuan tersangka teroris.
Wartawan Tempo Yuli Ismartono dan Reza Maulana mewawancarai pemegang gelar master studi internasional dari Universitas Villanova, Philadelphia, ini di lobi Hotel Grand Hyatt dua pekan lalu. “Sekarang terorisme bersifat lokal,” ujarnya.
Bagaimana Anda memandang ancaman terorisme saat ini?
Al-Qaidah, yang menyerang pada 11 September 2001 dan mendanai sejumlah serangan lain, termasuk bom Bali I, tidak ada lagi. Namun cerita dan retorika mereka bertahan, menjelma dalam berbagai bentuk, dan menjadi lebih besar daripada organisasi itu sendiri.
Di Indonesia, sepuluh tahun setelah bom Bali I, terorisme terbelah dalam sel-sel kecil. Bagaimana mengatasinya?
Kita tidak bisa menggunakan strategi yang sama. Kasus di Indonesia sama seperti yang terjadi di belahan lain dunia. Gerakan global yang berawal dari deklarasi jihad Usamah bin Ladin pada 1996 menjelma menjadi berbagai organisasi yang berjuang untuk bermacam-macam tujuan. Jadi, sekarang semuanya bersifat lokal. Beda lokasi, beda faktor pemicu. Di satu tempat bisa karena isu Syiah, di tempat lain Ahmadiyah atau Kristen. Tak ada satu individu yang bergerak dengan alasan jihad global. Jadi tidak ada satu solusi yang bisa digunakan di banyak tempat. Selama api ini berkobar, uang dan rekrutmen terus datang.
Berapa lama api ini bertahan?
Sampai bahan bakarnya habis. Pencegahan terorisme merupakan masalah terbesar Indonesia. Bayangkan teroris seperti dua atau tiga titik dalam lingkaran. Mereka butuh pendukung seperti uang, tempat persembunyian, transportasi, dan logistik. Dalam menerapkan strategi kontraterorisme, kita harus mengidentifikasi mereka sebagai individu, sel, atau kelompok.
Strategi pencegahan apa yang paling tepat?
Strategi pencegahan yang bertujuan menciutkan radius lingkaran itu, membuat organisasi tersebut tercekik. Kerahkan semua cara, dari sisi hukum, budaya, hingga agama. Semakin kecil lingkaran, semakin sedikit dukungan untuk mereka.
Anda menghindari kekerasan dalam menginterogasi tersangka teroris, termasuk waterboarding. Seberapa efektif pendekatan Anda?
Ada dua hal yang harus diingat untuk menangani tersangka teroris, yaitu empati dan pengetahuan. Anda perlu mengetahui semua hal tentang orang dan kasusnya. Lakukan permainan mental, sehingga orang itu merasa semua hal dan kebohongan yang dia ucapkan bakal terungkap. Untuk itu, kita butuh berempati, menempatkan diri kita dalam posisi tersangka, sehingga kita bisa mengetahui arah pikirannya.
Bisa jelaskan metode itu dengan spesifik?
Interogasi dengan kekerasan bisa memunculkan kepatuhan. Saya tidak merasa cukup dengan itu, saya membutuhkan kebenaran. Kebenaran datang dari kerja sama. Saya membuatnya berpikir akan disiksa, tapi saya malah memberinya kue, mengajak ngobrol tentang dirinya, keluarga, pendidikan, dan jalan yang ditempuhnya. Lalu, saya menghantam mentalnya dengan berbagai bukti. Cara terbaik untuk meyakinkannya adalah bekerja sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo