Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Tan Malaka Tak ‘Idealis’

Tan Malaka bukan seorang “idealis”. Dia mengidentifikasikan dirinya sebagai “materialis”.

25 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tan Malaka dinilai bukan seorang idealis.

  • Dia mengidentifikasikan dirinya sebagai materialis.

  • Jejak itu terlacak pada mahakaryanya, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika (1943).

TULISAN Ahmad Sahidah, “Kosakata Tan Malaka” (majalah Tempo, April 2016), menyanjung ketangkasan berbahasa pemikir berdarah Minang itu, terutama atas keberhasilannya menjelaskan istilah sains-filsafat ke bahasa sehari-hari. Juga upaya konsistennya memberikan padanan istilah asing ke bahasa Indonesia, seperti “persangkaan” untuk “hypothesis” dan “kamar ilmu pisah” untuk “laboratory”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun agaknya kecenderungan berbahasa Tan Malaka belum bisa ditangkap secara jernih oleh sejumlah pembaca, sehingga tak jarang membuat inti pikirannya tak berterima dan sekilas tampak bertentangan. Kita bisa melihat pada kutipan populer yang dialamatkan secara keliru kepadanya: “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan itu telah dianggap secara luas sebagai kebenaran mutlak, seolah-olah betul pernah meluncur dari mulut atau ditulis di atas kertas oleh sang Datuk sendiri. Para mahasiswa dan aktivis kerap menggunakannya untuk menggerakkan semangat massa. Media arus utama turut menyebarkan kutipan palsu kala membahas sosok Tan Malaka. Padahal, sejatinya, kalimat tersebut diambil dari film biografi Marquis de Sade besutan Philip Kaufman, Quills (2000). Kalimat tersebut terdapat dalam dialog yang terjalin antara Dr Royer-Collard dan Delbene: “You know how i define idealism, Monsieur Delbene? Youth's final luxury.”

Jika kita beri cetak tebal pada kata “idealisme” dalam kutipan tersebut, dengan sendirinya hadir kecurigaan bahwa kalimat itu tak pernah diutarakan oleh Tan Malaka. Dalam perdebatan klasik filsafat, sebagaimana dalam pandangan Tan Malaka, idealisme dipertentangkan dengan materialisme. Kita harus berani berkata jujur bahwa pikiran Tan Malaka lebih dekat pada ajaran yang terakhir disebutkan, bahkan sudah terlacak sejak ia memberi judul mahakaryanya, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika (1943).

Tan Malaka tak pernah segan memberikan deskripsi negatif pada idealisme, terutama dalam Madilog. Misalnya bisa kita dapati usahanya mengolok-olok corak idealisme yang dikehendaki oleh David Hume, catat sang Datuk: “Yang konsekuen dari idealisme, dengan membatalkan benda, dia membatalkan dirinya sendiri”. Atau silakan cermati klasifikasi generik yang dibuatnya untuk orang yang memeluk dua ajaran filsafat tersebut: “Kaum idealis umumnya memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas”.

Tan Malaka sama sekali bukan seorang “idealis”, apalagi secara tekun mengusung ajaran “idealisme”. Sebab, ia sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai “materialis” yang berpihak kepada kaum tertindas. Karena itu, patut dipertanyakan mengapa masyarakat luas—terutama pembaca Tan Malaka sendiri—sering menyebut namanya dalam satu tarikan napas dengan idealisme, sebagaimana dalam kutipan palsu yang dibahas di awal.

Saya menduga kerancuan itu ditopang oleh beberapa entri “idealisme” dan “idealis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang memiliki konotasi positif. Idealisme: (1) aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami, (2) hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna, dan (3) aliran (sastra) yang mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan. Lema “idealisme” tak akan kita jumpai dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan W.J.S. Poerwadarminta. Lema yang tersedia hanya “idealis”, dengan keterangan: orang jang bertjita-tjita tinggi. Entri tersebut dipertahankan dalam KBBI, dengan tambahan; (2) pengikut aliran idealisme.

Sementara itu, entri “materialisme” dan “materialis” yang bisa kita asosiasikan pada diri Tan Malaka justru memiliki konotasi negatif di KBBI. Materialisme: pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Makna itu tak merujuk secara eksplisit pada istilah umum filsafat, berbeda dengan kamus susunan Poerwadarminta, yang mendefinisikan term itu sebagai haluan falsafah jang berpendapat bahwa melainkan benda djua jg mendjadi sebab segala jg ada dan terdjadi di dunia ini. Materialis sendiri, oleh kedua kamus, kompak didefinisikan sebagai (1) pengikut paham (ajaran) materialisme dan, terutama sekali, (2) orang yang mementingkan kebendaan (harta, uang, dan sebagainya).

Sebagai produk kebudayaan, setiap kamus sangat mungkin mengandung bias ideologi. Ditambah jika kita menyadari sifatnya yang eklektik, kamus umum tak bisa dijadikan rujukan tunggal dalam berbahasa. Kita perlu memeriksa kamus yang sifatnya lebih khusus, dalam konteks ini kamus filsafat. Sebab, ketika membicarakan term “idealisme”, Tan Malaka selalu mengacu pada istilah mula-mula dalam filsafat, bukan pemaknaan yang dipahami oleh banyak orang sekarang. Jadi, berhentilah mengatakan Tan Malaka sebagai seorang “idealis”, karena Anda bisa membuat dia kegerahan di alam kubur.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Muhammad Nanda Fauzan

Muhammad Nanda Fauzan

Prosais, sarjana filsafat

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus